Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kita dan beras

Soeharto menjadi wakil negara-negara berkembang dalam sidang FAO di Roma, RI telah berhasil mengubah posisi dari negara pengimpor beras menjadi swasembada. Distribusi surplus beras di Bulog jadi masalah.(nas)

16 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYAHDAN, alam yang begitu subur itu justru membuat rakyatnya cukup puas dengan sedikit berusaha. Mereka seolah menolak meningkatkan martabat atau menambah kemakmuran. "Petani Jawa, karena begitu gampang memperoleh kebutuhan hidup, lalu jarang yang berusaha meningkatkan kondisi mereka," tulis Raffles dalam bukunya History of Java. Kurang jelas, adakah karena petaninya gampang merasa puas itu, produksi pangan, dalam hal ini beras, makin lama tak sebanding lagi dengan kebutuhan penduduk Jawa. Upaya Raffles sendiri, agar para petani mau berusaha lebih, ternyata tak membuahkan hasil. Belum 30 tahun, adat yang digambarkan jenderal Inggris yang memerintah Jawa selama lima tahun (1811-1816) itu, menampakkan dampaknya: pada 1847 untuk pertama kalinya Pulau Jawa mengimpor beras. Bahan makanan pokok itu didatangkan dari Saigon (Ho Chi Minh sekarang), Vietnam, entah berapa ton. Dan, impor itu berlangsung terus dari tahun ke tahun, hingga 130 tahun kemudian Indonesia - bukan lagi hanya Jawa, tentu menjadi importir beras terbesar di dunia. Harapan bahwa suatu hari nanti Indonesia bisa mencukupi kebutuhan beras sendiri tinggal impian. Tapi tidak. Impian itu akhirnya terwujud juga, di tahun 1980-an, dan diakui dunia. Kira-kira April yang lalu, pihak badan pangan dan pertanian dunia, Food and Agriculture Organization (FAO), menunjuk Indonesia sebagai contoh negara berkembang yang berhasil memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Itu sebabnya, Kamis pekan ini, Presiden Soeharto diminta berpidato di depan sidang dua tahunan FAO, di Roma, Italia, atas sukses beras itu. "Indonesia telah merencanakan kebijaksanaan dan berhasil melaksanakan program hingga meningkatkan produksi beras para petani," kata Direktur Jenderal FAO, Edouard Saouma, kepada wartawan TEMPO Bambang Harymurti, lewat teleks. Program itu, antara lain penyebaran bibit unggul, pengadaan pupuk, pembuatan irigasi, penyediaan kredit, dan penentuan harga dasar beras. Lebih dari itu, kebijaksanaan pemerintahan Soeharto dalam memanfaatkan keuntungan dari minyak, sangat dipuji oleh FAO. "Soeharto telah memanfaatkan sebagian keuntungan minyak untuk pengembangan pertanian," kata Saouma pula. "Minyak itu terbatas, sumbernya tak bisa diperbarui. Tapi pertanian selalu bisa diteruskan suatu kekayaan yang sumbernya selalu bisa diremajakan." Singkat kata, Soeharto dipuji oleh FAO sebagai kepala negara yang punya "pandangan jauh ke depan dan telah memberikan aspirasi kepada petani". Di tengah sebagian besar negara berkembang, terutama di Afrika, tempat sekitar 400 juta orang terancam kelaparan, bagi FAO, sukses Indonesia pantas dijadikan teladan. "Pertemuan FAO kali ini bertujuan mewujudkan satu lumbung pangan dunia," kata Saouma. "Tujuan lumbung itu untuk meyakinkan semua orang di mana saja bahwa mereka bisa mengadakan atau mendapatkan kebutuhan pokok kapan saja." Pujian FAO tak berlebihan, kiranya. Bayangkan saja, seandainya di tahun 1980-an ini - terutama pada 1984 dan 1985 - Indonesia masih harus mengimpor beras, darimana uang akan diperoleh? Beberapa tahun belakangan penjualan minyak, penghasilan terbesar devisa negara, terus menunjukkan grafik yang menurun. Tapi, bagaimana mengukur bahwa produksi beras telah melebihi kebutuhan konsumsi? Soetjipto Wirosardjono, Wakil Kepala Biro Pusat Statistik (BPS), punya jawaban. Hasil survei BPS terhadap 65.000 keluarga sampel di desa dan di kota di seluruh Indonesia menyimpulkan bahwa kebutuhan beras per kapita per tahun adalah 120 kg. Maka, secara sederhana, bila jumlah produksi (tentu saja ini setelah dikurangi untuk keperluan pembibitan, kemungkinan rusak dalam penyimpanan, antara lain) lebih besar daripada jumlah penduduk kali 120 kg itu. Tentu, jarang ada sukses tanpa jerih payah. Dan sebenarnya kesadaran pentingnya beras, perlunya mengusahakan kenaikan produksi padi, sudah sejak awal Kemerdekaan dimaklumi. Dalam buku Rosihan Anwar, Musim Berganti, dikisahkan bagaimana di zaman Perang Kemerdekaan hasil bumi, antara lain beras, dijual ke luar negeri, untuk membiayai para diplomat kita. Bila baru pada 1959 dicanangkan gerakan intensifikasi pertanian, memang ada sebabnya. Perang Kemerdekaan yang disusul pemberontakan di sana-sini, DI-TII misalnya, membuat sawah-ladang telantar. Bahkan, pencanangan intensifikasi itu pun boleh dikata, sampai jatuhnya Orde Lama, tak membawa hasil. Sampai pertengahan 1960-an, bukan hal yang aneh bila sebagian besar orang Indonesia mencampur beras dengan jagung guna mengatasi kekurangan bahan makan pokok itu. Waktu itu, beras terhitung sangat mahal. Bisa dibeli dengan harga agak miring dengan cara antre, itu pun jumlah pembelian dibatasi, berdasar jumlah anggota keluarga. Dan ketika terjadi perubahan politik, 1965, Orde Baru yang muncul tampaknya lebih lagi memperhatikan soal pangan. Menurut Sajogya, 59, guru besar sosiologi pedesaan di IPB, ketika ada loka karya soal pangan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1968, intensifikasi ditingkatkan menjadi program swasembada beras. Maka, begitu Pelita I berjalan satu tahun, pada 1970 diadakanlah evaluasi terhadap peningkatan produksi beras yang selama itu diupayakan. Tim penilai yang dibiayai oleh Bank Dunia itu menyatakan, arah intensifikasi sudah tepat. Penilaian itu memang terbukti. Meski dari tahun ke tahun produksi beras masih turun-naik, pukul rata selama Pelita I (1969-1974) produksi beras rata-rata per tahun naik 4,5%. Namun, pada Pelita II, dengan belum ditemukannya jenis padi unggul yang pas untuk tanah dan iklim Indonesia, dan yang tahan hama, produksi merosot. Artinya meski tak jatuh dibandingkan jumlah produksi sebelum 1970, persentase kenaikan di bawah 4%. Peningkatan produksi yang lesu itulah yang membuat Bulog tetap mengimpor beras. Bahkan di tahun 1980, impor mencapai lebih dari 2 juta ton. Maksudnya, bila sewaktu-waktu aral melintang, panen gagal, atau kemarau terlalu panjang, kebutuhan bahan makanan pokok tetap terjamin. Tapi tampaknya tahun itu memang puncak impor beras, sekaligus meningkatnya pendapatan devisa karena boom minyak. Sejak tahun inilah tersedia biaya cukup besar guna melanjutkan pembiayaan usaha peningkatan produksi beras. Bila anggaran pembangunan untuk sektor pertanian dan pengairan 1979-1980 disediakan Rp 353,7 milyar, itu hanyalah naik beberapa persen dari anggaran tahun sebelumnya yang Rp 315,1 milyar. Tapi anggaran 1980-1981, hampir naik 100% dari anggaran tahun sebelumnya, yakni Rp 706,1 milyar. Dengan biaya sebesar itulah pembangunan irigasi, bimbingan buat petani oleh petugas penyuluhan lapangan (PPL) dari kantor-kantor pertanian, subsidi pembelian pupuk ditingkatkan. Hasilnya memang ada. Produksi beras sejak 1980 naik dengan meyakinkan. Artinya, jumlah produksi dikurangi 10% masih mencukupi kebutuhan konsumsi. Jumlah 10% itu, menurut Bustanil Arifin, Kepala Bulog, dalam wawancaranya dengan TVRI Senin malam pekan ini, adalah jumlah yang pas untuk disimpan sebagai cadangan nasional. Dengan cara berhitung seperti itu, sebenarnya sudah sejak 1980 boleh dibilang Indonesia surplus beras. Memang, kecil selisih antara kebutuhan konsumsi dan jumlah produksi dikurangi 10%-nya. Selisih itu baru benar-benar berarti pada tahun 1983: produksi hampir mencapai 24 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi, dengan menggunakan rumusan BPS, hanya 19 juta ton. Artinya, setelah dikurangi 10% untuk stok nasional, masih ada sisa produksi sekitar 2,5 juta ton. Pada tahun berikut, 1984, sisa itu menjadi lebih besar, yaitu sekitar 3,9 juta ton. Juga tahun ini, dengan perkiraan produksi beras mencapai 26,3 juta ton dan kebutuhan konsumsi 19,8 juta ton, kelebihan produksi setelah dikurangi untuk stok sekitar 3,8 juta ton. YANG kemudian diramaikan yaitu untuk apa sisa produksi itu. Dengan situasi pasaran beras internasional seperti sekarang, harga anjlok, kemungkinan membuang beras ke luar Indonesia memang sulit tanpa merugi. Harga dasar pembelian gabah kering oleh KUD tahun ini tidak naik, tetap Rp 175 per kg. Dengan perhitungan berat gabah kering akan susut sekitar 35% bila dijadikan beras, tanpa biaya penggilingan pun beras harus sudah dihargai sekitar Rp 270 per kg. Padahal, pasaran internasional per Agustus lalu hanya sekitar Rp 220. Dan sesungguhnya, kata Rudolf Sinaga, guru besar pertanian IPB, jatuhnya pasaran internasional antara lain juga disebabkan oleh berhentinya Indonesia mengimpor beras. "Dulu 20% sampai 30% beras produksi internasional, kita yang membelinya. Begitu kita kecukupan beras, tak lagi perlu impor. Maka, harga turun, tapi akibatnya kita pun tak bisa mengekspor," katanya. Akibatnya, pasaran di dalam negeri pun jatuh. Petani rugi. Memang, petani yang tanggap kemudian melakukan diversifikasi: tak hanya menanam padi, tapi juga, misalnya, jeruk, kedelai, dan vanili. Sulitnya, tak semua lahan bisa didiversifikasikan, misalnya yang sistem irigasinya memang dipersiapkan untuk sawah. Yang begini, bagi tanaman jeruk tentulah tak cocok - terlalu banyak air. Pemerintah, yaitu Bulog, yang sebenarnya adalah lembaga penjaga stabilitas harga, seharusnya turun tangan. Yakni, dengan cara membeli selisih antara produksi dan kebutuhan itu. Soalnya, sudah umum diketahui, gudang Bulog, termasuk gudang sewaan, hanya mampu menampung sekitar 3,5 juta ton. Padahal, stok lama Bulog pun masih ada. Memang repot (lihat: Box). Maka, ada yang menyebut bahwa sistem produksi beras kini, bukan petani yang diberi subsidi, tapi konsumen. "Dengan memberi subsidi pada sarana produksi seperti pupuk, bibit unggul, dan obat-obatan," kata Rudolf Sinaga, "sehingga harga beras yang harus dibayar konsumen murah." Selain itu, baik Sinaga maupun Sajogya meragukan bahwa swasembada beras kini bisa bertahan untuk tahun-tahun mendatang. Bukan karena para petani lalu melakukan diversifikasi (sesuatu yang oleh Menpan Saleh Afiff disebut "baik, karena meningkatkan pendapatan petani"), "Tapi lahan yang cocok untuk beras semakin berkurang," kata Rudolf Sinaga kepada Gatot Triyanto dari TEMPO. Guru besar yang juga menjadi staf ahli Menteri Muda Peternakan dan Perikanan ini mengusulkan agar pola konsumsi masyarakat diubah. "Bila tidak, dan kita cuma tergantung beras, jangan-jangan kita akan kekurangan beras lagi." Bagi Sajogya, sebenarnya, "Kita belum swasembada beras, karena belum seluruh masyarakat punya kemampuan membeli beras." Tanpa menyebut jumlah atau persentase, ia mengatakan, masih banyak saudara kita di pedesaan yang masih kekurangan pangan. Selain itu, sukses kini baru benar-benar mantap apabila surplus kini bisa terus berlangsung lima tahun berturut-turut. Bila tidak, ini cuma sukses sementara, katanya. Tapi, tidak berarti penghargaan FAO pekan ini tak ada artinya. Sebagai negara agraris, kata Sajogya, cara pembangunan kita sudah benar, yaitu mulai dari membangun sektor pertanian, bukan industri. "Itulah arti penghargaan FAO terhadap Indonesia," tambahnya. Apa pun kritik terhadap swasembada beras bagi Indonesia kini, kenyataannya produksi beras kita lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Raffles, jenderal Inggris dari abad ke-19 itu, tentulah akan merevisi pengamatannya terhadap semangat petani kita. Dan bila Kamis pekan ini Presiden berpidato di Roma, yang langsung diterjemahkan ke dalam lima bahasa, itu adalah semacam pernyataan bahwa negeri berkembang pun bisa mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Sebab, di tahun ketika seorang doktor Indonesia lulus tes astronaut yang diadakan oleh badan penerbangan dan antariksa Amerika Serikat, di negeri itu baru saja terbit sebuah buku kumpulan foto berjudul America. Salah satu halaman buku itu teks fotonya membela kaum negeri berkembang. Setiap negara berkembang hendak maju, mereka mendirikan pabrik barang-barang hiasan yang tak ada harganya, lalu mengirimkannya ke negara maju. "Siapa, sih, yang mengajarkan kepada mereka membikin barang-barang itu? Mengapa mereka tak mengajarkan saja bagaimana caranya mencukupi kebutuhan pangan sendiri?" tulis teks itu. Buku ini dibikin oleh Andy Warhol, salah seorang tokoh besar gerakan Pop Art Amerika. Mungkin ia mau membela negara berkembang, dan pendapatnya mungkin tak salah. Tapi nada suara itu adalah suara seorang yang merasa dirinya jauh berkebudayaan daripada kaum yang mau dibelanya. Memang, banyak negara berkembang dan mungkin juga Indonesia, dulu, bergantung pada pangan yang dihasilkan di Amerika (juga Kanada). Kini terbukti sudah, mencukupi kebutuhan pangan sendiri bukan hal yang mustahil, meski tidak berarti itu mudah. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus