BAGI Indonesia, hadir dalam sidang FAO di Roma, pekan ini, mempunyai arti penting. Bahkan acara pidato Pak Harto di sana, mewakili negeri-negeri Dunia Ketiga, sekaligus menjadi bukti keberhasilan pembangunan negeri berpenduduk hampir 160 juta itu dibanding dengan negeri dalam kelompoknya. Tapi betulkah Indonesia satu-satunya negeri yang berhasil berswasembada beras? Ternyata, beberapa negeri pernah juga mengalami kecukupar pangan. Misalnya India dan RRC, yang sekali pun pernah berswasembada, pernah juga terserang paceklik hingga kadang kala perlu juga impor beras. Negara yang beruntung tak sampai perlu impor beras adalah Muangthai. Inilah negara yang bergelimang beras selama lebih dari satu abad dan pernah menyandang predikat pengekspor beras terbesar di dunia, 1983. Namun, kini, negeri sesama anggota ASEAN itu terkena juga akibat surplus beras Indonesia. Yang terpukul karena keberhasilan Indonesia dalam pembangunan pertanian itu ternyata juga para petaninya. Misalnya Bunchay Sapmanoo, 30. Petani yang punya seorang istri dan dua anak itu tinggal di Provinsi Ayutthaya, utara Muangthai, yang merupakan daerah tersubur di kerajaan gajah ini. Hari-hari dilewatkannya bekerja di sawah seluas 1,7 ha yang bukan lagi miliknya sejak beberapa tahun terakhir silam. "Saya cuma bisa menjual 2.250 baht per ton (Rp 92.000), padahal ongkos produksi 2.400 baht (Rp 103.000)," keluhnya kepada Yuli Ismartono dari TEMPO. Bunchay mengaku tak sendirian. "Hanya dua puluh persen petani di sini punya tanah sendiri," katanya. Pian Sriprachan, 46, bernasib lebih baik. Sebagai kepala desa di Provinsi Suphan buri, 150 km utara Bangkok, ia punya tanah 4,8 ha. Rumahnya pun lebih besar dari penduduk sekitar. Bangunan kayu beratap sirap itu berukuran 10 x 7 meter persegi dan seperti bangunan petani lainnya - tanpa kamar. Di sanalah Pian tinggal bersama istri, tiga anak dan kedua orangtuanya. Selain tikar, cuma pesawat TV hitam putih ukuran 14 inci tampak di atas bufet. Satu-satunya kekayaan yang tampil adalah perahu kayu bermotor di belakang rumah, terapung di atas kanal kecil yang airnya kehitaman dan agak berbau. "Saya tak mungkin mengandalkan hidup hanya dari padi," katanya. Karena itu, keluarga yang sudah empat generasi menjadi petani ini beternak babi dan unggas. Keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras berarti hilangnya pembeli beras mereka. Maklum, Indonesia pernah mengimpor lebih dari dua juta ton - alias pengimpor beras terbesar di dunia, tahun 1980. Tak heran jika harga komoditi ini mencapai puncaknya pada saat itu, US$ 428 per ton FOB. Kemudian harga itu menurun terus bersamaan dengan meningkatnya produksi. Akhir Agustus lalu harganya tinggal US$ 198 per ton FOB. Keruan saja mekanisme pemasaran negara yang tahun ini merencanakan mengekspor lebih dari 4 juta ton beras itu berantakan. Itulah sebabnya Bunchay, Pian, dan sekitar 4 juta keluarga petani beras lainnya terpaksa menjual hasil keringat mereka dengan murah. Harga dasar pemerintah yang Rp 130 per kg gabah tak mampu bertahan. Para pemilik mesin penggiling memang tak bersemangat membeli. Sebab, sembilan juta ton beras memenuhi stok cadangan di gudang-gudang Public Warehousing Organization (PWO), lembaga pemerintah semacam Bulog. Beras merupakan komoditi yang sangat diperhatikan oleh pemerintah Muangthai. Ini merupakan hal wajar mengingat sahamnya sebagai sumber utama devisa yang menghasilkan 30% dari keseluruhan ekspor nasional atau 40% dari pendapatan kotor domestik. "Karena itu, hilangnya Indonesia sebagai pasar merupakan pukulan," kata Yongyut Kulnarat, ketua asosiasi pengekspor beras negara ini. Bisa dimengerti kalau mereka menjadi semakin giat mencari pasar baru. Memang pemerintah berusaha mengatur lalu lintas perdagangan beras tanpa terjun langsung. Gabah, misalnya, hanya dibeli oleh pihak swasta saja yang terdiri dari 36.000 pemilik mesin penggiling. Pemerintah tinggal membeli beras dari mereka. Tata cara ini sekarang, di saat harga rendah, mendapat banyak kritik. Dr. Chermsak Pinthong, seorang ahli ekonomi beras dari Universitas Thamasat, Bangkok, menuduh sistem ini memberatkan petani. Pihak penggiling tentu ingin mempertahankan bagiannya walaupun harga jual merosot. Alhasil, penurunan harga jatuh ke penghasilan petani. "Di sini petani yang menghasilkan padi, tetapi untungnya jatuh ke orang lain," kata Pian yang menggaji 20 buruh dalam mengelola sawahnya itu. Bukan berarti pemerintah mengabaikan nasib petani. Sepuluh tahun yang lalu kebijaksanaan land reform membuahkan setengah juta ha lahan bagi para orang sawah ini. Pembangunan sistem irigasi pun dilakukan oleh departemen tersendiri dan mendapat perhatian khusus dari Raja. Asuransi terhadap bencana alam didirikan bersamaan dengan koperasi yang memberi pinjaman lunak dengan bunga 9%. Bahkan untuk membeli peralatan dibentuk organisasi petani yang, antara lain, juga membantu penyewaan traktor agar efektif. Tetapi, petani tetap saja masih merupakan golongan termiskin dan masih mengirim anak-anaknya ke kota untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Persis seperti seratus tahun silam. Apa yang terjadi di Muangthai, tampaknya, memang tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Nasib petani di negeri-negeri berkembang sama saja dimana-mana. Bambang Harymurti Laporan Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini