UDARA sejuk berembus di kampus Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu siang yang gerimis, dua pekan silam. Ratusan muda-praja (mahasiswa tingkat I) Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) tampak anteng mengikuti perkuliahan. Di satu ruang kelas, puluhan muda-praja asyik memelototi layar proyektor yang dipasang dosen Suharyoto. Pria langsing setengah baya ini menjelaskan soal pelayanan prima. Tanya-jawab yang timbul menghidupkan kelas.
Antusiasme mereka bisa dimaklumi karena itu mata kuliah baru bagi mereka. Muda-praja Nifsu Qomar, 18 tahun, mengaku senang karena, sebagai calon pelayan masyarakat, ia merasa membutuhkannya. "Untuk bekal nanti kalau turun ke lapangan," tutur anak muda asal Bangka itu.
Selain mendapat ilmu baru, muda-praja menempati kampus baru. Sejak awal bulan ini, sekitar 1.200 muda-praja diboyong dari Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, ke Cilandak. Mereka dipisahkan dari para seniornya, praja tingkat II dan III, dan tinggal di asrama IIP. Lantaran fasilitas di kampus Cilandak tak mencukupi, 243 mahasiswa tingkat akhir IIP pindah ke Gedung Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri di Kalibata, Jakarta Selatan. Ada yang masih mengikuti kuliah satu semester lagi, ada yang lagi menyusun skripsi.
Kaum ungsian itu akan berada di kampus IIP sampai menyelesaikan pendidikan tingkat kedua. Di awal tingkat ketiga, mereka akan kembali ke Sumedang, sementara para seniornya sudah meninggalkan Jatinangor. Kata I Nyoman Sumaryadi, koordinator pelaksana harian ketua STPDN, pemisahan itu dilakukan untuk memutus rantai kekerasan di STPDN. "Sebab, tak ada senior-junior di sana (kampus IIP). Semua satu nasib," katanya.
Sejak 12 Januari hingga 6 Maret 2004, para muda-praja harus menjalani semester-antara sebelum masuk semester II, yang akan menggunakan kurikulum Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)—institusi baru gabungan STPDN-IIP. Pada semester-antara ini, ada tiga mata kuliah baru: berpikir serba sistem, sejarah desentralisasi klasik, dan pelayanan prima yang digabungkan dengan keprotokolan, yang masing-masing berbobot 3 satuan kredit semester (SKS).
Menurut Ngadisah, pelaksana harian operasional penyelenggaraan pendidikan muda-praja STPDN di Cilandak, perubahan kurikulum dilakukan bertahap. Tapi, dari 160 SKS yang harus diselesaikan, ada lima mata kuliah inti yang tak akan diubah, yakni sistem pemerintahan dan politik Indonesia, pemberdayaan pemerintah, teori pemerintahan, etika pemerintahan, dan kepemimpinan pemerintahan. Seluruhnya berbobot 75 SKS. Selebihnya bisa diubah sesuai dengan kebutuhan. "Tahun ini perubahannya baru sekitar 20 persen," ujar Ngadisah, yang juga Rektor IIP.
Pengasuhan juga dipertahankan. Hanya, mulai tahun ini, semua pengawasnya (30 orang) alumni STPDN, dibantu 15 pengasuh dari IIP. Satu pengasuh mengawasi sekitar 30 praja. "Idealnya, satu banding 8 sampai 10 orang seperti di TNI," kata Sumaryadi.
Sejumlah 46 dosen juga ikut sibuk, harus bolak-balik Sumedang-Jakarta sedikitnya sekali sepekan, karena harus mengajar praja tingkat II dan III juga. "Demi tugas, bolak-balik enggak apa-apa," ujar Suharyoto.
Perubahan lain, setelah tahun ketiga, para praja akan dibagi ke dalam dua kelompok: yang menempuh jalur akademik (S-1) dan yang masuk jalur profesi (D-4). Selama ini, di STPDN hanya ada program D-4. Menurut Ngadisah, jalur akademik menyiapkan praja menjadi pemikir, sedangkan jalur profesi mencetak praja terampil. "Kita juga perlu pemikir," ucapnya.
Setelah dua pekan di Cilandak, Ngadisah menilai, ada yang telah berubah. Siang itu, wajah rata-rata praja tampak semringah. Mereka masih bersikap formal memang, tapi tak kaku. Hanya, perubahan secara kejiwaan belum bisa dia nilai. "Kelihatannya sikap mereka tidak setegang ketika di STPDN," katanya.
Terbukti, sejumlah praja mengaku bisa tidur lebih nyenyak karena terbebas dari bayang-bayang seniornya dan ancaman kekerasan. "Saya merasa lebih tenang. Keluarga juga enggak waswas lagi," ujar muda-praja Syahrial, 18 tahun.
Namun beberapa muda-praja malah mengaku senang dekat dengan seniornya—sebagai tempat bertanya dan minta bimbingan. Sahaludin, misalnya, menganggap kekhawatiran masyarakat dan orang tua terlalu berlebihan. "Senior bersikap sedikit keras itu biasa. Kita tidak keberatan, kok," ujar Sahaludin, yang diamini tiga rekan sekamarnya. Mereka mengaku masih sering berponsel ria dengan seniornya.
Praja senior juga menyayangkan pemisahan itu. Mulyadi Ardiansyah, misalnya, mengaku kecewa karena ada budaya positif yang tidak bisa diwariskan kepada juniornya: loyalitas, rasa hormat kepada yang lebih tua, dan budaya silaturahmi. "Kita kecewa bukan karena hilang kesempatan balas dendam kepada junior," ujar mahasiswa tingkat III yang mendukung penghapusan kontak fisik itu.
Mereka boleh saja kecewa, tapi rata-rata muda-praja dan orang tua mereka lebih tenang karena telah terbebas dari rasa waswas.
Sapto Yunus, Dwi Wiyana (Sumedang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini