ABDULLAH Sutan Basa tersentak dari duduknya. Waktu itu jarum jam menunjukkan angka 17.30. Lelaki berusia 57 itu seakan tak percaya melihat pemandangan di depannya. Setumpak dinding Bukit Tui - yang tingginya sekitar 150 m-meluncur deras menghantam Kelurahan Tanah Hitam di kakinya. Dan dengan suara gemuruh melibas semua bangunan yang ada, termasuk warung milik Nur'aini, tempat Rahman, putranya yang berusia 18, tampak berada beberapa saat sebelumnya. Bencana lobgsor Senin, 4 Mei lalu, itu mengubah jalan hidup Abdullah dengan drastis. Sampai Jumat pekan lalu, lelaki ini masih terlihat mengais-ngais gundukan tanah di bekas warung itu dengan cangkulnya. "Anak saya di sini, ia menonton video di warung ini," gumam Abdullah berulangulang. Tatapannya kosong dan tubuhnya penuh lumpur bercampur peluh. Abdullah hanyalah satu di antara ratusan warga Sumatera Barat dan satuan ABRI yang bekerja keras mencari korban musibah ini. Dua buah traktor penggali tanah dan tiga buah buldoer dari Bukittinggi dan Pariaman dikerahkan untuk menggali tanah. Tapi pengoperasian peralatan berat tersebut harus berhati-hati untuk menghindarkan kemungkinan merusakkan mayat yang tertimbun. Bukan upaya mudah memang. Maklum, bagian Kelurahan Tanah Hitam yang terpendam tanah setebal 3 meter itu luasnya 1,3 hektar, sedikit lebih luas dari lapangan sepak bola. Selain itu, derasnya hujan yang mengguyur membuatnya menjadi kubangan lumpur. Sampai Sabtu pekan lalu, regu penggali berhasil menemukan 115 mayat. Artinya sudah 118 orang tercatat tewas akibat bencana ini, karena tiga dari 50 korban yang sempat dirawat di rumah sakit akhirnya tewas. Dengan demikian, berdasarkan perkiraan penduduk setempat, masih terdapat 25 mayat yang belum ditemukan. Ini berarti jumlah korban lebih banyak dari perkiraan panitia penanggulangan bencana yang dibentuk Pemda. Belakangan diketahui perbedaan ini timbul karena perhitungan Pemda berdasarkan penduduk yang terdaftar di daerah itu, padaha terdapat juga sejumlah tamu dan keluarga yang tidak terclaftar. Besarnya jumlah korban ini membuat musibah ini bencana terbesar di Padangpanjang sejak gempa akibat letusan Gunung Marapi, 1926. Ketika itu tercatat ratusan korban jatuh dan serangkaian kereta api roboh. Dua puluhan mayat yang masih terkubur ini mungkin tak akan pernah ditemukan. Pencarian korban telah dihentikan Sabtu sore pekan lalu. Sebelumnya, Majelis Ulama Sumatera Barat telah menyerukan diadakannya salat gaib masal bagi mereka. "Kalau masih ada korban yang tak mungkin ditemukan lagi, kawasan itu dianggap saja sebagai kuburan masal," kata Gubernur Azwar Anas . Sebetulnya, daerah Tanah Hitam sudah sejak dahulu tak layak dihuni Bahkan, pada November tahun silam, Gubernur Azwar Anas sudah mempersoalkan kelayakmukiman daerah ini. "Saya kira suatu waktu bukit itu bisa longsor. Apa sudah diteliti?" katanya ketika meninjau Padangpanjang. Keadaan tebmg Bukit Tui yang cuma berjarak sekitar 30 m dari perumahan di pinggir Tanah Hitam memang merawankan. Selain gundul, tebing itu sangat curam, dengan kemiringan sekitar 80 derajat. Tapi masalahnya, BukitTui adalah sumber mata pencarian penduduk Tanah Hitam. Sudah sejak 1912 penggalian batu kapur dilakukan di kaki bukit dan menjadi mata pencarian utama penduduk sekitar. Terakhir ada 20 pondok pembakaran kapur di kaki bukit, menyebabkan bukit scmakin terkikis dan pohon tui yang dahulunya merimbuni bukit kini tak hadir lagi. Akibatnya bisa ditebak: longsor menjadi langganan di Tanah Hitam. Sialnya, sampai musibah kemarin, longsor - penduduk setempat menyebutnya galodo - justru dianggap rezeki nomplok oleh penduduk sekitar. "Bila ada batu yang jatuh, itu berarti rezeki," kata Nasrul, 33 tahun penduduk di kelurahan ini. Dan jadi peraturan tak tertulis di permukiman itu: siapa yang pertama kali menemukan batu longsor tadi menjadi pemiliknya. Maklum, batu Bukit Tui memang dikenal sebagai bahan baku ubin teraso yang berkualitas tinggi. "Sebongkah batu besar nilainya bisa sama seperti seekor kerbau," kata Nasrul lagi. Mereka kerap naik ke bukit mencoba menggulirkannya. Penduduk lantas terbiasa menghadapi jatuhnya korban akibat pekerjaan berbahaya ini. Ada yang sekadar luka karena terjatuh atau tertimpa batu, ada juga yang sampai meninggal. Kerasnya kehidupan ini berdampak juga pada peri laku penduduknya. Daerah ini, menurut laporan koresponden TEMPO Fachrul Rasyid, memang dikenal agak lain. Padangpanjang sering dikatakan sebagai Serambi Mekah karena ketaatan penduduknya beribadat, tapi Tanah Hitam malah dikenal sebagai tempat orang suka berjudi. Dengan alasan kerja mereka terlalu keras, banyak penduduk tak berpuasa. Lumrah kalau kemudian beredar isu menyatakan galodo ini terjadi scbagai kutukan. Apalagi setelah ditemukan mayat yang di tangannya masih mencekal erat buah dadu. Di luar segala isu itu, musibah ini tampaknya hanyalah bencana alam biasa. "Longsor terjadi karena beban air terlalu besar bagi tanah Bukit Tui," kata Ir. Yudo D. Elifan pimpinan tim Ditjen Geologi yang ditugasi meneliti musibah ini. Berdasarkan catatan Dinas Meteorologi dan Geofisika setempat, minggu-minggu terakhir ini curah hujan di sekitar Padangpanjang tercatat 170 ml/hari. Padahal, biasanya hanya sekitar 20-30 ml/ hari saja. Tak heran, jika selain di Bukit Tui terdapat 13 peristiwa longsor lain di sekitarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini