Kasus ini ramai diperbincangkan, karena ia bintang film cantik. Bila terjadi pada orang lain, apalagi ia hanya" laki-laki, saya yakin tak banyak media pers memberitakan . Kewarganegaraan, dimaklumi, mempunyai dua asas: keturunan (ius sanguinisl dan tempat kelahiran (ius soh. Di Indonesia, sebelum 1958 dianut asas ius soli, yang mengakibatkan banyak orang Cina, pada waktu itu, memiliki kewarganegaraan rangkap (bipatrlde. Sebab, RRC, yang menganut asas ius sangumis, menganggap bahwa di mana saja orang-orang keturunan Cina dilahirkan, mereka tetap warga negara RRC. Persoalan inilah yang kemudian melahirkan UU Nomor 2 Tahun 1958, yang mewajibkan tiap orang mempunyai kewarganegaraan ganda memilih, menjadi WNI atau tetap WN Cina. Kemudian, UU Nomor 62 Tahun 1958, yang pada pokoknya menganut asas ius sanguinis dan ius soli sekaligus, mengatur masalah kewarganegaraan di Indonesia yang tetap berlaku hingga sekarang, kecuali perubahan pasal 18 dengan UU Nomor 3 Tahun 1958. Dalam ius soli dikenal adanya stelsel aktif, yaitu dengan mengadakan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif mendapatkan kewarganegaraan dan sebaliknya, dengan stelsel pasif. Kedua stelsel ini berkaitan dengan hak opsi, yakni hak untuk memilih suatu kewarganegaraan dan hak repudiasi yaitu hak untuk menolak. Salah satu cara mendapatkan kewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan (naturalisasi yaitu dengan aktif dan opsi mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (2 UU Nomor 62/1958. Berkaitan dengan kasus Ida Iasha, hampir semua persyaratan yang tercantum dalam pasal 5 ayat (21 telah dipenuhi, kecuali ayat (21 huruf b, yang mengharuskan pemohon lahir di Indonesia atau pada waktu mengajukan permohonan bertempat tinggal di Indonesia, sedikit-dikitnya, lima tahun berturut-turut dan ayat (21 huruf g yang mengharuskan pemohon mempunyai mata pencarian tetap (ini kalau pekerjaan bintang film dianggap bukan mata pencarian tetap). Yang agak membingungkan pada ketentuan ayat (2) ini adanya diktum, "Seorang perempuan selama da(am perkawinan tidak boleh mengajukan permohonan pewarganegaraan." Nah, haruskah Ida bercerai dulu dari Eddy? Sebelum upaya naturalisasi, sebenarnya Ida bisa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia melalui pernyataan satu tahun setelah perkawinannya (pasal 7 ayat(1). Tapi itu tak dilakukan Ida dan itu mungkin karena ketidaktahuannya. Atau, karena Eddy yang lalai. Seharusnya, Eddy mengetahui hal itu apalagi ayahnya seorang ABRI, yang tentunya mengerti betul status menantunya yang warga negara Belanda. Atau karena mereka menganggap bahwa di Indonesia ini, toh, semua bisa diatur? Buktinya, Ida bisa mendapatkan KTP DKI Jakarta dengan mudah padahal ia bukan WNI. Sementara itu, dalam pasal 7 ayat (2) dinyatakan, "Perempuan asing yang kawin dengan seorang WNI juga mendapatkan kewarganegaraan RI satu tahun setelah perkawinannya berlangsung, apabila dalam satu tahun itu suaminya tak menyatakan keterangan untuk melepaskan kewarganegaraan RI-nya." Mestinya Ida bisa dengan mudah menjadi WNI kalau saja Eddy membuat pernyataan itu . Akibatnya, Ida terpaksa dideportasikan hanya karena kelalaian sang suami . Tapi itu semua sudah lewat. Kesempatan bagi Ida untuk menjadi WNI tinggal melalui prosedur naturalisasi. Pada dasarnya Indonesia menganut asas kesatuall kewarganegaraan bagi pasangan seperti Eddy-Ida (penjelasan umum UU tersebutl. Itu, tentu, untuk mencegah timbulnya kekisruhan semacam yang dialami Ida. Dan, yang menentukan kesatuan kewarganegaraan dalam perkawinan antarbangsa seperti itu adalah suami. Kekisruhan dalam urusan kewarganegaraan di sini, tampaknya, disebabkan tidak luwesnya peraturan yang ada. Atau, mungkin, juga karena birokrasi yang ruwet dan aparat yang tak ramah". Kita semua tentu masih ingat kasus Ivanna Lie. Ia yang sadar betul dirinya bagian dari bangsa ini, dan dengan gigih mengangkat kehormatan kita melalui olah raga, tetap mengalami hambatan dalam mewujudkan keinginannya yang luhur untuk diakui sebagai warga negard republik ini. Ivanna sendiri hampir putus asa kalau saja tak turun bantuan dari atas. Dan, itu jelas menggambarkan bagaimana repotnya mengurus kewarganegaraan . Ketidakberesan lainnya yang bisa ditemui dalam urusan ini adalah adanya pungli. Itu tak bisa dipungkiri. Dalam TEMPO 2 Mei, seorang pembaca mengungkapkan, betapa mahalnya biaya untuk menjadi warga negara Indonesia (Kontak Pembaca). Pembaca itu terpaksa membayar Rp 1,25 juta di 1985, sebelum devaluasi. Dan, untuk adiknya, di 1987 ini, dimintai Rp 2,5 juta untuk hal sama. Gejala apa ini? Kembali kepada kasus Ida. Imigrasi, dengan biaya lumayan, formalitas mendeportasikan Ida ke Singapura. Semua biaya ditanggung Imigrasi. Kemudian, Ida masuk lagi ke Indonesia dan, katanya, dalam waktu dekat kewarganegaraan Ida sudah bisa diproses. Mengapa harus begitu? Kalau kita mau luwes memberlakukan suatu peraturan, dan jauh dari kepura-puraan, buat apa berbasa-basi mahal begitu dilakukan? Atau, memang harus begitukah untuk sekadar membuktikan bahwa kita bekerja berdasarkan hukum? Oh, Ida! Berapa kau harus membayar untuk menjadi WNI? ABDUL RAVI RASYID (Mahasiswa FH UI) Rawamangun, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini