Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gereja Berbicara

Presidium mawi mendesak pemerintah agar mencagah intimidasi & penekanan. mgr leo sukoto uskup agung merasakan ketegangan dan rasa takut dimana-dimana menjelang pemilu. khawatir sikap mawi tak digubris.

19 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SEMOGA pernjataan itu tak sampai menimbulkan heboh". Itu dikatakan pastor Hardjasoemarta MSC, direktur Konperensi Waligeredja Indonesia kepada Leopold Gan dari TEMPO. Tentu sadja tidak. Tapi pernjataan Presidium Madjelis Agung Waligeredja Indonesia jang di tandatangani Justinus Kardinal Darmojuwono baru-baru ini dan tersiar luas dalam pers tetap menimbulkan getaran -- dihati umum paling sedikit. Pernjataan itu terdiri atas lima hal, semuanja dengan kalimat-kalimat pandjang jang mengandung seruan diperhatikannja azas-azas moral dalam Pemilu. Tapi bagian kelima pernjataan itu ternjata mendjadi headline: Presidium MAWI "mendesak kepada Pemerintah supaja mentjegah segala matjam intimidasi dan antjaman dari manapun atau oleh siapapun djuga, baik jang bersifat paksaan fisik maupun moril, dan menghindarkan segala mabam manipulasi dan perbuatan tjurang baik sebelum, selama maupun sesudah Pemilihan Umum". Titik. Tapi mengapa setelah titik itu orang menjambutnja seperti menjambut berita terbongkarnja korupsi format kakap? Pertama, agaknja sebab suasana prapemilu jang tjukup hangat dengan berita berita intimidasi, antjaman, paksaan penahanan dan fatwa dewasa ini -- bahan konon pembunuhan-pembunuhan. Suara protes partai-partai dan tuduhan timbal-balik begitu hingar-bingar -- tapi karena mereka sedang terlibat dalam kompetisi dan kampanje, semuanja mendjadi sematjam kegaduhan jang hampir-hampir tanpa arti. Namun MAWI bukan lah fihak jang terlibat. Lagipula, berbeda dengan pemuda-pemuda Golput jang hampir tiap kali bersuara, MAWI adalah ibarat orang pendiam jang berwibawa-jang sekali buka suara berarti sangat bersungguh-sungguh. Leo. Apalagi setelah itu disusul dengan pemuatan wawantjara Uskup Agung Djakarta Mgr.Leo Sukoto di Harian KAMIi "Kegontjangan-kegontjangan habat mendjelang Pemilu terdjadi di daerah", kata Uskup Agung. Dan signeur jang berasal dari anak desa pun menambahkan: "Penekanan midasi, penganiajaan, kini merata (di desa. Pastor-Pastor serta rohaniawan-rohaniawan lainnja tak luput dari penekanan dan intimidasi itu, rasa takut mendjalar dimana-mana, tidak ubahnja seperti djaman diktatur Orla". Tidak berhenti sampai disana, Sekretaris Presidium MAWI itu mengatakan pula: "Tragisnja lagi, disatu fihak penguasa bergembar-gembor mau menegakkan Pantjasila, tetapi dilain fihak aparatnja di daerah-daerah dengan semena-mena mengindjak-indjak sila perikemanusiaan ini djelas anti-Pantjasila!". Utjapan salah satu pimpinan Geredja Katolik di Indonesia sematjam itu sudah tentu bukan sadja mengedjutkan, tapi djuga membutuhkan keberanian -- mengingat umat Katolik di Indonesia merupakan minoritas dan dalam banjak hal membutuhkan perlindungan Pemerintah. Mungkin itulah sebabnja ia menambahkan: "Terus terang, kami sendiri merasa takut memberikan keterangan seperti ini kepada pers. Salah-salah kami tiba-tiba ditangkap dan disekap, seperti sementara rakjat didaerah-daerah". Tak terbajangkan bahwa Pemerintah Suharto akan menahan seorang Uskup Agung. Namun utjapan sang Monsigneur nampaknja harus diartikan pula bagian achirnja: suatu isjarat, bahwa ada penahanan terhadap rakjat didaerah-daerah. Kontak. Sampai achir minggu lalu belum ada reaksi fihak Pemerintah tentang utjapan Dr Leo Sukoto itu. Jang djelas, Pemerintah bukannja tidak mengetahui sebelumnja akan lahirnja "Pernjataan 5 Djuni" MAWI. Pernjataan itu menurut keterangan fihak Geredja, keluar dari pertemuan Presidium MAWI jang terdiri dari lima Uskup Agung (dari Menado, Semarang, Djakarta, Endeh dan Pontianak) jang antara lain membitjarakan soal Pemilu. "Sebelum pernjataan 5 Djuni itu keluar", kata Pastor Hardjasoemarta MSC, "terlebih dulu telah di bahas, diadakan kontak dengan jang berkuasa didengar dan ditelaah dari laporan-laporan jang disampaikan oleh Uskup-Uskup dari berbagai tempat". Tidak disebutkan adkah Pemerintah berkeberatan dengan penjiaran pernjataan itu, sebab penguasa tentunja tak akan mau bersikap kasar kepada lembaga keagamaan seperti MAWI. Meski pun begitu Mgr.Leo Sukoto mengatakan kechawatirannja, bahwa sikap MAWI "tidak akan diperhatikan penguasa". Jang mendjadi soal kini, benarkah kechawatiran sang Uskup Agung?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus