"SEMOGA pernjataan itu tak sampai menimbulkan heboh". Itu
dikatakan pastor Hardjasoemarta MSC, direktur Konperensi
Waligeredja Indonesia kepada Leopold Gan dari TEMPO. Tentu sadja
tidak. Tapi pernjataan Presidium Madjelis Agung Waligeredja
Indonesia jang di tandatangani Justinus Kardinal Darmojuwono
baru-baru ini dan tersiar luas dalam pers tetap menimbulkan
getaran -- dihati umum paling sedikit. Pernjataan itu terdiri
atas lima hal, semuanja dengan kalimat-kalimat pandjang jang
mengandung seruan diperhatikannja azas-azas moral dalam Pemilu.
Tapi bagian kelima pernjataan itu ternjata mendjadi headline:
Presidium MAWI "mendesak kepada Pemerintah supaja mentjegah
segala matjam intimidasi dan antjaman dari manapun atau oleh
siapapun djuga, baik jang bersifat paksaan fisik maupun moril,
dan menghindarkan segala mabam manipulasi dan perbuatan tjurang
baik sebelum, selama maupun sesudah Pemilihan Umum". Titik.
Tapi mengapa setelah titik itu orang menjambutnja seperti
menjambut berita terbongkarnja korupsi format kakap? Pertama,
agaknja sebab suasana prapemilu jang tjukup hangat dengan berita
berita intimidasi, antjaman, paksaan penahanan dan fatwa dewasa
ini -- bahan konon pembunuhan-pembunuhan. Suara protes
partai-partai dan tuduhan timbal-balik begitu hingar-bingar --
tapi karena mereka sedang terlibat dalam kompetisi dan kampanje,
semuanja mendjadi sematjam kegaduhan jang hampir-hampir tanpa
arti. Namun MAWI bukan lah fihak jang terlibat. Lagipula,
berbeda dengan pemuda-pemuda Golput jang hampir tiap kali
bersuara, MAWI adalah ibarat orang pendiam jang berwibawa-jang
sekali buka suara berarti sangat bersungguh-sungguh.
Leo. Apalagi setelah itu disusul dengan pemuatan wawantjara
Uskup Agung Djakarta Mgr.Leo Sukoto di Harian KAMIi
"Kegontjangan-kegontjangan habat mendjelang Pemilu terdjadi di
daerah", kata Uskup Agung. Dan signeur jang berasal dari anak
desa pun menambahkan: "Penekanan midasi, penganiajaan, kini
merata (di desa. Pastor-Pastor serta rohaniawan-rohaniawan
lainnja tak luput dari penekanan dan intimidasi itu, rasa takut
mendjalar dimana-mana, tidak ubahnja seperti djaman diktatur
Orla". Tidak berhenti sampai disana, Sekretaris Presidium MAWI
itu mengatakan pula: "Tragisnja lagi, disatu fihak penguasa
bergembar-gembor mau menegakkan Pantjasila, tetapi dilain fihak
aparatnja di daerah-daerah dengan semena-mena mengindjak-indjak
sila perikemanusiaan ini djelas anti-Pantjasila!".
Utjapan salah satu pimpinan Geredja Katolik di Indonesia
sematjam itu sudah tentu bukan sadja mengedjutkan, tapi djuga
membutuhkan keberanian -- mengingat umat Katolik di Indonesia
merupakan minoritas dan dalam banjak hal membutuhkan
perlindungan Pemerintah. Mungkin itulah sebabnja ia menambahkan:
"Terus terang, kami sendiri merasa takut memberikan keterangan
seperti ini kepada pers. Salah-salah kami tiba-tiba ditangkap
dan disekap, seperti sementara rakjat didaerah-daerah". Tak
terbajangkan bahwa Pemerintah Suharto akan menahan seorang Uskup
Agung. Namun utjapan sang Monsigneur nampaknja harus diartikan
pula bagian achirnja: suatu isjarat, bahwa ada penahanan
terhadap rakjat didaerah-daerah.
Kontak. Sampai achir minggu lalu belum ada reaksi fihak
Pemerintah tentang utjapan Dr Leo Sukoto itu. Jang djelas,
Pemerintah bukannja tidak mengetahui sebelumnja akan lahirnja
"Pernjataan 5 Djuni" MAWI. Pernjataan itu menurut keterangan
fihak Geredja, keluar dari pertemuan Presidium MAWI jang terdiri
dari lima Uskup Agung (dari Menado, Semarang, Djakarta, Endeh
dan Pontianak) jang antara lain membitjarakan soal Pemilu.
"Sebelum pernjataan 5 Djuni itu keluar", kata Pastor
Hardjasoemarta MSC, "terlebih dulu telah di bahas, diadakan
kontak dengan jang berkuasa didengar dan ditelaah dari
laporan-laporan jang disampaikan oleh Uskup-Uskup dari berbagai
tempat". Tidak disebutkan adkah Pemerintah berkeberatan dengan
penjiaran pernjataan itu, sebab penguasa tentunja tak akan mau
bersikap kasar kepada lembaga keagamaan seperti MAWI. Meski pun
begitu Mgr.Leo Sukoto mengatakan kechawatirannja, bahwa sikap
MAWI "tidak akan diperhatikan penguasa". Jang mendjadi soal
kini, benarkah kechawatiran sang Uskup Agung?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini