INILAH protes yang sepi. Seorang guru tepekur di mejanya sementara bangku-bangku di depannya kosong. Di kelas lain, di sekolah lain, seorang guru tak tahu mau berbuat apa. Dari 30-an siswa di kelas itu, hari itu, Kamis pekan lalu, cuma ada seorang murid yang hadir. Di perkirakan lebih dari 20.000 murid sejumlah Sekolah Rendah Jenis Kebangsaan Cina (SRJKC) di Negara Bagian Penang, Malaysia, mogok sekolah. Mereka memprotes pengangkatan 14 kepala sekolah baru SRJKC yang tak bisa berbahasa Mandarin. Anwar Ibrahim, Menteri Pengajaran yang mengangkat 14 kepala sekolah itu, tentu saja bukan sengaja mencari gara-gara. Kebijaksanaan itu merupakan langkah lanjut kebijaksanaan pemerintah untuk menetapkan bahasa Melayu (Malaysia) sebagai bahasa nasional. Selama sekolah-sekolah Cina itu dipimpin oleh orang yang tidak paham bahasa Mandarin, kata Ibrahim, akan sulit memantapkan bahasa nasional Melayu sebagai bahasa persatuan. Sebenarnya, itu bukan baru pertama kali Datuk Ibrahim menjalankan kebijaksanaannya. Beberapa waktu sebelumnya ia menetapkan bahasa Melayu sebagai pengantar di universitas-universitas, tak terkecuali pada jurusan sastra Cina (TEMPO, 3 Oktober). Bila di universitas terdengar keluhan, bahwa bahasa pengantar Melayu menyebabkan kemampuan bahasa Inggris mahasiswa menurun, alasan aksi mogok lain pula. "Masyarakat Cina di Malaysia mau agar sekolah Cina bisa mempertahankan karakteristiknya," kata Lee Kim Sai, Menteri Tenaga (Kerja) yang juga Deputi Presiden Malaysian Chinese Association (MCA). Dia khawatir, langkah baru pemerintah ini hanya akan menghapuskan eksistensi sekolah Cina, lalu merembet ke sekolah Tamil (India). Ini berarti anak-anak sekolah rendah itu mogok bukan karena kemauan sendiri. Di belakang mereka berdiri para orangtua murid, yang mendukung seruan dari sejumlah organisasi yang ada kaitannya dengan sekolah kebangsaan Cina. Upamanya UCSTAM (Persatuan Guru Sekolah Serikat Cina Malaysia), dan UCSCAM (Persatuan Perserikatan Panitia Sekolah Cina Malaysia). Aksi ini terdengar keras, karena partai politik MCA yang menyuarakan aspirasi keturunan Cina ikut mendukungnya. Bahkan dalam pertemuan yang dihadiri ribuan simpatisan yang menyerukan aksi mogok, 11 Oktober, Lee tak cuma menuntut pengangkatan 14 kepala sekolah itu dibatalkan. Tapi, "Administrasi dan pelajaran yang diberikan di Sekolah Rendah Jenis Kebangsaan Cina harus tetap dalam bahasa Mandarin." Tampaknya ini bukan lagi hanya masalah kepala sekolah yang tak bisa berbahasa Mandarin. Buktinya, sementara Jumatnya sebagian murid sudah kembali masuk karena imbauan pemerintah Sabtu esoknya, tetap saja muncul aksi kontrapemogokan. Sekitar 15.000 pemuda yang tergabung dalam Pemuda UMNO, partai yang kini memerintah, mengadakan "perhimpunan raksasa umat Melayu" di Kuala Lumpur. Sambil berteriak "hidup Melayu" dan "Allahu Akbar" mereka mengecam MCA. Sekolah rendah Cina dan Tamil di Malaysia memang sudah lama jadi salah satu masalah nasional. Dalam Undang-undang Pendidikan tahun 1961, dinyatakan bilamana Menteri Pengajaran merasa perlu, ia bisa langsung menasionalisasikan sekolah rendah kebangsaan Cina dan Tamil menjadi sekolah nasional. Yang jadi persoalan, kapan dan apa kriteria "merasa perlu" itu. Kenyataannya, sampai tahun 1985, masalah ini tak menjadi persoalan besar. Dan warga Malaysia keturunan Cina yang masuk sekolah kebangsaan Cina makin banyak. Misalnya, pada 1967 lebih dari 350.000 anak Cina masuk sekolah Cina. Sepuluh tahun kemudian, jumlah itu mendekati setengah juta. Mungkin melihat kecenderungan meningkatnya populasi murid sekolah kebangsaan Cina, tahun lalu pemerintah Malaysia dengan alasan pengantar bahasa non-Melayu di sekolah-sekolah bisa melemahkan kesatuan bangsa -- niat "memelayukan" sekolah Cina menjadi isu santer. Toh, sampai di situ warga keturunan Cina yang kini berjumlah lebih dari 30% dari hampir 16 juta penduduk Malaysia (sensus 1985), belum bereaksi. Namun, Undang-undang Pendidikan tahun 1961 itu tetap jadi ganjalan. Berbagai upaya dilakukan oleh partai-partai yang menyuarakan aspirasi Cina untuk menghapus pasal yang merugikan mereka. Tapi tanpa hasil. Malah kini, undang-undang itu tampaknya dijadikan dasar untuk "memelayukan" sekolah Cina. Sebenarnya, hal itu tak sepenuhnya merugikan. "Memelayukan" sekolah Cina bisa juga berarti meningkatkan mutu. Selama ini sekolah itu, karena merasa sewaktu-waktu bisa diinfiltrasi pemerintah, perkembangannya terganggu. Misalnya, tak banyak guru yang bermutu, juga fasilitas pengajaran kalah dengan sekolah nasional. Mungkin karena ini Menteri Pengajaran Anwar Ibrahim bersikeras dengan keputusannya. "Saya tak akan tunduk terhadap segala macam gugatan," katanya akhir pekan lalu. Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini