SIANG itu sepatu hitamnya dibiarkan menggeletak di bawah meja tamu. Cuma memakai kaus kaki biru tua, Menteri Kehakiman Ali Said berkeliling di ruang kerjanya yang beralaskan karpet abu-abu. Meja kerjanya rapi, bebas dari map atau berkas yang menumpuk. Di dinding tergantung lambang Departemen Kehakiman. Juga sebuah lukisan karya Basuki Abdullah, yang menggambarkan Ali Said dengan jas warna krem menatap ke depan, dalam warna pastel kecokelatan. "Saya masuk ke sini ibaratnya bukan diiringi voorrijder polisi, tapi dengan ambulans dan kendaraan jenazah," kata Ali Said, 56, mengenang saat-saat pertama ia menjabat menteri kehakiman. Waktu itu, 1981, Letnan Jenderal Ali Said, yang semula menjabat jaksa agung, diangkat sebagai menteri kehakiman menggantikan Mudjono yang pindah jabatan sebagai ketua Mahkamah Agung. Sebagai menteri, Mudjono melakukan pembersihan dalam korps kehakiman hingga jatuh cukup banyak "korban". Mudjono juga meninggalkan pesan, "Kembalikan citra kehakiman yang luhur," kepada penggantinya. "Jadi, saya melanjutkan apa yang sudah dilakukan Pak Mudjono," kata Ali Said dalam suatu wawancara dengan James R. Lapian dan Yulia S. Madjid dari TEMPO pekan lalu. Petikan dari wawancara tersebut: Walau penertiban hakim terus dilancarkan, masih ada saja pemberitaan yang merusakkan citra hakim, misalnya bertengkar di pengadilan . . . Sejak tiga tahun lalu saya sudah mencanangkan no compromise. Kalau ada hakim yang melempar palu pada tersangka atau bertengkar di pengadilan, kita menegur atau menasihati, bahkan sampai penindakan administrasi. Kalau ada hakim yang menerima suap, ya, mbok sudahlah tidak usah menjadi hakim. Barangkali jadi rentenir lebih baik. Saya teringat kata-kata Pak Mudjono: "Hanya hakim yang selalu meminjam nama Tuhan." Artinya, dalam keputusannya selalu menggunakan nama Tuhan. Dalam konsekuensi lain, undang-undang membenarkan hakim menerima fasilitas lebih. Jadi, kalau sebagai pegawai negeri, ya, pegawai negeri plus. Jadi, walau pangkat dan golongannya III atau IV, menerima tunjangan dan fasilitas yang luas. Apakah fasilitas sebagai pegawai negeri plus ini menjamin hilangnya apa yang disebut mafia peradilan? Itu merupakan harapan agar dapat dikurangi. Artinya, kami mencoba terus, dari dua sudut yang bertentangan. Pertama, keinginan menjadikan mereka pejabat yang berwibawa dan bercitra luhur dan bersih. Kedua, sebaliknya, kita juga tldak boleh menutup mata, hakim adalah manusia biasa yang dapat berbuat keliru. Apa tujuan pembentukan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman di daerah? Pembentukan itu juga dalam rangka mempercepat proses keluhuran hakim. Dulu ketua pengadilan tinggi di provinsi dibebani juga menjadi pengawas unit-unit departemen. Bahkan juga menjadi pimpinan proyek pembangunan. Akibatnya, beban mereka menumpuk. Karena itu, untuk mengembalikan citra hakim, sekaligus mempercepat 0perasi Kikis Mahkamah Agung, seharusnya mereka dibebaskan dan tugas-tugas sampingan dan kembah ke tugas pokoknya. Karena itu, perlu diciptakan lembaga baru yang akan menangam tugas sampingan itu. Maka, timbul gagasan membentuk kantor wilayah yang ditugasi memberi pelayanan pada semua unit pelaksana teknis: lembaga pemasyarakatan, imigrasi, dan lain-lain. Pak Mudjono pernah punya gagasan mengganti Departemen Kehakiman menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Imigrasi pindah ke Deplu dan Lembaga Pemasyarakatan pindah ke Departemen Sosial. Bagaimana? Itu tidak mungkin. Lantas BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) itu untuk apa? Yang paling mudah memang diadakan reorganisasi misalnya Imigrasi pindah ke Deplu. Tapi saya melihat itu bukan penyelesaian. Pada reorganisasi di Departemen Kehakiman 1 April nanti, Direktorat Perundang-undangan akan dipindah ke sana (BPHN). Sebagai gantinya, Pusat Penyuluhan Hukum akan masuk jajaran Departemen Kehakiman. Ditjen Imigrasi masih tetap berada dalam Departemen Kehakiman karena ia termasuk salah satu unsur pemberi jasa hukum. Sebenarnya, sudah lama ada keinginan agar suatu ketika Departemen Kehakiman mampu menjadi suatu dapur pencipta undang-undang. Pada 1981, pernah saya cetuskan di Yogya agar BPHN tumbuh menjadi law centre yang tidak berhenti hanya meneliti dan menyusun academic draft. Apakah itu berarti semua RUU nantinya akan dipersiapkan Departemen Kehakiman? Berdasarkan Keppres yang disusul Inpres Nomor 15 Tahun 1970, tiap departemen bisa memprakarsai penyusunan rencana undang-undang. Implikasinya, tiap departemen lalu melaksanakan hal itu. Terkadang dllakukan dengan membentuk tim antardepartemen, terkadang tidak. Hingga? pada suatu ketika ada undang-undang yang sudah diundangkan, tapi belum memperoleh kebulatan karena ada pihak yang menganggap kepentmgannya belum tecermin di sana. Saya pikir, alangkah baiknya kalau setiap RUU dibicarakan secara lintas sektoral. Karena itu, rintisannya saya mulai dengan membentuk semacam kelompok kerja tetap di lingkungan BPHN yang beranggotakan semua kepala biro hukum departemen dan lembaga-lembaga negara nondepartemen. Sehingga, penyusunan dan penentuan prioritas program legislatif nasonal 1984/1985 dapat dilakukan bersama. Anggota kelompok kerja itu nantinya akan diangkat dan diberhentikan menteri kehakiman. Mereka diharapkan sudah bisa bekerja mulai 1 April nanti. Lalu kapan BPHN diharapkan bisa menjadi Law Centre? Itu tergantung perkembangan kelompok kerja tetap itu. Mudah-mudahan dalam satu Pelita hal itu bisa terwujud. Sehingga, antinya, secara fungsional, Departemen Kehakimanlah yang mencipta dan merancang segala RUU. Belakangan ini ada beberapa RUU yang bocor di masyarakat. Apakah RUU itu sebenarnya rahasia? Menurut pendapat saya, sebenarnya tidak rahasia. Cuma tidak etis kalau disebarluaskan. Sebab, sebelum sampai pada draft terakhir, acap kali diseminarkan untuk memperoleh masukan dari yang berkepentingan. Tapi, ya, kurang baik kalau disebarluaskan sebelum DPR yang menyampaikan. Mau disebut rahasia, bagaimana, ya, diketiknya saja di kantor yang tanpa Jeruji besi. Kalau terjadi kebocoran, tentunya dari kalangan dalam sendiri yang tidak etis. Untuk pegawai negeri? sanksinya ada dalam UU Pokok Kepegawaian. Ini 'kan menyangkut rahasia negara. Untuk mengatasinya, lebih baik dengan mendidik, untuk mengenal, menghayati, dan menghormati norma yang berlaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini