ASEAN tidak retak. Indonesia tetap mendukung perjuangan rakyat Kamboja dan menuntut Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja. Pesan dan jaminan ini, yang pekan lalu ditegaskan beberapa pejabat Indonesia, agaknya untuk menghiiangkan kekhawatiran dan salah penertian akibat kunjungan Pangab Jenderal L.B. Moerdani ke Vietnam tiga pekan lalu. Pangab L.B. Moerdani sendiri ikut menjernihkan. "ASEAN tetap menuntut ditarik mundurnya tentara Vietnam dari Kamboja " tuturnya pada pers dl Bandar Seri Begawan pekan lalu, tatkala menyertai kunjungan Presiden Soeharto menghadiri upacara kemerdekaan Brunei Darussalam. "Tatkala saya mengatakan bahwa Vietnam tidak lagi merupakan ancaman bagi Asia Tenggara, itu tidak berarti saya setuju jika Vietnam tetap bercokol di Kamboja," ujarnya. Menurut Jenderal Benny Moerdani, ia berkunjung ke Vietnam sebagai panglima ABRI dan tidak untuk membicarakan masalah politik. "Namun, saya memperoleh kesan bahwa mereka sebenarnya seperti kita juga: ingin sekali segera keluar dari dilema itu. Tapi ini cuma kesan saya saja," katanya. Perayaan kemerdekaan Brunei Darussalam, 23 Februari, yang dihadiri semua kepala negara ASEAN, tampaknya dimanfaatkan Indonesia untuk menjelaskan kunjungan Jenderal Moerdani ke Vietnam, serta kunjungan Sihanouk ke Indonesia. Menlu Mochtar Kusumaatmadja, sekembalinya ke Jakarta mengungkapkan, ia telah menjelaskan kepada Menlu Muangthai Siddhi Savetsilla mengenai kunjungan Jenderal Benny ke Vietnam. "Menlu Siddhi dapat mengerti adanya perbedaan persepsi mengenai negara mana yang menJadi ancaman bagi Asia Tenggara. Muangthai menjelaskan mereka lebih melihat Vietnam sebagai ancaman karena letaknya lebih dekat," ujar Mochtar. Menurut Mochtar, Muangthai juga diyakinkan oleh pernyataan Presiden Soeharto kepada Pangeran Sihanouk di Jakarta pekan lalu bahwa Indonesia tetap mendukung perjuangan rakyat Kamboja. Mochtar tampaknya tak begitu menghiraukan berbagai berita pers asing yang secara agak berlebihan melaporkan adanya "keretakan" dalam ASEAN atau malahan "perubahan sikap" Indonesia dalam menghadapi masalah Kamboja. "Yang bikin ramai itu 'kan Bangkok Post saja," katanya Senin lalu. Dua pekan lalu Bangkok Post mengutip pernyataan seorang pejabat Muangthai yang menyesalkan pernyataan Jenderal Moerdani di Hanoi: "Rakyat Indonesia dan ABRI tidak percaya bahwa Vietnam merupakan ancaman bagi Asia Tenggara." Di beberapa ibu kota negara anggota ASEAN lain, pernyataan Jenderal Benny itu kabarnya juga membuat banyak pejabat setempat mengangkat alis. Walau setelah pertemuan tidak resmi antara para negarawan ASEAN di Bandar Seri Begawan tercapai "pengertian penuh", seperti dikatakan Menlu Mochtar, tampaknya setelah kunjungan dan pernyataan Jenderal Benny, adanya perbedaan persepsi di antara negara anggota ASEAN mengenai masalah Kamboja lebih jelas terungkap. Itu terlihat dari pernyataan beberapa tokoh ASEAN. Menlu Muangthai Siddhi, misalnya, akhir pekan lalu mengatakan, "masa depan negara-negara nonkomunis di Asia Tengara bergantung pada nasib Muangthai." Siddhi secara tidak langsung tampaknya ingin menunukkan bahwa negaranya yang langsung berhadapan dengan ancaman Vietnam, yang menempatkan lebih dari 150.000 tentaranya di Kamboja. Kunjungan Jenderal Benny Moerdani ke Vietnam selain untuk mengenal lebih dekat Vietnam agaknya juga punya arti lain. Secara politis, kata Menlu Mochtar, masalah Kamboja sekarang merupakan suatu stalemate (buntu). "Hal ini tidak boleh dibiarkan. Harus diusahakan suatu penyelesaian. Karena itu, kunjungan Jenderal Moerdani ke Hanoi saya anggap tepat waktunya dan baik sekali. Sebab, dengan demikian kita menekankan keinginan untuk memelihara hubungan dengan Vietnam yang memang diperlukan, karena soal Kamboja tak bisa diselesaikan tanpa Vietnam," kata Mochtar. Sejauh mana kunjungan Benny Moerdani berhasil menerobos kemandekan penyelesaian soal Kamboja masih harus ditunggu. Jenderal Benny sendiri di Bandar Seri Begawan mengatakan, selama kunjungannya ia tidak melihat tanda-tanda melunaknya sikap Vietnam. Kunjungan Menlu Vietnam Nuyen Co Tach ke Jakarta 12-14 Maret mendatang tampaknya bisa dijadikan batu duga untuk menjajaki sikap Vietnam. Seminar Indonesia-Vietnam di Hanoi selama dua hari 25-26 Februari lalu mungkin juga bermanaat untuk mengukur sikap Hanoi. alau seminar ini diselenggarakan suatu lembaga swasta: Pusat Pengkajian Masalah Strategis dan Internasional (CSIS), sebagian pesertanya merupakan pejabat penting pemenntah yang ikut serta secara pribadi. Peserta Indonesia antara lain Harry Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, dan Soedjati Djiwandono dari CSIS, Kepala Penelitian & Pengembangan Deplu Fuad Hassan, serta Gubernur Lemhanas Letnan Jenderal Subiyakto. Sedang Vietnam diwakili antara lain oleh Pham Binh, Direktur Lembaga Hubungan Internasional Kementerian Luar Negeri Vietnam. Soal waktu seminar, yang hanya dua pekan sebelum kunjungan Co Tach, serta dua pekan setelah kunjungan Jenderal Benny menurut Direktur Pelaksana CSIS Jusuf Wanandi "kebetulan saja". Jusuf, yang dalam seminar itu membawakan makalahnya yang berjudul "Prospek Perdamaian dan Stabilitas di Asia Tenggara dan untuk Penyelesaian Politik di Kamboja," mengatakan seminar tadi merupakan usaha memperkukuh dan memperluas hubungan Indonesia- Vietnam. "Agar yang ikut mengatur dan melaksanakan hubungan bilateral itu jangan pihak resmi saja, tapi juga kelompok lain dalam masyarakat," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini