Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gaya Kalla Merekrut Pasukan

Susunan pengurus baru Golongan Karya menuai kritik. Beberapa nama yang tak pernah berjuang bersama Golkar pun muncul.

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA dikepung dari dua belas penjuru mata angin." Yang mengucapkan kalimat bernada keluh itu adalah Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Beringin yang baru kalah di Musyawarah Nasional ke-7 di Bali, dua pekan silam. Selasa pekan lalu, dalam temu wartawan di sebuah hotel di Jakarta, Akbar kelihatan "mendung". Ia kerap menghela napas panjang.

Akbar tidak lagi menyesali kekalahan telaknya menghadapi trio Jusuf Kalla-Agung Laksono-Surya Paloh. Akbar, yang di Bali didukung 156 suara, sedangkan Kalla 323 suara, galau menyimak susunan pengurus Partai Beringin di bawah komando Jusuf Kalla untuk masa kerja 2004-2009. Orang Watampone 62 tahun itu banyak memasukkan nama-nama baru yang "mengganggu" Akbar. Bekas Ketua DPR ini melihat nama pengurus baru yang telah di-"PHK" beberapa bulan lalu tapi masuk "kabinet Kalla". Pengurus baru yang dipilih sebuah formatur dinilai Akbar tidak mengacu pada anggaran dasar dan rumah tangga partai. "Ini keputusan keliru," kata Akbar.

Pengurus baru Partai Beringin cukup "rimbun", terdiri dari 107 nama. Dalam rombongan besar itu ada 12 orang yang telah dipecat Akbar, tapi kini balik bertengger di jabatan bergengsi. Fahmi Idris, bekas ketua partai dan sekarang menjadi anggota Dewan Penasihat. Rekan Fahmi sesama "korban pecat", yaitu Burhanuddin Napitupulu, dan dua rekan yang lain sekarang berposisi sebagai ketua. Anton Lesiangi, Yuslin Nasution, dan tiga rekannya yang sudah "dipinggirkan" sekarang maju menempati posisi pimpinan departemen. Lalu, ingat kasus Priyo Budi Santosa? Anggota DPR asal Beringin itu sempat diancam recall oleh Akbar gara-gara bergabung dengan Fahmi Idris untuk bertemu Jusuf Kalla, yang waktu itu calon wakil presiden dari Partai Demokrat. Nasib Priyo sekarang bagus, direkrut Kalla untuk jabatan mentereng: wakil sekretaris jenderal.

Rekrutmen dari luar yang juga dianggap janggal menyangkut Muladi. Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro itu pernah menyatakan mundur dari Golkar, namun kini langsung masuk barisan pengurus. Aryadi Achmad, bekas anggota DPR dari Golkar periode 1999-2004, diangkat menjadi pengurus pula. Padahal, setelah namanya tidak masuk daftar calon legislatif dalam Pemilu 2004, ia dikabarkan pindah ke Partai Demokrat dan pernah memperlihatkan kartu anggotanya kepada beberapa anggota Fraksi Golkar di Senayan.

Masih ada "nama asing" seperti Nasir Tamara dan Gde Sumarjaya Linggih. Setahun lalu, diketahui Nasir masih aktif di Partai Persatuan Pembangunan periode 1998-2003. Sumarjaya sempat menjadi pengurus Partai Perhimpunan Indonesia Baru.

Sanak kerabat Jusuf Kalla dan pengurus lain juga meramaikan susunan pengurus. Muncul nama Suhaili Kalla, adik Daeng Ucu—panggilan Jusuf Kalla. Ada juga Poempida Hidayatullah, menantu Fahmi Idris. Anak Ginandjar Kartasasmita, tokoh Orde Baru yang sekarang Ketua Dewan Perwakilan Daerah, yaitu Agus Gumiwang Kartasasmita, ikut masuk tim Kalla. Begitu juga G.P.H. Joyokusumo, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, juga ditampung di markas partai itu di Slipi. Sultan sendiri masuk Dewan Penasihat.

Tentu saja ada sejumlah nama yang dulu berdiri di dekat Akbar. Kabarnya, mereka masuk kepengurusan atas usulan Agung Laksono, di antaranya Theo L. Sambuaga, Andi Matalatta, Syamsul Mu'arif, Enggartiasto Lukita, dan Paskah Suzetta.

Kelompok lingkaran dalam Akbar memang tidak muncul di daftar. Tak ada nama Mahadi Sinambela, Rambe Kamarulzaman, Muhammad Hatta, Ferry Mursyidan Baldan, Ade Komaruddin, atau Agun Gunandjar Sudarsa. Tapi Yahya Zaini yang juga lama "bareng" Akbar ada di daftar. Mantan wakil sekjen ini dipromosikan menjadi salah satu ketua. "Yahya mewakili aktivis Himpunan Mahasiswa Islam dan Jawa Timur," kata orang dekat Kalla. Wakil sekjen yang lama, Rully Chairul Azwar, yang juga dekat Akbar, dipilih karena dinilai jujur dan bekerja keras. "Kerjanya bagus. Tidak naik dan tidak turun," kata sumber Tempo.

Semua nama dipilih oleh formatur yang dipimpin langsung Kalla. Agung Laksono ikut di dalam formatur bersama empat pengurus daerah. Rapat yang seharusnya hanya diikuti lima anggota tim formatur itu kemudian dihadiri Fahmi Idris, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Aksa Mahmud, Agus Gumiwang, dan Burhanuddin Napitupulu. Anggota "resmi" formatur akhirnya memang tak menentukan sepenuhnya.

Akibatnya, perdebatan memang melibatkan lebih banyak kepentingan. Nama demi nama penting ditakar. Bekas Pangkostrad Prabowo Subianto, yang di Bali memihak Kalla, tadinya diminati Kalla sebagai salah satu ketua. Tapi yang lain berpendapat Prabowo lebih bagus masuk Dewan Penasihat. Akhirnya, Tadjuddin Noorsaid masuk sebagai ketua. "Tadjuddin itu harus masuk—harga mati," kata sumber itu, menirukan Surya Paloh.

Agung Laksono juga punya "kawan lama" yang masuk kepengurusan. Dia adalah Edward Soeryadjaya, bekas bos Bank Summa yang juga anak taipan William Soeryadjaya, yang duduk sebagai wakil bendahara. Edward ini sohib berat Agung Laksono. Di dalam buku baru yang diluncurkan Agung, Rumah Terindah untuk Rakyat, Edward ikut menuliskan catatan kenangannya.

Lain lagi cerita Agus Gumiwang Kartasasmita, putra Ginandjar. Dia ikut menopang Kalla dalam pencalonan sebagai wakil presiden. Itu sebabnya ia dijagokan sebagai ketua. Tapi yang lain protes dan menunjuk jabatan wakil bendahara untuknya. Namun, Kalla berkeras sehingga jadilah Agus ketua.

Yang juga diperdebatkan adalah jabatan prestisius sekretaris jenderal. Secara "tradisi" kursi ini milik tentara sejak Golkar berdiri pada 1971. Di masa Akbar, bekas Ketua Fraksi ABRI Letjen (Purn.) Budi Harsono duduk di sana. Kini giliran bekas Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen (Purn.) Soemarsono yang mengisi kursi itu. Kabarnya, dalam soal sekjen ini, Kalla "serasi" dengan pendapat bosnya di Istana.

Nama lain yang dimasukkan Kalla yakni Nusron Wahid. Bekas Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu dipercaya bisa menjadi liaison officer untuk menjembatani Partai Golkar dengan Nahdlatul Ulama.

Demi kepentingan tim, rupanya urusan administratif tercecer. Nomor Pokok Anggota Golkar, misalnya, kerap tidak dimasukkan sebagai pertimbangan. Itulah yang membuat penyelenggara Musyawarah Nasional yang diketuai bekas menteri Abdul Gafur menolak mengesahkan susunan pengurus baru seperti berita acara rapat pada 19 Desember.

Namun, penolakan itu tidak langsung disampaikan pada penutupan Musyawarah Nasional. Suasana kacau-balau. Abdul Gafur selaku ketua pimpinan Munas akhirnya mengetukkan palu menutup musyawarah itu. Ketuk palu itu ditafsirkan sebagai pengesahan hasil kerja formatur menyusun kepengurusan. Gafur mengaku berada dalam posisi sulit. "Bila tidak segera ditutup, Munas bisa deadlock," ujarnya sebagaimana dikutip sumber Tempo. Penolakan akhirnya baru disampaikan pada 21 Desember pagi ketika Abdul Gafur datang ke rumah Kalla.

Jusuf Kalla tidak bereaksi menerima "protes" Gafur. Kepada Tempo, Kalla membantah kritik Akbar bahwa kepengurusannya tidak selektif, bernuansa nepotisme, dan tidak sah. Dia mengaku memilih orang atas dasar kompetensinya. Dan itu disetujui Musyawarah Nasional yang menurut dia ajang tertinggi. "Jadi, tidak bisa dikatakan tidak sah," ujar Kalla.

Dengan argumen Musyawarah Nasional adalah forum tertinggi itu pula ia membela pengurus yang dulu dipecat Akbar. "Benar mereka dipecat, tapi diangkat Munas yang lebih tinggi kekuasaannya," ujar bos sejumlah perusahaan ini. Soal tudingan nepotisme juga dibantah. Kata dia, bila seseorang mampu, maka tak ada salahnya menjadi pengurus meski ada kaitan kekerabatan.

Alhasil, Kalla punya gayanya sendiri, walau banyak yang mengkritiknya seperti hendak menciptakan Orde Baru Jilid II. Ia mengelak dikatakan mengincar jabatan presiden untuk 2009. "Saya belum berpikir ke situ," ujar Jusuf Kalla.

Masih kelewat pagi bicara 2009. Tapi gaya rekrutmen model baru ini membuat pemenang pemilu itu jauh dari pantas untuk disebut partai kader yang patut ditiru.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Widiarsi Agustina, Arif A. Koeswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus