SUDAH delapan tahun memburuh, Warto tetap belum punya apa-apa. Tempat tinggalnya cuma sebuah ruang kontrakan sempit, berukuran 3 m x 3 m. Ruang berdinding tripleks itu ia huni bersama empat teman sekerja, secara berpatungan. Kalau hujan, mereka pun mesti berbecek-becek. Kini ada sekitar 11 juta buruh yang hidup di kawasan industri. Rata-rata penghidupan mereka seperti Warto. Belum terhitung -- diduga jumlahnya lebih besar -- mereka yang memburuh di luar kawasan, termasuk di industri-industri berskala besar. Merekalah tampaknya yang menjadi sasaran surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri mengenai perumahan dan permukiman buruh, yang ditandatangani Kamis pekan lalu. Adalah Menteri Negara Perumahan Rakyat Akbar Tandjung, Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief, dan Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo yang membuat SKB itu. Isinya, dengan tegas mewajibkan tiap pabrik dalam kawasan industri dan industri skala besar membangun rumah yang bisa dimiliki dengan cara mencicil oleh karyawannya. Dalam SKB itu, tiap kawasan industri dan industri skala besar harus melowongkan 5% luas lahannya buat permukiman buruh. Mau dibangun rumah biasa atau rumah susun berlantai empat, terserah. Pokoknya, permukiman itu harus layak huni, berventilasi baik, dengan air bersih. Bila konsep itu terealisasi, di sekitar kawasan industri tak lagi muncul permukiman kontrakan kumuh. Sebagai percontohan, tahun ini segera dibangun 2.000 rumah buruh di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebenarnya, tak ada kendala bagi kawasan industri untuk mematuhi SKB itu. Tanahnya bernilai murah karena toh dulu kawasan itu dibebaskan dengan harga minim. Pendanaan untuk membangun perumahan buruh itu bisa dipinjam dari Perum Asuransi Tenaga Kerja (Astek) serta fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) BTN. Tapi kaum buruh jangan gembira dulu. Soalnya, tak semua pekerja bisa memperoleh rumah itu. Ada syarat: mereka harus sudah berpenghasilan tetap alias karyawan tetap, dan telah mengikuti jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) melalui Perum Astek. Tampaknya, rumah itu memang bukan untuk pekerja harian atau kontrakan, yang sering melakukan mogok dan aksi menuntut kenaikan upah minimum itu. Ada lagi soal lain: harga rumah. Di Cileungsi yang sudah disebut, rumah tipe 21, sekitar Rp 8 juta, belum termasuk harga tanah. "Kita hitung cicilan itu bisa Rp 60 ribu sampai Rp 70 ribu per bulan," kata Menteri Akbar Tandjung. Nah, jumlah sebesar itu bisa mencapai separuh dari upah bulanan seorang buruh, yang upah minimumnya cuma Rp 3.000 sampai Rp 4.000. Padahal, supaya mereka tak kelimpungan, cicilan tersebut mestinya tak lebih dari sepertiga penghasilan. Namun, Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief optimistis hal itu bisa diatasi. "Karyawan mendapat biaya transpor. Kalau rumahnya dekat pabrik, uang itu bisa dijadikan cicilan," katanya. Selain itu, tambah Latief, pengusaha harus membantu, misalnya lewat pinjaman tanpa bunga. Persoalan yang lebih merepotkan nanti, tampaknya, akan muncul dari para pengusaha. Betapapun, SKB itu akan memberatkan mereka. R. Maryono, Direktur Personalia PT Sinar Angkasa di kawasan industri Rungkut, Surabaya, misalnya, belum mendengar ihwal SKB itu. Tapi ia belum sempat memikirkan perumahan untuk karyawannya. "Kami lebih banyak memikirkan hal-hal yang lebih realistis, seperti tunjangan transpor, makan, dan kesehatan karyawan," kata direktur perusahaan yang memproduksi lampu Chiyoda itu. Maryono merasa lebih cocok kalau 2.500 buruhnya diberi tunjangan perumahan saja, tanpa pusing memikirkan perumahan untuk mereka. Mungkin reaksi yang lebih ramai dari pengusaha akan muncul saat petunjuk pelaksana (juklak) SKB itu keluar, sebentar lagi. Soalnya, di situ nanti diatur berbagai sanksi bagi perusahaan yang tak melaksanakannya. Indrawan, Andi R. Rohadian, dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini