Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Harta karun anak Indonesia

Kisah haru tentang anak-anak dari berbagai lingkungan karena harus bekerja, anak-anak di pulau buru tak sempat menikmati bonekanya.di irian jaya, sejak kecil anak sudah berpisah dari orang tua. (pdk)

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIMANA anda berangkat dewasa? Itu tentu saja menunjuk pada lingkungan sosial dan pola asuhan yang menyangkut diri anda sebagai kanak-kanak dahulu. Dan bagaimana dengan lingkungan sosial dan pola asuhan yang meliputi anak-anak Indonesia, yang tentu tidak hanya sejenis? Yayasan Masdani dan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) mengadakan lomba karya tulis sehubungan dengan itu -- dengan judul, tentu saja, Bagaimana Anak-anak Indonesia Meningkal Dewasa. Dibuka Januari dan ditutup bulan Juni, pertengahan Oktober kemarin sayembara memasuki tahap pemilihan karya terbaik. Dan dari 307 karangan yang masuk, 12 buah dinyatakan berhak mendapat hadiah -- meski besarnya hadiah ternyata tidak seperti direncanakan. Sebab "tak ada karangan yang nilainya sebanding dengan Rp 1 juta," seperti dikatakan seorang juri. Toh keseluruhan karangan yang terkumpul itu boleh dianggap merupakan "harta karun". Juri sepakat, bahwa satu dari dua jenis karangan yang disyaratkan, yakni riwayat hidup (jenis lain ialah esei), yang berjumlah 101 buah, memberi informasi sangat berharga yang menantang satu penelitian lebih lanjut oleh para ahli (lihat box). Hersri misalnya, 40 tahun, menulis satu reportase kehidupan di Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) tahanan politik G30S di P. Buru. Karangan juara pertama ini menyuguhkan beberapa hal yang mungkin sulit diperoleh bila penulisnya bukan orang yang selama 7 tahun (1971-1978) ikut mendekam di P. Buru sebagai tapol. "Saya ingin menampilkan peradaban primitif dan modern, sampai di mana hasil interaksi mereka," katanya kepada TEMPO. Ia menceritakan misalnya, bagaimana boneka tak lagi sempat menarik perhatian -- karena dari anak kecil sampai orang tua harus bekerja. Sebaliknya ada kelonggaran dalam pergaulan -- karena tingkat-tingkat sosial belum terbentuk. Orangtua mereka menjalankan kegiatan rutin yang sama, memiliki rumah serta tanah yang sama besar dan sama luas. "Tapi sekarang memang mulai ada stratifikasi sosial." Yang sangat menjadi keprihatinan sarjana muda Fak. Publisistik dan Ilmu Komunikasi Massa UGM (1960) ini, kecuali soal pelacuran yang muncul secara sembunyi-sembunyi di Inrehab Buru dan kemudian juga mempengaruhi penduduk setempat, adalah generasi muda di sana. anak-anak para tapol. "Saya kuatirkan remaja di sana dalam melihat ke depan tak mempunyai arah. Tak ada prospek mengembangkan karir." Ini disebabkan, menurut pengamatannya, sementara orangtua tak sempat memberi pendidikan, sekolah dan kepramukaan hanya mengajarkan hal-hal formal. Peristiwa G30S PKI agaknya memang menimbulkan banyak cerita mengharukan -- yang sama sekali tak ada hubungan langsung dengan politik, karena menyangkut dunia anak-anak. Memang, sesudah 1965 muncul beberapa cerita pendek -- yang menceritakan nasib keluarga yang terlibat. Tapi apa yang dituturkan karangan-karangan yang masuk ini bukanlah cerita. Melainkan lingkungan sosial anak Indonesia yang sebenarnya yang orangtuanya terlibat dengan hal hal politik itu. Seorang Christ Rumphuin, 21 tahun, mahasiswa Fak. Kedokteran Gigi Unhas, menceritakan kisah dia menjadi dewasa di bawah asuhan ibunya -- karena ayahnya ditangkap. Bagaimana rumahnya menjadi puing karena dibakar massa, bagaimana ia mencoba membantu berjualan pisang goreng (dan dagangannya diludahi teman-temannya), bagaimana ibunya berusaha meneguhkan imannya. "Berdoalah saja kalian kepada Yang Maha Kuasa . . ." Dalam tulisan ini tersirat bagaimana agama ternyata sangat menolong. Masih berkait dengan peristiwa G30S, adalah tulisan Ny. Srimartani Rustiadi, 37 tahun. Bukan otobiografi tapi catatan pengalamannya mengasuh anak-anak yang menderita bermacam trauma akibat kemalangan orangtua mereka. Tak semuanya karena G30S, meskipun jenis ini terhitung yang menarik. Gelandangan Ida seorang anak, kini 16 tahun, yang ayahnya ditahan karena G30S, mengalami hal-hal luar biasa. Ketika berusia sekitar 10 tahun dia pernah memangku adiknya menunggu kedatangan ibunya yang memburuh. Dan adik itu meninggal di pangkuannya -- tanpa ia tahu. Tiga tahun kemudian, karena keinginan tahu di mana ayahnya, ia jalan kaki menempuh 300 km. Untung dia ditolong orang dan akhirnya sampai ke tangan Ny. Srimartani. Kemudian sekali lagi anak ini menerima pukulan yang tak pernah dibayangkannya sama sekali: ketika ayahnya dibebaskan, ternyata tak lagi mau dengan ibunya -- yang karena kerja keras untuk menghidupi anaknya menjadi tampak tua dan buruk. Sekarang anak ini sudah sehat -- dan mendampingi sang ibu. Tak semua anak yang diasuh Ny. Sri berhasil menjadi baik. Seorang yang ayah-ibunya ditahan pernah menggelandang beberapa lama -- dan akhirnya melarikan diri setelah diberi pakaian. "Mungkin terlalu berat pukulan yang diterimanya sewaktu dia berumur 3-6 tahun. Dan hidup secara gelandangan mungkin merupakan kebahagiaan bagi dia," tulis nyonya itu. Yang mendorong Ny. Sri menuliskan pengalamannya karena: "Problem yang ditimbulkan peristiwa G30S sungguh besar," dan salah satunya adalah problem anak-anak. Telah 26 anak tapol yang berhasil diasuhnya dan dikembalikan kepada orangtuanya setelah orangtuanya mempunyai kondisi baik. Kini masih ada 4 anak lagi. Tulisan yang meraih kedudukan juara kedua datang dari Teddy Kedeykoto, 27 tahun, mahasiswa tingkat doktoral Institut Filsafat Theologi Santo Paulus, Yogya. Dia anak Ir-Ja, suku Mapia. Ia menggambarkan bagaimana masyarakat sukunya mempersiapkan anak-anak sesuai dengan kebudayaan mereka: sejak kecil sudah terpisah dari orangtua, dan siap dengan mental pengembara. Menarik adalah pengamatannya terhadap orang muda Ir-Ja yang mendapat didikan asrama oleh misi Katolik secara cuma-cuma. Orang-orang itu akhirnya justru menjadi manja. Yang telah bekerja dan berkeluarga tak pernah memikirkan keluarganya, dan gajinya untuk foya-foya. Sebab, pada pikirnya, anak-anaknya nanti tentu akan ada yang mengurus seperti yang dialaminya sendiri. Sekembalinya ke kampung, mereka lebih suka perintah ini-itu daripada bekerja sendiri -- dan sialnya mereka merasa lebih terdidik dari orang kampung. Satu hal yang agaknya ingin dipertahankan Teddy pola asuhan yang menyadarkan anak akan pentingnya kerja. Menurut ceritanya, seorang ibu tak akan memberi makan anaknya bila sehabis sekolah anak itu tak mau kerja, misalnya menjaga babi. Dengan beberapa contoh tersebut dewan juri (Soedjatmoko, Saparinah Sadli, Ny. Yos Masdani dan Ismid Hadad) agaknya benar: karangan yang masuk "hanya menekankan pada beberapa aspek, dan kaitannya dengan pola asuhan dan lingkungan sosial anak jarang bisa digambarkan secara baik." Tetapi tentu saja berharga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus