BAGAIMANA anda berangkat dewasa? Itu tentu saja menunjuk pada
lingkungan sosial dan pola asuhan yang menyangkut diri anda
sebagai kanak-kanak dahulu. Dan bagaimana dengan lingkungan
sosial dan pola asuhan yang meliputi anak-anak Indonesia, yang
tentu tidak hanya sejenis?
Yayasan Masdani dan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial) mengadakan lomba karya tulis
sehubungan dengan itu -- dengan judul, tentu saja, Bagaimana
Anak-anak Indonesia Meningkal Dewasa. Dibuka Januari dan ditutup
bulan Juni, pertengahan Oktober kemarin sayembara memasuki tahap
pemilihan karya terbaik. Dan dari 307 karangan yang masuk, 12
buah dinyatakan berhak mendapat hadiah -- meski besarnya hadiah
ternyata tidak seperti direncanakan. Sebab "tak ada karangan
yang nilainya sebanding dengan Rp 1 juta," seperti dikatakan
seorang juri. Toh keseluruhan karangan yang terkumpul itu boleh
dianggap merupakan "harta karun".
Juri sepakat, bahwa satu dari dua jenis karangan yang
disyaratkan, yakni riwayat hidup (jenis lain ialah esei), yang
berjumlah 101 buah, memberi informasi sangat berharga yang
menantang satu penelitian lebih lanjut oleh para ahli (lihat
box).
Hersri misalnya, 40 tahun, menulis satu reportase kehidupan di
Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) tahanan politik G30S di P.
Buru. Karangan juara pertama ini menyuguhkan beberapa hal yang
mungkin sulit diperoleh bila penulisnya bukan orang yang selama
7 tahun (1971-1978) ikut mendekam di P. Buru sebagai tapol.
"Saya ingin menampilkan peradaban primitif dan modern, sampai di
mana hasil interaksi mereka," katanya kepada TEMPO. Ia
menceritakan misalnya, bagaimana boneka tak lagi sempat menarik
perhatian -- karena dari anak kecil sampai orang tua harus
bekerja. Sebaliknya ada kelonggaran dalam pergaulan -- karena
tingkat-tingkat sosial belum terbentuk. Orangtua mereka
menjalankan kegiatan rutin yang sama, memiliki rumah serta tanah
yang sama besar dan sama luas. "Tapi sekarang memang mulai ada
stratifikasi sosial."
Yang sangat menjadi keprihatinan sarjana muda Fak. Publisistik
dan Ilmu Komunikasi Massa UGM (1960) ini, kecuali soal pelacuran
yang muncul secara sembunyi-sembunyi di Inrehab Buru dan
kemudian juga mempengaruhi penduduk setempat, adalah generasi
muda di sana. anak-anak para tapol. "Saya kuatirkan remaja di
sana dalam melihat ke depan tak mempunyai arah. Tak ada prospek
mengembangkan karir." Ini disebabkan, menurut pengamatannya,
sementara orangtua tak sempat memberi pendidikan, sekolah dan
kepramukaan hanya mengajarkan hal-hal formal.
Peristiwa G30S PKI agaknya memang menimbulkan banyak cerita
mengharukan -- yang sama sekali tak ada hubungan langsung dengan
politik, karena menyangkut dunia anak-anak. Memang, sesudah 1965
muncul beberapa cerita pendek -- yang menceritakan nasib
keluarga yang terlibat. Tapi apa yang dituturkan
karangan-karangan yang masuk ini bukanlah cerita. Melainkan
lingkungan sosial anak Indonesia yang sebenarnya yang
orangtuanya terlibat dengan hal hal politik itu.
Seorang Christ Rumphuin, 21 tahun, mahasiswa Fak. Kedokteran
Gigi Unhas, menceritakan kisah dia menjadi dewasa di bawah
asuhan ibunya -- karena ayahnya ditangkap. Bagaimana rumahnya
menjadi puing karena dibakar massa, bagaimana ia mencoba
membantu berjualan pisang goreng (dan dagangannya diludahi
teman-temannya), bagaimana ibunya berusaha meneguhkan imannya.
"Berdoalah saja kalian kepada Yang Maha Kuasa . . ." Dalam
tulisan ini tersirat bagaimana agama ternyata sangat menolong.
Masih berkait dengan peristiwa G30S, adalah tulisan Ny.
Srimartani Rustiadi, 37 tahun. Bukan otobiografi tapi catatan
pengalamannya mengasuh anak-anak yang menderita bermacam trauma
akibat kemalangan orangtua mereka. Tak semuanya karena G30S,
meskipun jenis ini terhitung yang menarik.
Gelandangan
Ida seorang anak, kini 16 tahun, yang ayahnya ditahan karena
G30S, mengalami hal-hal luar biasa. Ketika berusia sekitar 10
tahun dia pernah memangku adiknya menunggu kedatangan ibunya
yang memburuh. Dan adik itu meninggal di pangkuannya -- tanpa ia
tahu. Tiga tahun kemudian, karena keinginan tahu di mana
ayahnya, ia jalan kaki menempuh 300 km. Untung dia ditolong
orang dan akhirnya sampai ke tangan Ny. Srimartani. Kemudian
sekali lagi anak ini menerima pukulan yang tak pernah
dibayangkannya sama sekali: ketika ayahnya dibebaskan, ternyata
tak lagi mau dengan ibunya -- yang karena kerja keras untuk
menghidupi anaknya menjadi tampak tua dan buruk. Sekarang anak
ini sudah sehat -- dan mendampingi sang ibu.
Tak semua anak yang diasuh Ny. Sri berhasil menjadi baik.
Seorang yang ayah-ibunya ditahan pernah menggelandang beberapa
lama -- dan akhirnya melarikan diri setelah diberi pakaian.
"Mungkin terlalu berat pukulan yang diterimanya sewaktu dia
berumur 3-6 tahun. Dan hidup secara gelandangan mungkin
merupakan kebahagiaan bagi dia," tulis nyonya itu.
Yang mendorong Ny. Sri menuliskan pengalamannya karena: "Problem
yang ditimbulkan peristiwa G30S sungguh besar," dan salah
satunya adalah problem anak-anak. Telah 26 anak tapol yang
berhasil diasuhnya dan dikembalikan kepada orangtuanya setelah
orangtuanya mempunyai kondisi baik. Kini masih ada 4 anak lagi.
Tulisan yang meraih kedudukan juara kedua datang dari Teddy
Kedeykoto, 27 tahun, mahasiswa tingkat doktoral Institut
Filsafat Theologi Santo Paulus, Yogya. Dia anak Ir-Ja, suku
Mapia. Ia menggambarkan bagaimana masyarakat sukunya
mempersiapkan anak-anak sesuai dengan kebudayaan mereka: sejak
kecil sudah terpisah dari orangtua, dan siap dengan mental
pengembara.
Menarik adalah pengamatannya terhadap orang muda Ir-Ja yang
mendapat didikan asrama oleh misi Katolik secara cuma-cuma.
Orang-orang itu akhirnya justru menjadi manja. Yang telah
bekerja dan berkeluarga tak pernah memikirkan keluarganya, dan
gajinya untuk foya-foya. Sebab, pada pikirnya, anak-anaknya
nanti tentu akan ada yang mengurus seperti yang dialaminya
sendiri. Sekembalinya ke kampung, mereka lebih suka perintah
ini-itu daripada bekerja sendiri -- dan sialnya mereka merasa
lebih terdidik dari orang kampung.
Satu hal yang agaknya ingin dipertahankan Teddy pola asuhan
yang menyadarkan anak akan pentingnya kerja. Menurut ceritanya,
seorang ibu tak akan memberi makan anaknya bila sehabis sekolah
anak itu tak mau kerja, misalnya menjaga babi.
Dengan beberapa contoh tersebut dewan juri (Soedjatmoko,
Saparinah Sadli, Ny. Yos Masdani dan Ismid Hadad) agaknya benar:
karangan yang masuk "hanya menekankan pada beberapa aspek, dan
kaitannya dengan pola asuhan dan lingkungan sosial anak jarang
bisa digambarkan secara baik." Tetapi tentu saja berharga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini