BERIKUT ini wawancara TEMPO dengan Soedjatmoko, salah seorang
juri dan juga anggota Yayasan Masdani, salah satu penyelenggara
sayembara ini.
Kabarnya ide sayembara ini datang dari anda. Apa yang mendorong
anda memilih 'Bagaimana Anak Indonesia Meningkat Dewasa'?
Kita memang ingin mengetahui hal itu dalam kenyataannya. Pasti
ada banyak pola. Dalam zaman pancaroba ini masing-masing suku
masih punya tradisi sendiri, punya pola sendiri, yang
perubahan-perubahannya tidak sama. Data-data tentang masalah
itu, yang paling mentah pun kita tidak punya. Kita selama ini
tidak bisa membayangkan apa saja yang patut diteliti ilmuwan
kita di bidang ini.
Yang kita cari ialah sesuatu yang dapat dimanfaatkan banyak
orang bukan mencari jawaban yang benar, melainkan membangkitkan
perhatian terhadap satu masalah pokok, yang pengetahuan kita
hampir sama sekali tidak ada. Kita mengajak orang menulis
masalah ini, baik dari golongan tua maupun muda.
Jadi dilihat dari sudut ilmu, ini tak ada struktur yang jelas
--kita nnengundang macam-macam tipe karangan. Harapan kita,
semua itu akan memberi gambaran apa yang sebenarnya terjadi.
Memang kemudian ternyata tidak ada karangan yang mencakup
permasalahan yang dicari penyelenggara. Tetapi itu tidak jadi
soal. Sebagai kumpulan karangan, sangat berharga.
Kalau begitu apa saja yang bisa diperoleh?
Ada beberapa hal yang terungkap juga, terutama dalam
otobiografi. Ialah vitalitas, keinginan maju. Banyak karangan
yang menceritakan keluarga miskin, tinggal di desa, dilanda
perang, dilanda Belanda, Jepang, revolusi. Keluarga pecah, anak
dititipkan orang lain. Gambaran kemiskinan yang sangat menyolok.
Tapi juga kelihatan tekad untuk maju. Lewat pendidikan. Yang
aneh -- tapi mungkin karena sifatnya sebagai sayembara -- tak
ada satu karangan pun yang menceritakan bagaimana seseorang
menjadi pengusaha atau wiraswasta yang sukses.
Yang kedua, bisa dilihat bahwa para orangtua ternyata begitu
keras kerjanya, baik bapak atau ibu, demi pendidikan anak --
dalam hal ini pendidikan formal. Dalam pendidikan moral yang
berperanan adalah kakek. Atau dalam masyarakat seperti di
Minangkabau misalnya, guru agama. Bisa disimpulkan bagaimana
pentingnya keluarga seahtera -- keluarga yang mengandung tiga
generasi. Kebiasaan menampung kakek, nenek, paman perlu
diperhatikan. Mereka turut menampung juga masalah dalam
keluarga.
Saya kira itu ada konsekwensinya. Kalau kita bikin perumahan,
kalau mau, yang bisa juga ikut menampung paman atau kakek. Ini
penting: hendaknya kemungkinan itu jangan dibuang dengan memaksa
kita jadi "modern", terpecah menjadi keluarga inti. Ini memang
satu masalah besar: saya kira kita perlu menemukan dan
mengembangkan satu sistem perumahan yang memungkinkan kerukunan
keluarga yang agak besar bisa dipelihara. Sehingga pelayanan
sosial, tidak harus ditangani lembaga resmi.
Saya kira banyak hal dari naskah sayembara ini bisa dikaji para
sosiolo atau psikolog. Memang tak bisa jadi sampel
representatif. Satu kebetulan saja. Tapi paling tidak bisa untuk
mendapatkan gambaran.
Kembali ke vitalitas, itu adalah modal bangsa. Satu optimisme.
Tapi saya juga menyadari betapa sulitnya jalan maju, bagi orang
yang mulai dari miskin dan dilanda perubahan zaman. Vitalitas
yang -- saya maksudkan adalah vitalitas yang sangat mendasar
--belum berkembang 'dalam ujud pandangan bernegara. Tapi itu
penting sekali.
Apa yang baru buat anda, kalau ada?
Buat saya yang baru, saya yang turut mengalami zaman Belanda,
Jepang, dan banyak kehebohan saya alami, yang tak saya sadari
ialah betapa hebat dan merusak pengaruh perubahanperubahan zaman
atas kehidupan orang yang miskin. Saya menganggap diri saya
orang yang tahu sejarah republik ini. Tapi dalam cerita-cerita
inilah saya baru mendengar apa yang dialami orang kecil yang
tidak ada kaitannya dengan politik besar.
Pengaruh perkembangan sejarah melanda orang miskin betul-betul:
keluarga pecah, mereka tidak tahu sebab apa Belanda datang,
sebab apa Jepang begitu. Ini merupakan bukti butanya sejarah
terhadap kenyataan yang dialami hidup orang kecil. Ini satu
penglaman yang sangat mengharukan: melihat vitalitas, kesetiaan
dalam keluarga Saya tak menduga terpesona secara pribadi.
Banyak sekali bahasa yang kurang baik, gaya bahasa yang jelek.
Tetapi kemampuan mengharukan lebih besar daripada karya sastra
di Indonesia selama ini. Ini cerita tentang hidup. Jadi yang
kita nilai kadar informasinya-meski tak ada pemenang seperti
yang kita harapkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini