Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Vitalitas, tiga generasi

Penyelenggaraan lomba karya tulis, "bagaimana anak indonesia meningkat dewasa", bertujuan mencari gambaran apa sebenarnya yang terjadi dalam dunia pendidikan kita dewasa ini. (pdk)

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERIKUT ini wawancara TEMPO dengan Soedjatmoko, salah seorang juri dan juga anggota Yayasan Masdani, salah satu penyelenggara sayembara ini. Kabarnya ide sayembara ini datang dari anda. Apa yang mendorong anda memilih 'Bagaimana Anak Indonesia Meningkat Dewasa'? Kita memang ingin mengetahui hal itu dalam kenyataannya. Pasti ada banyak pola. Dalam zaman pancaroba ini masing-masing suku masih punya tradisi sendiri, punya pola sendiri, yang perubahan-perubahannya tidak sama. Data-data tentang masalah itu, yang paling mentah pun kita tidak punya. Kita selama ini tidak bisa membayangkan apa saja yang patut diteliti ilmuwan kita di bidang ini. Yang kita cari ialah sesuatu yang dapat dimanfaatkan banyak orang bukan mencari jawaban yang benar, melainkan membangkitkan perhatian terhadap satu masalah pokok, yang pengetahuan kita hampir sama sekali tidak ada. Kita mengajak orang menulis masalah ini, baik dari golongan tua maupun muda. Jadi dilihat dari sudut ilmu, ini tak ada struktur yang jelas --kita nnengundang macam-macam tipe karangan. Harapan kita, semua itu akan memberi gambaran apa yang sebenarnya terjadi. Memang kemudian ternyata tidak ada karangan yang mencakup permasalahan yang dicari penyelenggara. Tetapi itu tidak jadi soal. Sebagai kumpulan karangan, sangat berharga. Kalau begitu apa saja yang bisa diperoleh? Ada beberapa hal yang terungkap juga, terutama dalam otobiografi. Ialah vitalitas, keinginan maju. Banyak karangan yang menceritakan keluarga miskin, tinggal di desa, dilanda perang, dilanda Belanda, Jepang, revolusi. Keluarga pecah, anak dititipkan orang lain. Gambaran kemiskinan yang sangat menyolok. Tapi juga kelihatan tekad untuk maju. Lewat pendidikan. Yang aneh -- tapi mungkin karena sifatnya sebagai sayembara -- tak ada satu karangan pun yang menceritakan bagaimana seseorang menjadi pengusaha atau wiraswasta yang sukses. Yang kedua, bisa dilihat bahwa para orangtua ternyata begitu keras kerjanya, baik bapak atau ibu, demi pendidikan anak -- dalam hal ini pendidikan formal. Dalam pendidikan moral yang berperanan adalah kakek. Atau dalam masyarakat seperti di Minangkabau misalnya, guru agama. Bisa disimpulkan bagaimana pentingnya keluarga seahtera -- keluarga yang mengandung tiga generasi. Kebiasaan menampung kakek, nenek, paman perlu diperhatikan. Mereka turut menampung juga masalah dalam keluarga. Saya kira itu ada konsekwensinya. Kalau kita bikin perumahan, kalau mau, yang bisa juga ikut menampung paman atau kakek. Ini penting: hendaknya kemungkinan itu jangan dibuang dengan memaksa kita jadi "modern", terpecah menjadi keluarga inti. Ini memang satu masalah besar: saya kira kita perlu menemukan dan mengembangkan satu sistem perumahan yang memungkinkan kerukunan keluarga yang agak besar bisa dipelihara. Sehingga pelayanan sosial, tidak harus ditangani lembaga resmi. Saya kira banyak hal dari naskah sayembara ini bisa dikaji para sosiolo atau psikolog. Memang tak bisa jadi sampel representatif. Satu kebetulan saja. Tapi paling tidak bisa untuk mendapatkan gambaran. Kembali ke vitalitas, itu adalah modal bangsa. Satu optimisme. Tapi saya juga menyadari betapa sulitnya jalan maju, bagi orang yang mulai dari miskin dan dilanda perubahan zaman. Vitalitas yang -- saya maksudkan adalah vitalitas yang sangat mendasar --belum berkembang 'dalam ujud pandangan bernegara. Tapi itu penting sekali. Apa yang baru buat anda, kalau ada? Buat saya yang baru, saya yang turut mengalami zaman Belanda, Jepang, dan banyak kehebohan saya alami, yang tak saya sadari ialah betapa hebat dan merusak pengaruh perubahanperubahan zaman atas kehidupan orang yang miskin. Saya menganggap diri saya orang yang tahu sejarah republik ini. Tapi dalam cerita-cerita inilah saya baru mendengar apa yang dialami orang kecil yang tidak ada kaitannya dengan politik besar. Pengaruh perkembangan sejarah melanda orang miskin betul-betul: keluarga pecah, mereka tidak tahu sebab apa Belanda datang, sebab apa Jepang begitu. Ini merupakan bukti butanya sejarah terhadap kenyataan yang dialami hidup orang kecil. Ini satu penglaman yang sangat mengharukan: melihat vitalitas, kesetiaan dalam keluarga Saya tak menduga terpesona secara pribadi. Banyak sekali bahasa yang kurang baik, gaya bahasa yang jelek. Tetapi kemampuan mengharukan lebih besar daripada karya sastra di Indonesia selama ini. Ini cerita tentang hidup. Jadi yang kita nilai kadar informasinya-meski tak ada pemenang seperti yang kita harapkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus