Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bunyi alat pemukul dan suara gergaji bersahutan di sebuah bangunan mirip gudang besar di Desa Batokan, Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Sebelas ahli ukir serius memahat kayu jati. Gudang milik Winarko ini merupakan salah satu bengkel kerajinan kayu bubut dan ukiran Kasiman.
Bojonegoro tidak memiliki motif ukiran khas lokal. Mereka memadukan motif ukiran asal Jepara, Kudus, dan Bali. Para perajin memilih motif daun dan akar-akaran. Kerajinan ukiran Bojonegoro terkenal karena kayu yang digunakan adalah jati pilihan. "Kayu jati ini kualitas nomor wahid dengan rata-rata umur pohon di atas 40 tahun," kata Winarko, Ahad dua pekan lalu.
Haji Koko, panggilan Winarko, mendapatkan bahan baku yang terbaik itu dari lelang kayu di Perum Perhutani. Biasanya Perhutani melelang produksi kayu jatinya setiap tiga bulan. Haji Koko sudah menjadi pelanggan di beberapa kesatuan pemangku hutan di Bojonegoro, Cepu, Randublatung, Parengan, dan Ngawi. Setiap kali ada lelang, Haji Koko merogoh kocek Rp 260 juta untuk 20 meter kubik jati pilihan.
Bengkel ini memajang pelbagai produk kerajinan kayu jati di ruang pamer. Perabot rumah tangga, dari meja, kursi, bufet, lemari, meja rias, sampai ranjang kayu, dengan harga mulai Rp 7,5 juta hingga lebih dari Rp 100 juta.
Sedangkan untuk pasar premium, para perajin telah menyiapkan seperangkat meja-kursi ukir dari harga Rp 50 juta hingga Rp 125 juta. Kemudian tempat tidur besar model ukir antik, lengkap dengan tiang kelambu. Harganya Rp 175-200 juta. "Ranjang itu sudah ada yang memesan," ujar Yuni, pengelola ruang pameran.
Selain membuat ukiran, mereka memamerkan produk kerajinan bubut kayu, seperti guci kayu dari ukuran kecil hingga setinggi lebih dari dua meter. Ada lampu duduk, teko variasi, patung sapi, juga mainan anak-anak, seperti mobil, sepeda motor, dan lokomotif, yang dijual dari Rp 50 ribu hingga Rp 15 juta lebih.
Haji Koko bercerita, usaha ukiran yang dirintis sejak 1982 dengan modal Rp 90 ribu ini mengalami pasang-surut. Saat itu, dia membuat kerajinan kayu, seperti tempat Al-Quran, asbak, vas, dan tempat lampu. Bahan bakunya limbah kayu. Bersama temannya, Haji Koko ketika itu mengambil limbah kayu dari perusahaan milik Perum Perhutani.
Menginjak tahun ketiga, Haji Koko hanya mempekerjakan dua karyawan. Namun tiap tahun jumlah karyawannya bertambah. Produk seperti penjepit peta, tempat minum, dan jam dinding dari kayu jati mulai laris di pasar. Gara-gara krisis moneter 1998, usahanya yang mulai bersinar mendadak rontok. Selain itu, terjadi penjarahan kayu besar-besaran. Akibatnya, "Harga kayu jati di pasar anjlok, begitu pula kerajinannya," ujarnya.
Setelah mengalami masa suram, ia mulai bangkit pada 2004. Selang setahun, produknya mulai merambah ke mancanegara. Beberapa produk kerajinannya dikirim ke Singapura, Inggris, dan Malaysia. Namun, pada 2009, Haji Koko memutuskan menghentikan ekspor karena para eksportir kerap mempermainkan harga dan proses jual-beli harus melalui broker. "Keuntungannya sedikit dan perputaran uangnya lama," ujarnya. Apalagi setelah masuk Singapura diberi label merek mereka. "Saya sudah kapok dibodohi eksportir," katanya.
Haji Koko pun banting setir dengan target pembeli lokal di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota besar lain. Selain itu, ukiran Kasiman digemari warga asing karyawan ExxonMobil, perusahaan minyak asal Amerika Serikat di Bojonegoro, Tuban, dan Cepu. Pembeli dari Exxon itu lumayan mendongkrak omzet. "Kami bisa mendapatkan Rp 60-80 juta per bulan," ujar Haji Koko.
Saat ini Haji Koko telah memiliki sekitar 110 pekerja. Mereka terdiri atas ahli ukir, perajin bubut, tenaga pemasaran, dan anggota staf administrasi. Haji Koko mengupah karyawan Rp 35-200 ribu per hari, menurut keahliannya.
Di Kabupaten Bojonegoro, produk kayu olahan, terutama dari kayu jati, berkembang pesat. Data di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bojonegoro menyebutkan ada tiga kecamatan yang dijadikan sentra industri kayu olahan. Di Kecamatan Kasiman ada 341 pengusaha dengan nilai investasi Rp 1,686 miliar lebih per tahun. Kemudian Kecamatan Kota ada 81 pengusaha kayu dengan nilai investasi Rp 3,247 miliar per tahun. Sedangkan Kecamatan Margomulyo memiliki 62 pengusaha yang tersebar di beberapa desa dengan nilai investasi Rp 908 juta per tahun.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Bojonegoro Bambang W. Suharno mengatakan Dinas membantu pengembangan usaha dengan melibatkan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Mereka mengembangkan desain seni ukir minimalis. "Sebagian desainnya telah digunakan ahli ukir di Kasiman dan di Sukorejo," katanya.
Bojonegoro juga memiliki seni mesin bubut yang menghasilkan lebih dari 100 macam cendera mata. Produk ini sudah menjadi unggulan selama 20 tahun ini. Hanya, para pengusaha Bojonegoro tidak bisa mengekspor barang ke negara tujuan. Pasalnya, Bojonegoro tidak memiliki kewenangan mengeluarkan surat keterangan asal sebagai syarat untuk mengirim barang ke negara lain. Di Provinsi Jawa Timur, hanya Kabupaten Gresik, Pasuruan, Sidoarjo, dan Surabaya yang memiliki kewenangan itu. Maka semua produk Bojonegoro harus lewat empat kota itu. "Kami sedang mengurus untuk memiliki izin tersebut," ujarnya.
Pemerintah Bojonegoro juga memberikan bantuan untuk meningkatkan produk kayu olahan. Pada 2009, pemerintah menyalurkan peralatan pengolahan kayu kepada perajin di Kecamatan Kasiman, seperti gergaji mesin, mesin bubut, dan mesin penghalus kayu. Tahun ini Kementerian Perindustrian akan menggelar pelatihan untuk perajin mebel. Instrukturnya tenaga ahli, desainer, dan ahli ukir. Pesertanya perajin dari Kecamatan Kasiman, Kecamatan Kota, dan Margomulyo. "Kami akan terus mendorong kreativitas perajin," katanya.
Eko Ari Wibowo, Sujatmiko (Bojonegoro)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo