Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ning Purnomohadi sangat ge ram dengan rencana pembangunan mal dilahan bekas Taman Ria Senayan. Bukan hanya lantar an perempuan 65 tahun itu punya perhatian besar terhadap kelesta rian lingkungan, melainkan lebih karena dia memiliki kenangan manis akan kawasan tersebut. Kedua tangan doktor bidang lingkungan inilah yang ikut menanam pepohonan di area Senayan. Menurut mantan pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup itu, pohon yang dia tanam adalah Kigelia abyssinica, yang dikenal sebagai pohon sosis karena buahnya mirip sosis dan Khaya senegalensis, sejenis mahoni, pada 1960-an.
Tidak hanya berperan sebagai pelopor penghijauan kawasan Senayan, Ning yang ketika itu terpaksa mengenakan celana panjang, di saat gadis-gadis seusianya tampil feminin dengan rok bertemu jodohnya. Di sela-sela ke sibukan menanam, terjadilah cinlok cinta di lokasi antara Ning dan insinyur yang ketika itu menjadi atasannya, Purnomohadi. Lelaki itu sampai sekarang menjadi suami Ning.
Memang, menurut rencana tata ruang wilayah pertama DKI Jakarta, yaitu 1965-1985, peruntukan kawasan Senayan adalah untuk green belt, yakni ruang terbuka hijau yang difungsikan sebagai paru-paru kota. Ketika itu, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menugasi ahli lanskap Institut Teknologi Bandung, Profesor Slamet Wirasonjaya, menata penghijauan Senayan. Pur nomohadi dan Ning bekerja di bawah Slamet.
Itu dulu. Kini, menurut taksiran Iwan Ismaun, arsitek lanskap Universitas Trisakti yang ikut merancang perbaikan ruang terbuka hijau di Parkir Timur Senayan, penyimpangan fungsi di kawasan Senayan dari rencana awal sebagai green belt mencapai 40 persen. ”Alih fungsi” dimulai dengan pembangunan Hotel Hilton kini Hotel Sultan dan Ratu Plaza. Malangnya, penyimpangan peruntukan itu disahkan dengan rencana tata ruang wilayah 1985-2005 yang ditandatangani Gubernur Soeprapto.
Bahkan, dalam rencana tata ruang wilayah 2000-2010, Senayan resmi men jadi kawasan komersial. Sebagian besar area segitiga Ratu Plaza-Plaza Senayan-Hotel Century sudah berubah peruntukan menjadi ”bangunan umum”, tidak berbeda dengan peruntukan Su dirman-Thamrin. Adapun Taman Ria dan sekitarnya, seperti sekitar Hotel Sultan, Hotel Mulia, Senayan City, atau kompleks MPR/DPR, masuk kategori ”bangunan umum kepadatan rendah”, artinya kepadatan bangunan betonnya masih relatif rendah, dan pohon-pohon cukup banyak.
Gubernur ketika itu, Sutiyoso, memang menargetkan ruang terbuka hijau Jakarta hanya 14 persen, jauh di bawah angka yang dipatok Undang-Undang Tata Ruang Tahun 2007, yaitu 30 persen. Gubernur Fauzi Bowo pun berpendapat, ruang terbuka hijau 14 persen itu tidak akan mungkin bertambah, minimal hingga dua dekade mendatang.
Alasan klasik berkurangnya ruang terbuka hijau yang berganti dengan bangunan komersial, seperti pusat belanja adalah ruang terbuka hijau dianggap tidak memiliki nilai komersial. Anggapan itu terbukti karena kenyataannya, kawasan Senayan sudah dikaveling-kaveling pengelolaannya oleh beberapa perusahaan (lihat infografik ”Tuan Tanah Senayan”). Jika eks Taman Ria menjadi mal, kehadir annya akan menambah kepadatan ”hutan” beton yang terdiri atas jajaran pusat belanja, seperti Plaza Sena yan, Senayan City, Senayan Trade Center, FX, dan Ratu Plaza.
Sekarang, pemerintah daerah memang menolak kehadiran mal baru di eks Taman Ria, setelah ada desak an dari berbagai pihak. Namun, bila dirunut dari pernyataan Gubernur Fauzi, penolakan pembangunan mal mungkin berubah. Sebab, semula Fauzi menyetujui pembangunan ter sebut, lalu dia berubah, menyegel pembangunan kawasan eks Taman Ria, tapi hanya sementara. ”Yang jelas, tergantung keputusan MPR/DPR RI,” katanya.
Nur Khoiri, Harun Mahbub, Riky Ferdianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo