Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH! Kamu loyal saja!” Penyidik menghardik Komisaris Marthen Reno. Disangka menerima setoran dari para pembalak liar, mantan Kepala Satuan Tindak Pidana Tertentu Kepolisian Daerah Papua itu mempersoalkan prosedur penanganan kasusnya.
Marthen meminta kasusnya lebih dulu ditangani Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian, tidak langsung dibawa ke perkara pidana. Ternyata ia dibentak begitu rupa. Kejadian pada Agustus lima tahun lalu itu diceritakan kembali sumber Tempo yang mengetahui proses penyidikan, Selasa dua pekan lalu. Dimintai konfirmasi, Marthen tidak membantah. ”Saya tahu prosedurnya, tapi saya patuh saja perintah atasan,” katanya pekan lalu.
Pada pertengahan bulan ini, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Inspektur Jenderal Ed ward Aritonang mengumumkan sejak 2005 kepolisian menerima 831 data transaksi mencurigakan dari Pusat Pela por an dan Analisis Transaksi Keuangan. Dari 23 rekening milik anggota kepolisian, 17 dinyatakan tak ada masalah.
Satu rekening tak dapat ditelusuri karena pemiliknya telah meninggal. Dua pemilik rekening terkait kasus pidana: satu telah divonis pengadilan, dan lainnya dalam proses hukum. Nah, Marthen merupakan pemilik rekening yang, menurut Edward, telah divonis itu.
Marthen memang telah divonis. Bukan dimasukkan bui, pria berusia 53 tahun ini dinyatakan bebas dari dakwaan. Menurut majelis hakim Pengadilan Negeri Jayapura, ia tak terbukti menerima suap Rp 1,065 miliar, seperti didakwakan jaksa. Alasannya, jaksa tak mampu menghadirkan saksi kunci: sang penyuap.
Saksi kunci yang dimaksud hakim adalah M. Yudi Firmansyah, Wong Sey Kiing, Achiing, Denny, dan Lim. Mereka direksi PT Sanjaya Makmur dan PT Marindo Utama, perusahaan yang ditengarai menebang liar di kawasan Bintuni, Manokwari. Menurut jaksa, sepanjang September 2002 hingga Desember 2003, Marthen menerima 16 kali kiriman dari lima orang itu, antara lain melalui BNI Cabang Manokwari, Papua; BNI Cabang Harmoni, BNI Cabang Jakarta Kota, dan BNI Cabang Roa Malaka, Jakarta.
Di ruang sidang, Marthen membantah uang itu merupakan imbalan agar polisi tidak mengusut kasus penebang an liar yang dilakukan Sanjaya dan Marindo. Uang itu, katanya, dipakai untuk dana operasional pemberantasan pencurian kayu di Papua pada 2003, antara lain menyewa speedboat, helikopter, dan pesawat terbang. Ia ”meminjam” uang karena atasannya tak menyediakan anggaran operasional.
Kepada Tempo, pekan lalu, Marthen kembali menjelaskan asal-usul dana ”pinjaman” itu. Menurut dia, pembalakan liar yang dulu dia tangani merupakan tindak pidana yang diancam hukuman 15 tahun lebih. Untuk perkara sepenting itu, polisi hanya diberi jatah Rp 2,5 juta dari proses penyelidikan hingga penyidikan. Padahal, untuk mengejar pelaku, diperlukan ratusan juta rupiah.
Karena jaksa tak bisa menghadirkan pengirim uang, hakim memutuskan Marthen tak bersalah. Dipengadilan pertama, perkara ini langsung berke kuatan hukum tetap. Penyebabnya, jaksa ”terlambat” mengajukan memori kasasi. Marthen pun bersih dari dakwaan. Walhasil, klaim Markas Besar Kepolisian, bahwa satu pemilik reke ning gendut telah divonis, tak sepenuhnya tepat.
Karena penanganan rekening ber masalah tak memuaskan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta penjelas an Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Menurut Denny Indrayana, staf khusus Presiden bidang hukum, Jenderal Bambang Hendarso dipanggil ke Puri Cikeas, Bogor, Sabtu dua pekan lalu.
Menurut Denny, Presiden Yudhoyono menilai penjelasan mengenai reke ning mencurigakan itu tak memuaskan. ”Presiden memerintahkan reke ning bermasalah ini dibereskan karena terus mengundang pertanyaan masyarakat,” kata Denny.
Sumber Tempo bercerita, Presiden Yudhoyono menerima pasokan informasi bahwa pengusutan rekening para perwira polisi itu tak dilakukan mendalam. Penyelidikan, kata sumber itu, hanya melihat aspek tindak pidana pencucian uang. ”Polisi tidak menelusuri sisi korupsinya.”
Ketidakpuasan Presiden bertambah setelah ketahuan para pemilik rekening tak melaporkan harta kekayaan mereka ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagian besar dari mereka juga tak pernah melaporkan pembayaran pajak penghasilan tahunan. ”Jadi, terlalu prematur kalau dianggap sudah clear,” kata sumber itu.
Oktamandjaya Wiguna, Cornila Desyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo