Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hujan Batu di Kebun Sendiri

Hingga pekan ini, terhitung sudah dua bulan lebih penduduk sekitar Gunung Sinabung mengungsi. Tragedi detik-detik letusan hujan pasir hingga konflik di pengungsian.

27 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YUNUS Sitepu sedang menonton televisi di rumahnya ketika keributan memecah sunyi malam Desa Kutarakyat pada akhir November lalu. Laki-laki 40 tahun ini awalnya tak hirau pada keriuhan yang tak biasa di kampung lereng Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, itu. Ia mendengar hujan menderas di atap rumahnya.

Setelah mematikan televisi, Yunus beringsut ke teras rumah. Di sana, ia melihat puluhan orang tetangganya lari tunggang-langgang dalam temaram lampu jalan. Debu beterbangan. Orang-orang ini berlari seraya menutup kepala dengan telapak tangan. Yunus baru tahu apa yang terjadi setelah ia beranjak ke halaman.

Suara ribut itu bukan hujan air, melainkan pasir bercampur kerikil yang dimuntahkan Gunung Sinabung, lima kilometer dari Kutarakyat. Di antara keriuhan itu, tampak seorang perempuan terjungkal lalu pingsan di jalan. Yunus menduga tetangganya itu tersambar batu kerikil. "Batunya kira-kira sebesar biji jagung," katanya kepada Tempo di pengungsian Kabanjahe pekan lalu.

Yunus menghambur ke rumah, lalu membangunkan ayah, ibu, dan keponakannya yang terlelap. Hanya bersalut kaus dan jaket, mereka bergabung dengan kelimun ratusan penduduk desa di sekitar Kutarakyat. Ada yang menyetir sepeda motor, mobil dengan penumpang berjubel, lebih banyak yang berlari dengan pakaian seadanya. Yunus menitipkan kedua orang tua dan keponakannya ke mobil bak terbuka yang lewat. Ia sendiri berlari mengikuti kendaraan itu.

Yang ada di pikiran Yunus dan orang-orang itu: menjauh dari Sinabung. Tanpa ada yang mengomando, mereka berduyun menuju perbatasan Kabupaten Karo dengan Langkat, sembilan kilometer dari Kutarakyat. Yunus mengenang hujan batu itu terjadi kira-kira lima menit pada 23 November malam. Tapi dampaknya sungguh dahsyat. Rumah-rumah di Kutarakyat dan sekitarnya rontok. Lahan pertanian hancur terkubur pasir hitam.

Ketika hari menjelang subuh, Yunus dan ribuan tetangganya sampai di hutan Dalam Jahe. Di sini tak lagi terasa hujan pasir. Kelelahan dan kepanikan yang menerjang sepanjang perjalanan delapan kilometer membuat banyak dari mereka tidur bergeletakan di tanah. Mereka yang tak tidur menonton pucuk Sinabung yang mengepulkan awan hitam.

Letusan itu segera menyebar ke seluruh Sumatera Utara, merambat hingga Jakarta. Esoknya, truk-truk milik TNI Angkatan Darat tiba di Dalam Jahe. Orang-orang ini diangkut ke Jambur Dalihan Natolu di Kabanjahe, yang dianggap daerah aman. Tapi tak ada yang betah tinggal di Jambur. "Karena pakaian seadanya, kami tak kuat menahan dingin," ucap Yunus.

Selain dingin, di Jambur tak ada fasilitas untuk mandi atau buang air. Hari berikutnya, truk tentara mengangkut mereka ke Gedung Kursus Wanita Kristen milik Gereja Batak Karo Protestan di Jalan Udara, Be­rastagi. Di sini, selain ada ruangan-ruangan, tenda pengungsian dilengkapi toilet dan dapur umum. Bantuan mengalir dari segala penjuru, membuat pengungsi bisa makan tiga kali sehari.

n n n

ADA 3.000 pengungsi yang berasal dari desa-desa di sekitar radius tiga kilometer dari kawah Sinabung. Munculnya semburan kerikil panas yang terus-menerus membuat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi meminta penduduk desa di radius lima kilometer tak kembali ke rumah. "Kolam kawahnya sudah mencapai radius tujuh kilometer," kata Syamsul Maarif, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Kian luasnya jangkauan debu vulkanik Sinabung membikin semakin banyak desa ditinggalkan penduduk. Data posko bencana di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Karo mencatat ada 500-700 orang pengungsi baru setiap hari. Sampai pekan lalu, jumlah pengungsi mencapai 28.715 jiwa. Berasal dari 34 desa, mereka menempati 42 titik pengungsian. Sejauh ini, 31 orang meninggal karena sakit.

Duduk dan tercenung memikirkan rumah dan kebun membuat pengungsi seperti Yunus mulai tak betah. Dia dan pengungsi lain mulai bosan menunggu di tenda tanpa kegiatan berarti. Badan Penanggulangan Bencana masih melarang penduduk di sekitar Sinabung kembali. Sebab, gunung yang tak pernah meletus sejak 200 tahun lalu itu masih belum menunjukkan tanda berhenti menyemburkan lahar.

Pada Desember, Badan Nasional Penanggulangan Bencana membuat program kerja di sekitar pengungsian. Para pengungsi diminta membersihkan area tinggal dan toilet, menyapu pekarangan, merapikan tenda-tenda, hingga menanam bunga. Upahnya per keluarga Rp 50 ribu sehari-dibayar tiap sepuluh hari. Program yang sumber uangnya dari anggaran BNPB ini dihentikan pada hari ke-20.

Yunus kembali menganggur. Ia tak kuasa membayangkan kebun kopinya yang hancur. Seluas sepuluh hektare, kebun itu satu-satunya sumber pendapatan keluarganya. Memanen tiap tiga bulan, Yunus membukukan uang Rp 10 juta bersih setelah dipotong bayar pinjaman modal, ongkos kerja, dan obat-obatan pengusir hama. Selain menanam kopi, ia menanam tomat, kubis, dan kentang.

Harapan Yunus kian hancur ketika Sinabung memuncratkan jutaan kubik lumpur pada awal Januari lalu. Tatkala menengok desanya, ia lunglai seketika: kebunnya rata tertimbun lumpur, rumahnya roboh. Bangkai kucing dan tikus berserakan di jalan. "Kutarakyat menjadi desa mati," katanya. Pohon dan tanaman yang masih tegak menghitam tersapu debu dan pasir.

Yunus beruntung karena masih diizinkan menengok rumah dan kebunnya. Resikon Ginting dari Desa Kutambelin selamanya bertahan di pengungsian. Meski Kutambelin di luar radius lima kilometer, Pusat Vulkanologi menetapkan desa itu sebagai daerah berstatus awas dan pengungsinya dilarang kembali sama sekali. "Uang bekal sudah habis," kata petani jeruk ini.

Resikon kini hanya mengandalkan makanan di tenda pengungsian. Bersama keluarganya, sehari-hari ia cuma duduk termangu memikirkan kebun jeruk 2,5 hek­tare yang baru berpucuk. Tapi kegalauan Resikon masih lebih ringan ketimbang Ulung Sagala. Penjaga gereja 48 tahun asal Desa Kabayaken ini malah berutang di pengungsian.

Pangkalnya karena ia berniat baik meredam ulah dua pemuda yang bikin onar di pengungsian tiga pekan lalu. Selain suka bikin ribut, pemuda-pemuda itu doyan menggoda gadis-gadis hingga histeris. Ulung tampil membela gadis-gadis ini dengan menegur mereka agar menjaga sikap. Bukannya menurut, pemuda-pemuda itu malah menghardik.

Tak terima pada perlakuan pemuda-pemuda brengsek itu, pengungsi lain naik pitam dan ramai-ramai mengeroyok mereka. Dengan luka di sekujur tubuh, para pemuda itu menuding Ulung dan mengancam akan melaporkannya ke polisi. Ulung panik dan meminta mereka berdamai. Pemuda itu menurut dengan syarat ganti rugi Rp 4 juta.

Merasa tak punya pilihan, Ulung memberi mereka Rp 1,5 juta. "Itu hasil utang sana-sini," katanya. Rp 2,5 juta sisanya dikumpulkan pengungsi lain yang berandil mengeroyok pemuda tak tahu diri itu. Ulung mengatakan tak punya pikiran panjang karena takut ancaman dilaporkan ke polisi dengan risiko masuk penjara. "Mengungsi saja sudah repot, apalagi urusan penjara segala," ujarnya pasrah.

Kartika Candra, Sahat Simatupang (Karo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus