PERAWAKANNYA tinggi besar kulitnya putih. Ia hasil perkawinan campuran: ayahnya keturunan Cina dan ibunya Manado. Hobinya, mengendarai sepeda motor Harley Davidson dan aeromodelling. Ia adalah Boy Tamzil, 37 tahun, Direktur Firma Marathon, Bandung yang dituduh melakukan tindak pidana korupsi dalam memasok barang-barang di Perumtel, seperti yang diungkapkan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono kepada wartawan, pekan lalu. Ditemui wartawan TEMPO, Riza Sofyat dan Gatot Triyanto, di rumahnya di Bandung, Boy mengaku mengalami depresi karena berkali-kali diperiksa kejaksaan. Karena itu, perusahaannya ia tutup. Untuk hidup sehari-hari ia bergantung pada istrinya yang membuka kursus dan agen penjualan komputer. Ia menyimpulkan tentang tuduhan terhadapnya: "Saya kira ini hanya bahan promosi saja untuk konsumsi masyarakat dalam rangka pengawasan melekat (Waskat) yang sekarang digalakkan pemerintah." Begitulah, dengan gaya bicara yang kalem dan runtut, Boy, yang pernah belajar teknik mesin di sebuah akedemi di Duesseldorf Jerman Barat, 1966-1973, menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Perusahaan saya ini menyuplai alat-alat kantor seperti mesin fotokopi, mesin stensil dan mikrofilm, scjak 1976. Perusahaan ini kemudian menyuplai barang-barang kebutuhan Perumtel, sejak 1978. Setelah beberapa tahun, pada 1983, BPKP menemukan sesuatu di Perumtel, maka ketika itu juga saya diperiksa Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Selesai diperiksa ya tak ada apa-apa. Tahu-tahu ketika Kepala Kejaksaan Tinggi ketika itu, Irawan, digantikan Mohamad Hasan, saya diperiksa kembali. Tetap tak ada bukti. Karena BPKP mengusut terus pada 1986, saya diperiksa lagi atas perintah Kejaksaan Agung. Selain saya turut diperiksa Soemardi dan I Gusti Ngurah Oka, keduanya bekas direktur perlengkapan Perumtel. Tapi lagi-lagi tak ada bukti dan pemeriksaan dihentikan lagi. Bahwa mesin fotokopi, stensil, atau mikrofilm itu tidak melalui tender karena masuk klasifikasi spesifik, itu wajar saja. Pada tahun 1979, barang-barang itu 'kan masih langka. Jangan disamakan dengan sekarang. Bahwa pembelian barang spesifik mesti melalui keputusan Menteri, tidak cukup cuma Direktur Utama Perumtel, itu bukan urusan saya. Itu urusan Perumtel. Saya tahunya Perumtel beli dan kami menjualnya. Juga soal merk itu, tidak ada yang dipalsukan. Di dalam dunia perdagangan dan industri memang terkadang ditemukan barang dengan merk yang berlainan, tapi bentuk fisiknya mirip. Itu wajar-wajar saja. Jadi, saya tidak memalsukan merk lain menjadi merk Marathon sesuai nama perusahaan saya. Soal BPKP menyatakan pabrik Marathon itu tidak ada di Jerman Barat? Pabrik itu ada, terletak di Kota Muenchengladbach, Jerman Barat. Pemiliknya, Josep Gissen. Pada tahun 1984, perusahaan itu memang sudah bangkrut. Wajar saja kalau sekarang BPKP memeriksa ke sana perusahaan itu tidak ada. Saya akui perusahaan saya itu tidak terdaftar di Departemen Perdagangan. Tapi dulu memang bisa saja seperti itu. Pokoknya, perusahaan itu ada izin dari Pemda selaku penguasa wilayah dan dicatatkan ke notaris untuk mendapat badan hukum. Toh impor yang saya lakukan ketika itu berjalan lancar, tak dihalangi Bea Cukai. Kalau memang mau diusut, toko-toko yang ada di Jalan Braga Bandung itu 80% tak punya izin perdagangan. Bagaimana? Sebetulnya pada 1986, Direktur Utama Perumtel Willy Munandir sudah menyatakan pada Kejaksaan bahwa Perumtel tidak dirugikan dalam kaitan dengan Firma Marathon. Kenapa kok ada yang masih ngotot menyatakan Perumtel rugi ? Pada waktu itu, selain Firma Marathon masih ada enam perusahaan lainnya yang juga diperiksa dengan kasus yang sama. Anehnya, kenapa yang dipersoalkan sampai sekarang cuma saya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini