PERUMTEL, Perusahaan Umum Telekomunikasi milik negara, tampaknya sedang dibidik. Kini Kejaksaan Agung sedang mengusut tindak pidana korupsi yang dilakukan dua bekas direktur perencanaan perusahaan negara itu, bekerja sama dengan Firma Marathon, sebuah perusahaan pemasok kebutuhan Perumtel di Bandung. Hal itu diungkapkan oleh Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono di Bina Graha, Jakarta, Rabu pekan lalu. Akibat manipulasi yang berlangsung sejak 1979 sampai 1981 itu, negara dirugikan Rp 2,3 milyar. Kenapa baru sekarang dipersoalkan? "Karena para saksi yang didengar keterangannya umumnya melaksanakan gerakan tutup mulut yang didikte dari atas," kata Sukarton. Namun, berkat keterbukaan Perumtel sekarang, menurut Sukarton, kasus ini bisa diungkap. "Alhamdulillah, maksud kami adalah ingin mewujudkan aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa," tambah Menparpostel Soesilo Soedarman, yang hari itu juga berada di sana bersama Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Gandhi. Kasus ini dimulai pada 1983, ketika petugas BPKP yang melakukan pemeriksaan rutin di Perumtel menemukan keganjilan. Temuan ini diteruskan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, tapi kemudian pemeriksaan dihentikan karena tidak ditemukan bukti yang mencukupi. Tiga tahun kemudian, BPKP berhasil merumuskan bahwa permainan yang dilakukan Firma Marathon dengan oknum-oknum Perumtel telah merugikan negara Rp 1,9 milyar. Jumlah itu akibat pejabat Perumtel membocorkan rahasia barang-barang yang sedang dibutuhkan Perumtel dan harga yang ditetapkan untuk pengadaan barang tersebut kepada Firma Marathon, milik Boy Tamzil. Firma Marathon kemudian menjual barang-barang dimaksud ke Perumtel seperti mesin stensil merk Rex Rotary, mesin fotokopi merk Marathon beserta suku cadangnya, tanpa melalui tender, dengan dalih barang-barang yang dibeli itu masuk klasifikasi spesifik, dan Marathon adalah agen tunggal barang-barang itu di Indonesia. Dari 43 kontrak yang berlangsung sejak 1979 sampai 1981 antara Perumtel dan rekanan itu, yang bernilai Rp 5,4 milyar, hanya satu yang ditenderkan. BPKP kemudian meminta Keaksaan Agung memeriksa temuan-temuan ini. Ternyata, setelah diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, dinyatakan lagi bahwa tuduhan itu tidak bisa dibuktikan. Akhirnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Mohamad Hasan, berkesimpulan bahwa kasus ini bukan tindak pidana. Pemeriksaannya dihentikan dan itu disetujui oleh Jaksa Agung Hari Soeharto, 13 November 1987. Tapi 4 Mei 1988, Sekretaris Wakil Presiden menyurati Kejaksaan Agung dan BPKP, meminta tanggapan sehubungan dengan adanya surat pengaduan ke Kotak Pos 5000 yang mengungkapkan kembali perkara Fa Marathon. Kejaksaan Agung segera mengadakan pengusutan. "Nah, terungkaplah fakta-faktanya. Ternyata, ada manipulasi," kata Jaksa Agung Sukarton kepada TEMPO Senin pekan ini. Selain itu, pembuktian diperoleh setelah dua di antara 20-an pegawai Perumtel yang diperiksa membantu mengungkapkan permainan ini. Barang-barang yang disebut spesifik itu ternyata adalah mesin fotokopi merk Marathon tadi, yang disebutkan buatan Jerman Barat. Ternyata, setelah petugas BPKP mengecek ke sana, pabrik merk Marathon itu tak pernah ada. Memang pembelian barang oleh BUMN bisa dilakukan tanpa tender -- cukup seizin Menteri -- bila betul-betul barang spesifik. Direktur Utama Perumtel, Cacuk Soedaryanto, menyebutkan kepada TEMPO, yang dimaksud barang spesifik biasanya berupa suku cadang mesin tertentu yang mesti sesuai dengan merk mesinnya sendiri. "Kalau mesinnya merk X, onderdilnya 'kan mesti merk X juga," kata Cacuk kepada TEMPO. Maka, sungguh aneh kalau mesin stensil atau fotokopi bisa dikategorikan spesifik. Selain itu, terungkap pula berbagai barang diberi nama keren. Kunci Inggris, misalnya, disebut adjustable range, agar harganya bisa dilonjakkan. "Harga kunci Inggris paling Rp 2.500. Setelah jadi adjustable range harganya jadi Rp 50.000," kata Cacuk. Maka, kerugian negara, yang semula ditaksir cuma Rp 1,9 milyar, kini meningkat jadi Rp 2,3 milyar. Lebih gawat lagi, pemeriksaan yang dulu-dulu selalu gagal karena pimpinan Perumtel selalu menyatakan bahwa pihak mereka tidak dirugikan oleh Fa Marathon. Rupanya, penggantian direktur utama beserta semua direktur Perumtel yang dilakukan Soesilo Soedarman Juli 1988 itu turut memperlancar pengusutan kasus ini. Betulkah semua tuduhan tersebut? Soemardi, 59 tahun, Direktur PerlengkapanPerumtel 1978-1981, maupun I Gusti Ngurah Oka, yang menggantikan Soemardi 1981-1983, menolak berkomentar tentang soal itu ketika ditemui TEMPO secara terpisah. "Saya sudah lupa itu. Soalnya, 'kan sudah lama," ujar Soemardi, yang kini menjabat Sekretaris Dewan Pengawas Perumtel. Bersama Direktur Utama Fa Marathon Boy Tamzil, kedua bekas pejabat tadilah yang dituduh bertanggung jawab atas kasus tindak pidana korupsi ini. Sedangkan Boy sendiri rupanya lebih memilih berbicara (lihat Boks). Apakah Willy Munandir, bekas Direktur Utama Perumtel, tersangkut dengan ulah bawahannya? "Sebagai terdakwa? Saya belum bisa menjawabnya sekarang. Minimal ia akan menjadi saksi andai kata kasus ini akan dituntaskan. Kami harus menggunakan asas praduga tak bersalah. Bagi kami, yang penting kena ikannya tidak keruh airnya," ujar Sukarton. Sayang, Willy tidak bisa ditemui karena sedang ke luar kota. Tapi Nyonya Willy Munandir, setelah menghubungi suaminya dengan telepon, mengatakan pada TEMPO bahwa suaminya belum bersedia memberi wawancara sekarang. "Bapak baru bersedia diwawancarai setelah kasus ini sampal di pengadilan. Tapi coba saja lihat, apa mereka berani membawanya ke pengadilan," katanya. Amran Nasution, Riza Sofyat, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini