Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Ilmu Jaka Tingkir Antidepresi

Sejumlah calon legislator mengalami stres karena gagal ke parlemen. Memilih terapi alternatif ketimbang berobat ke rumah sakit jiwa.

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYANGAN dilantik menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, sering mampir ke pikiran Yayat Abdurahman setelah pemungutan suara pada 17 April lalu. Padahal kader Partai Gerindra itu dipastikan tak lolos ke parlemen lokal karena cuma meraup sekitar seribu suara. “Saya depresi,” kata Yayat pada Senin, 29 April lalu.

Spaning karena gagal menjadi anggota Dewan membuat Yayat sering berimajinasi seolah-olah dirinya seorang legislator. Pria 52 tahun itu bercerita bahwa pikiran tersebut muncul bersamaan dengan rasa marah dan malu kepada diri sendiri. “Rasanya seperti ada beban dalam diri saya,” ujarnya.

Yayat awalnya optimistis lolos. Ia menggerakkan kelompok pendukungnya untuk menyambangi rumah warga di enam kecamatan di Kabupaten Cirebon. Para “relawan” itu mensosialisasi program kerja sekaligus mencacah pemilih potensial. Lewat pendataan tersebut, Yayat yakin bisa meraih 7.000 suara. Namun pada hari pencoblosan, kata Yayat, calon pemilihnya diguyur “serangan fajar” oleh lawan.

Dukungan dari keluarganya juga gembos. Menurut Yayat, anggota keluarganya tak kompak mencoblos namanya di kertas suara. Yang membuat dadanya makin sesak, ia telah menghabiskan lebih dari Rp 80 juta untuk membiayai kampanye.

Menyadari dirinya mengalami stres, Yayat mengunjungi Ujang Bustomi, pengasuh Padepokan Anti Galau di Desa Sinarancang, Kabupaten Mundu, Cirebon, pada 20 April lalu. Yayat mau menjalani terapi alternatif di padepokan itu karena tahu kemampuan Ujang menyembuhkan depresi. “Ilmu beliau tinggi sekali,” ujar Yayat.

Di Padepokan Anti Galau, Ujang meminta Yayat mengambil wudu dan mendirikan salat sunah dua rakaat. Seusai salat, Yayat dimandikan dengan kembang tujuh rupa, lalu wiridan. Terakhir, Ujang menuntun Yayat mengucapkan kalimat tauhid sebelum memberinya nasihat. Rangkaian ritus itu paling lama berlangsung selama dua jam.

Ujang, 36 tahun, mengatakan pasien yang berangsur pulih biasanya menitikkan air mata ketika diberi wejangan. Umumnya pasien cukup sekali datang ke padepokan untuk menjalani terapi, sebagaimana Yayat yang kemudian merasa lebih tenang dan bisa menerima kenyataan. Tapi ada pula yang perlu berkunjung sampai tiga kali baru sembuh. Hingga 29 April lalu, Padepokan Anti Galau sudah dikunjungi 8 calon legislator gagal dan 12 anggota tim sukses yang tak siap menyaksikan jagoannya keok.

Mereka datang ke padepokan Ujang dengan kondisi mengalami depresi ringan sampai berat. Penderita stres ringan, kata Ujang, biasanya masih nyambung saat diajak berkomunikasi, tapi lebih banyak merenung. Pasien terparah yang ditemuinya setelah pemilu kali ini menunjukkan gejala sulit tidur dan mudah marah-marah.

Ujang mengatakan ilmu mendiagnosis dan mengobati pasien depresi diperoleh dari membaca berbagai buku yang mengulas soal kejiwaan. Ia tak pernah berguru, apalagi menempuh studi psikologi di perguruan tinggi. Karena kemampuannya diperoleh secara otodidaktik, Ujang tak pernah memasang tarif kepada pasiennya. “Para politikus itu sedang kesusahan. Masak, saya mau minta bayaran?” ujar Ujang.

Penyembuhan calon legislator yang mengalami depresi juga dipraktikkan Muzakkin, pemimpin Pondok Pesantren Dzikrussyifa Asma Berojomusti di Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Lamongan. Muzakkin bahkan menggantung spanduk kuning di gerbang pesantrennya dengan tulisan “Pondok Caleg Stres”.

Muzakkin, 50 tahun, menyebutkan pondoknya sudah didatangi sejumlah calon legislator sebelum hari pencoblosan. Mereka berobat karena pesimistis lolos menjadi anggota Dewan. Ada juga yang datang karena keluarganya berantakan selama masa kampanye. Terhadap keluhan pasiennya, Muzakkin menerapkan sejumlah metode pengobatan, tergantung tingkat parahnya. Muzakkin enggan membeberkan identitas pasiennya dengan alasan iba melihat kemalangan mereka.

Mula-mula Muzakkin meminta pasien meminum air yang sudah dibacai surat Al-Quran. Air itu juga bisa disiramkan ke tubuh pasien atau dipakai untuk membilas wajah. Calon legislator yang tingkat stresnya sedang biasanya tak cukup hanya dengan meneguknya. Muzakkin meminta pasien tersebut mandi dengan ramuan yang dia beri nama “Air Quran”. “Kalau gejalanya pasien hanya diam, tapi ngobrol masih bisa, biasanya cukup dengan dua metode di atas,” ujar Muzakkin.

Lain halnya bila pasien datang dengan kondisi marah-marah dan tak ingat jati dirinya. Muzakkin akan membalurkan minyak khusus ke tubuh pasien, lalu menyelimutinya dengan selembar kain. Setelah 20 menit, kain putih itu ditanggalkan untuk dibakar dan abunya dilarungkan ke sungai.

Menurut Muzakkin, ia sudah mengobati puluhan politikus yang gagal menjadi anggota Dewan pada Pemilihan Umum 2019. Ada yang datang langsung ke pondok, ada juga yang berobat jarak jauh. Bagi yang berobat jarak jauh, Muzakkin hanya meminta pasien atau keluarganya mengirim nama lengkap, tanggal lahir, foto, dan weton—hari lahir dalam penanggalan Jawa. “Sekali pengobatan biasanya langsung sembuh,” ujarnya.

Muzakkin mengatakan ilmu pengobatannya berasal dari leluhurnya yang merupakan keturunan Jaka Tingkir, raja pertama Kerajaan Pajang. Tapi ia mengaku tak bisa menyembuhkan calon legislator yang mengalami stres dengan alasan medis, seperti gangguan saraf. Muzakkin bakal meminta pasien seperti ini berobat ke rumah sakit.

Seperti Ujang, Muzakkin tak memasang tarif pengobatan. Muzakkin beralasan calon anggota legislatif yang datang ke pondoknya kebanyakan sudah habis-habisan menggelontorkan duit untuk kampanye sehingga tak elok jika ia menagih bayaran. “Kecuali bahasanya diubah menjadi sumbangan untuk pesantren. Itu lain cerita,” katanya.

Kekalahan pada pemilu juga mengguncang Mathildis Mea Bria, calon legislator Partai Keadilan Sejahtera yang bertarung di daerah pemilihan Kabupaten Belu I. Ia memang tak sampai mengalami depresi dan menjalani pengobatan. Tapi kekalahan tersebut mendorong Mathildis meminta mereka yang tak memilihnya memindahkan makam sanak famili mereka yang berada di tanah milik keluarga Mathildis.

Paulus Naibuti, suami Mathildis, bercerita bahwa para pemilih di dua tempat pemungutan suara di Kelurahan Manumutin, Kecamatan Kota Atambua, berjanji memilih istrinya. Pada hari pencoblosan, pilihan bergeser ke kandidat lain karena mereka menerima amplop sebelum berangkat ke tempat pemungutan suara. Mathildis, yang semula diprediksi bisa meraih 80 suara, hanya mendapat 27 suara. “Kami kecewa karena mereka mudah dibeli,” ujar Paulus. “Padahal kami selama ini sudah membantu masyarakat dan memberikan tanah secara adat.”

Menurut Paulus, sejumlah warga sudah datang ke rumahnya untuk meminta maaf karena tak jadi memilih Mathildis. Paulus pun tak jadi meminta mereka memindahkan makam keluarga masing-masing. Tapi ada seorang tetangga yang berkukuh dengan pilihannya dan memutuskan memindahkan kuburan nenek moyangnya sekitar 40 meter dari lokasi semula di tanah Mathildis. “Sudah seminggu lalu dipindahkan,” ujar Paulus.

RAYMUNDUS RIKANG

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus