Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menarik tapi Tak Dilirik

Mengusung isu antipoligami dan antikorupsi, Partai Solidaritas Indonesia tak begitu diminati pemilih. Jorjoran “serangan udara” tak menjamin lolos.

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORE pada hari pemilihan umum 17 April lalu, Partai Solidaritas Indonesia langsung menggelar rapat di kantornya di Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Keputusannya adalah mengakui kekalahan pada Pemilihan Umum 2019 meski penetapan Komisi Pemilihan Umum masih lama. Hitung cepat sejumlah lembaga survei memperkirakan perolehan suara PSI sekitar 2,06 persen, di bawah ambang batas 4 persen untuk lolos ke parlemen.

Quick count itu ilmu pengetahuan yang kami percaya hasilnya tak akan beda jauh dengan real count. Jadi deklarasi kekalahan itu juga untuk pendidikan politik bagi masyarakat,” ujar Azmi, kader PSI yang hadir dalam rapat, kepada Tempo, Jumat, 3 Mei lalu.

Hasil hitung cepat tersebut tak jauh berbeda dengan sigi yang dirilis sejumlah lembaga survei sebelum pencoblosan. Survei Charta Politika Indonesia pada 1925 Maret lalu menunjukkan perolehan suara PSI hanya 2,2 persen. Minimnya perolehan suara tersebut menjadi salah satu bahasan dalam rapat evaluasi PSI pada Kamis pekan lalu.

Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni mengatakan, setelah dievaluasi, salah satu faktor yang menyebabkan tergerusnya perolehan suara PSI adalah masifnya kabar bohong yang menyerang mereka. Menurut Antoni, beberapa hari menjelang pencoblosan, PSI digempur serangan disinformasi yang menyebutkan PSI adalah partai komunis dan tak membela umat Islam.

Azmi mengatakan penolakan terhadap peraturan daerah berlandaskan agama yang disuarakan PSI diputarbalikkan untuk menyerang PSI. Seolah-olah PSI antiagama. Padahal, menurut Azmi, partainya menolak “perda syariah” lantaran peraturan seperti itu cenderung diskriminatif dan menyuburkan intoleransi.

Fitnah lain adalah video editan yang menampilkan Ketua Umum PSI Grace Natalie saat berkampanye. Di video asli, Grace mengajak konstituen makan bakmi selepas pencoblosan. Di video suntingan, ajakan makan bakmi diganti ajakan makan babi. “Video itu viral di media sosial beberapa hari sebelum pemilihan. Serangan hoaks ini amat masif, sedangkan kami kurang mengantisipasi,” kata Azmi.

Selain adanya informasi sesat, PSI menganggap waktu yang tersedia dari penetapan sebagai peserta pemilu hingga pencoblosan tak cukup untuk memperkenalkan partai kepada masyarakat. “Kami ini kan partai baru, jadi butuh waktu agar masyarakat bisa mengenal kami,” ucap Azmi.

Sekalipun gagal melenggang ke Senayan, partai yang resmi menjadi badan hukum pada 2016 ini menempatkan sejumlah wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. “Walaupun enggak lolos ke DPR, partai ini potensial ke DPRD,” ujar pendiri lembaga survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Hendri Satrio. Berdasarkan hitung cepat KedaiKOPI, perolehan suara PSI di Jakarta, misalnya, berada di posisi empat besar dengan 9,1 persen, mengungguli Partai Amanat Nasional dan Partai Golkar.

Salah satu calon legislator PSI dari daerah pemilihan DKI Jakarta I, Rian Ernest, memprediksi partainya merebut sedikitnya 10 kursi di DPRD DKI. Rian sendiri diperkirakan memperoleh 85 ribu suara. Meski perolehan suaranya besar, ia tak bisa ke Senayan lantaran perolehan suara PSI di bawah ambang batas parlemen.


 

PSI menganggap waktu yang tersedia dari penetapan sebagai peserta pemilu hingga pencoblosan tak cukup untuk memperkenalkan partai kepada masyarakat. “Kami ini kan partai baru, jadi butuh waktu agar masyarakat bisa mengenal kami.”

 


 

Tingginya perolehan suara PSI di Jakarta, menurut Hendri Satrio, berasal dari kelas menengah atas yang tertarik pada isu kampanye partai. Contohnya penolakan terhadap poligami dan “perda syariah” serta dukungan terhadap tumbuhnya toleransi dan antikorupsi. Rian dan Azmi mengatakan isu tersebut merupakan salah satu platform partainya. “Jadi bukan semata-mata hanya untuk menarik pemilih dalam pemilu, tapi itu memang sikap kami,” kata Azmi.

Perolehan suara PSI di luar negeri, seperti di Washington, DC; Sydney; dan Den Haag, juga cukup menggembirakan. Di Sydney, PSI memperoleh suara terbanyak, yakni 4.912 suara atau 39 persen dari total suara di sana. “Kelompok menengah ke atas yang pendidikannya cukup tinggi memang banyak yang memilih PSI ketimbang kelompok menengah ke bawah,” ujar Hendri.

Tapi isu-isu yang digulirkan tersebut dianggap tak menjangkau semua kalangan. Misalnya, kata Hendri, isu antipoligami dinilai kurang populer oleh sebagian masyarakat. Helda Zahra, warga Pasar Rebo, Jakarta Timur, mengaku memilih salah seorang kader dari Partai Keadilan Sejahtera sebagai wakilnya di Senayan.

Helda emoh memilih PSI lantaran, menurut dia, isu antipoligami sudah masuk ranah pribadi. “Kenapa menolak? Agama tak melarang. Yang jadi masalah itu kalau poligami dijadikan alasan buat nambah bini doang,” tutur perempuan 30 tahun ini.

Hendri juga menganggap upaya PSI memperkenalkan diri di masyarakat tak optimal. Sosialisasi lewat media sosial dan Internet, misalnya, belum menjangkau masyarakat di daerah. Adapun iklan di media massa baru dipasang beberapa pekan sebelum pencoblosan.

Namun publikasi jorjoran di “udara” juga tak menjamin partai bakal meraup banyak suara. Perindo, partai yang dipimpin pemilik MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, diperkirakan gagal ke Senayan meski iklannya sering tayang di televisi sejak jauh hari sebelum kampanye. Menurut hasil hitung cepat KedaiKOPI, Perindo meraih 3,13 persen suara, di atas Partai Berkarya, yang cuma meraih 2,47 persen.

Sekretaris Jenderal Perindo Ahmad Rofiq juga menyalahkan kabar bohong yang berseliweran sebagai penyebab minimnya perolehan suara partai. “Enggak jauh-jauh dari hoaks tentang SARA,” ujar Rofiq. Ia juga menilai politik uang menyebabkan perolehan suara Perindo gembos. Berbeda dengan PSI, Rofiq masih yakin Perindo bisa masuk ke Senayan.

DEVY ERNIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus