SEKITAR 600 kiai Nahdatul Ulama (NU) berseminar menelaah kitab kuning secara kontekstual. Selama tiga hari, 15-17 Desember, kiai-kiai itu merampungkan hajatan besar di Pondok Pesantren Darussalam, Watucongkol, Muntilan, Jawa Tengah. Setelah mengikuti diskusi secara maraton, mereka menyimpulkan: kitab kuning tetap perlu, tetapi harus ditelaah secara kontekstual (siyaqi) dan bukan lagi secara harfiah (TEMPO, 24 Desember 1988). Kesimpulan itu lalu dibawa ke Muktamar Nasional ke-3 Rabithah al-Ma'ahid al-Islamiyah (RMI) Ikatan Pondok Pesantren NU, yang dibuka Wapres Sudharmono, Sabtu dua pekan lalu itu. Acara ini sejak 17 sampai 20 Desember, di tempat yang sama. Di hari terakhir, Kasospol ARI Harsudiono Hartas datang memberi wejangan. Siangnya, saat cuaca mulai mendung, acara dilanjutkan dengan sidang pleno. Para laporan K.H.A. Muhith Muzadi, sekretaris pribadi K.H. Ahmad Shiddiq, Rois Am PM NU, tentang rumusan komisi A. Kata Kiai Muhith, pemahaman KK secara kontekstual sebagai upaya memahami ajaran Islam. "Ini sesuai dengan tuntutan kondisi untuk mewujudkan kemaslahatan umat, dunia, dan akhirat, melalui KK yang terpandang. Kemudian secara sistematis disebutkan filsafat, tujuan, dan cara serta materi yang diperlukannya -- dan itu persis hasil seminar. Suasana tenang saja. Sederet kiai pembaru, yang selama ini giat dalam lembaga swadaya masyarakat di PB NU dan di luarnya, tampak yakin bahwa majelis muktamar akan menerima hasil seminar tadi sebagai salah satu keputusannya. Kemudian, tiba giliran K.H.A. Aziz Masyhuri melaporkan hasil sidang komisi B yang dipimpinnya, barulah tanggapan keras bermunculan. "Islam sesuai dengan kondisi?" tanya K.H. Dawam Anwar, menanggapi Kiai Muhith dari Komisi A. "Yang tepat, Islam menyelesaikan, bukan malah disesuaikan." K.H. Zaenal Abidin, pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawir, Yogya, juga menolak telaah kontekstual KK hasil seminar. Ia hanya menyetujui pemahaman secara kontekstual dari hasil muktamar, yang katanya juga membicarakan itu. Bedanya, menurut kiai sepuh ini, seminar mengartikan pemahaman KK secara kontekstual sebagai ijtihad utuh yang digali sendiri oleh santri. Sedangkan muktamar menilainya sebagai pemahaman KK yang "sesuai dengan norma yang digariskan oleh kitab kuning." Kiai itu bahkan menolak ilmu kaidah istimbath (pengambilan kesimpulan) sebagai pelajaran bagi santri. Pengajaran ilmu itu, katanya, akan mengandaikan santri berpeluang untuk berijtihad sendiri -- memahami hukum langsung dari Quran dan Hadis, tanpa metode pemahaman yang telah digariskan oleh para ulama di KK. "Kalian akan menyaingi Imam Syafii?" tanya Kiai Zaenal. Ia mengingatkan santrinya yang telah menjadi kiai muda. Baginya, KK itu sudah mengandung segala masalah, seperti soal KB atau cara salat bagi para astronaut. Kiai lain menyorot soal penyeragaman kurikulum pondok, yang oleh seminar disebut ilmu-ilmu yang diperlukan untuk pemahaman KK secara kontekstual. "Pondok pesantren itu ibarat kerajaan kecil. Mereka punya hak otonom yang tak bisa diganggu-gugat," ucap Drs. K.H. Ahmad Adzro'ie, Wakil Ketua RMI Jawa Tengah, kepada Bandelan Amaruddin dari TEMPO. Kiai yang mengaku tidak ikut seminar karena tak diundang itu kemudian gigih mencegah muktamar memutuskan pembakuan kurikulum pondok pesantren. Soalnya, sejak dulu tiap pesantren menentukan kurikulumnya sendiri, sebagai pilihan bagi spesialisasinya. Di muktamar itu, K.H. Shohib Bishri, 54 tahun, Ketua RMI-NU sebelum ini, menilai penolakan itu hanya didasarkan pada alasan: seminar bukanlah rangkaian dari muktamar. Jadi, keputusan keduanya tidak boleh dicampur. Menurut putra Almarhum K.H. Bishri Syansuri, pendiri NU, alasan itu tidak benar. Sebab, pelaksanaan seminar termuat di dalam pertanggungjawaban dari dia (sebagai Ketua RMI-NU), yang sebelum ini diterima bulat oleh 563 peserta dari 172 cabang RMI. Penolakan setelah palu diketok, kata Kiai Shohib, itu namanya interupsi yang tidak bisa mengubah sebuah keputusan. Apalagi yang menginterupsi itu memang tak diundang. "Lha, dia memang bukan termasuk ulama yang muktamar," kata Shohib. Alasannya, karena ia belum menjadi cabang RMI. Maka, interupsi itu pun tak digubris. Hasil seminar akhirnya langsung dimasukkan ke dalam keputusan muktamar. Menurut Kiai Shohib, pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif, Denanyar, Jombang itu cara tersebut untuk menghemat waktu. Menurut dia, prinsipnya KK itu tak berubah di pondok pesantren, dan tetap jadi rujukan utama selain Quran dan Hadis. Tapi telaahnya disesuaikan dengan keadaan sehari-hari. Untuk itu, tambahnya pada Wahyu Muryadi dari TEMPO, sesuai anggaran dasar, NU bukan saja terbentur pada mazhab Syafiiyah. Suatu saat nanti, warga NU bisa mengambil mazhab lain, sesuai dengan keadaan sekarang. Dan itu belum pernah terjadi. Pergumulan panjang untuk meloloskan telaah KK secara kontekstual sebagai bagian dari gerakan besar NU kini telah sampai ke titik pengakuan formal lewat muktamar. Bermula pada 1984. Ketika itu, di Jakarta PB NU membuka pengajian kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi, kemudian kitab al-Risalah karya Imam Syafii. Lalu dilanjutkan dengan diskusi dan seminar kecil tentang KK yang dilakukan oleh sejumlah kiai muda di PB NU dan P3M. Tugas berikutnya masih panjang, seperti melakukan studi percontohan dan bagaimana melakukan telaah KK secara kontektual. RMI-NU konon disiapkan untuk itu. Muktamar, misalnya, untuk itu sengaja mengubah anggaran dasar RMI. Dulu, RMI bertugas membimbing pondok pesantren di lingkungan NU, kini sebagai kordinator dan pelayan kebutuhan pondok pesantren. Maka sifatnya berubah menjadi lembaga swadaya masyarakat (LSM), tetapi terpisah dari lembaga seperti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Jakarta. "Kami akan bekerja sama dengan LSM sejenis, termasuk yang ada di luar negeri. Itu keputusan kami," Kiai Shohib. Ahmadie Thaha (Jakarta) dan I Made Suarjana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini