Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berbagai universitas negeri terkemuka mendukung Peraturan Menteri Pendidikan tentang Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Para rektor kemudian menyusun ketentuan yang diselaraskan dengan peraturan menteri pendidikan.
Dukungan muncul di tengah protes organisasi massa dan partai politik Islam.
JAKARTA – Sejumlah pemimpin perguruan tinggi mendukung implementasi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono, misalnya, menyambut baik ketentuan baru tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UGM sudah lebih dulu menerbitkan Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat Gajah Mada pada 24 Januari 2020. “Kami tinggal menyesuaikan saja, mau direvisi. Masih ada waktu satu tahun sejak diberlakukan,” kata Panut kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyesuaian dibutuhkan karena ada beberapa poin yang perlu disesuaikan antara peraturan rektor dan peraturan menteri tersebut. Pertama, soal kelembagaan yang mengharuskan pembentukan satuan tugas yang anggotanya minimal lima orang, meliputi unsur pendidik, tenaga pendidik, dan mahasiswa, dengan jumlah perempuan 2/3 dari total anggota.
Kedua, pembiayaan dan sarana yang mengharuskan pemimpin perguruan tinggi memfasilitasi pelaksanaan tugas dan wewenang satgas. Ketiga, ada kewajiban pelaporan kasus kepada Menteri Pendidikan. Keempat, perihal substansi kekerasan seksual dan jenis-jenis sanksi yang harus diberikan kepada pelaku.
Panut mengakui kelahiran Peraturan Rektor UGM tersebut tak lepas dari beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di UGM, ditambah desakan civitas akademica. Sejumlah kasus heboh di media massa maupun media sosial, seperti kasus kekerasan seksual terhadap Agni. Kasus kekerasan seksual menimpa mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada yang dikenal dengan nama Agni. Agni adalah penyintas pemerkosaan yang dilakukan temannya, HS, saat kuliah kerja nyata (KKN) di Maluku pada Juni 2017.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pada 3 September lalu. Meski sudah diundangkan sejak dua bulan lalu, aturan ini baru menjadi perbincangan publik pada awal bulan ini. Sementara mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk aktivis perempuan, aturan ini ditentang oleh Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam, mengatakan sejumlah perguruan tinggi sudah menyampaikan komitmennya untuk menjalankan ketentuan baru tersebut. Beberapa kampus negeri dan swasta mulai membentuk satuan tugas dan menyusun peraturan rektor guna mewujudkan kampus yang aman. “Terbebas dari ancaman kekerasan seksual,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Senada dengan UGM, Rektor Universitas Padjadjaran Rina Indiastuti telah mengeluarkan Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Universitas Padjadjaran. Upaya pencegahannya dilakukan antara lain dengan menggelar diseminasi program dan kebijakan anti-pelecehan seksual di lingkungan kampus, menata sarana dan prasarana kampus yang aman dan nyaman, serta meningkatkan kesadaran warga kampus.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Padjadjaran, Arief S. Kartasasmita, mengatakan mereka akan merevisi ketentuan itu seiring keluarnya peraturan menteri pendidikan. Satu poin tambahannya adalah pembentukan satuan tugas.
Dulu fungsi satuan tugas diemban oleh Komisi Etik. Jika kasusnya terindikasi atau dinilai ada permasalahan hukum, universitas akan melaporkannya ke penegak hukum. Mereka pernah menjalankannya pada tiga atau empat tahun lalu. Kebetulan, Arief melanjutkan, keluarganya juga melaporkan ke kepolisian dan diproses sampai ke pengadilan. “Kalau porsinya ke hukum, tidak kami tangani sendiri. Dia lapor ke polisi, tapi secara akademik kami proses juga,” ujarnya.
Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Reini Wirahadikusumah mengapresiasi inisiatif Kementerian Pendidikan. Dengan keluarnya aturan itu, ITB bisa segera menandatangani Peraturan Rektor tentang Kekerasan Seksual. Lewat kebijakan itu, ITB ingin membangun kesadaran, edukasi, pencegahan, serta penanganannya bila terjadi kasus.
Menurut Reini, ITB menyiapkan rancangan Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual sejak tahun lalu. Saat ini, ketentuan itu sedang dalam tahap finalisasi agar sejalan dengan peraturan menteri pendidikan. “Kami sudah tunggu-tunggu sejak dulu,” kata guru besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB tersebut.
Untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual, ITB bermitra dengan lembaga pemerintah dan nonpemerintah. Bentuknya berupa kampanye antikekerasan seksual di kampus melalui seminar, kuliah umum, dan diskusi serta menyusun perangkat aturan sesuai dengan nilai-nilai, karakter, dan dinamika akademik di ITB.
Sejauh ini, kata Reini, isu kekerasan seksual di dalam kampus belum pernah tercatat di lembaga konseling untuk mahasiswa. “Jadi, ITB belum pernah ada pengalaman atau belum diketahui (kasusnya),” ujar dia.
DIKO OKTARA | ANWAR SISWADI (BANDUNG) | PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo