Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalan Panjang Tukang Roti

Amir Syamsuddin membangun karier politik di antara kasus-kasus hukum yang ia tangani. Memainkan peran sebagai "perwujudan" keinginan SBY.

31 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN silaturahmi Senin siang pekan lalu itu berlangsung anyep. Sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang belum genap sepekan dilantik, Amir Syamsuddin sudah mencoba sopan: meminta waktu sowan menemui koleganya di Partai Demokrat yang jadi mitra kerjanya di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.

Selepas jam makan siang, acara digelar di gedung Nusantara I dan dipimpin Dasrul Djabar, Ketua Kelompok Kerja Fraksi Demokrat di Komisi III. Belum ada kasus khusus yang dibahas selama 30 menit pertemuan siang itu. "Pembicaraan kami belum masuk ke urusan substansi," kata Dasrul.

Tak banyak anggota Komisi Hukum dari Partai Demokrat yang hadir. Dari 14 anggota, hanya enam yang muncul menemui Amir siang itu. Itu sudah termasuk anak Amir, Didi Irawadi Syamsuddin, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat. Para anggota lain absen. Ada yang bilang sedang ikut rapat kerja di Komisi, ada pula yang sedang mengawasi proses seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi.

Menurut Dasrul, dua Menteri Hukum sebelumnya—Patrialis Akbar dan Andi Mattalata—pernah menjadi anggota Dewan sebelum masuk kabinet. Sedangkan Amir Syamsuddin belum. "Kami harap pertemuan awal ini bisa membuat proses dan relasi kerja ke depan lebih luwes," ujar Dasrul. Politikus biru di Senayan juga menyampaikan pesan kepada Amir tentang cara berhubungan baik dengan Dewan.

Seorang petinggi Partai Demokrat mengatakan anggota mereka malas menemui Amir karena kecewa atas peng­angkatan Amir sebagai menteri. "Teman-teman memakai pertemuan ini untuk mengekspresikan perasaan kecewa," katanya. "Bayangkan, kalau rekannya dari Demokrat tak mendukung, apa yang akan dihadapinya nanti dalam tiga tahun ke depan?"

Ia lalu bercerita ihwal yang membuat mereka kurang suka dengan pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. "Terus terang saja, kami di Demokrat terpuruk berat gara-gara kasus Nazaruddin," ujarnya. "Amir punya andil besar membuat situasi kami tambah susah."

Ketika kasus dugaan korupsi wisma atlet yang membelit nama bendahara umum partai itu mencuat, April lalu, Amir memang memainkan peran penting. Sebagai Sekretaris Dewan Kehormatan Partai Demokrat, ia praktis menjadi tangan kanan Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina. Waktu itu, sikap dan pernyataan Amir dianggap mewakili kehendak SBY.

Kuatnya pengaruh Amir mulai tampak ketika akhirnya Dewan Kehormatan sampai pada keputusan memecat Nazar dari posisi bendahara. Padahal dalam proses itu Nazar sempat dibela oleh Anas Urbaningrum, ketua umum yang juga duduk sebagai anggota di dewan itu.

Gara-gara kasus ini pula, Amir sempat bersitegang secara terbuka di media massa dengan para pengurus teras partai lainnya, seperti Benny K. Harman dan Ruhut Sitompul. Keributan serupa dengan Ruhut terulang saat mereka berbeda pendapat dalam menyikapi kasus pemalsuan surat keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyeret nama Andi Nurpati.

Bintang Amir di Demokrat makin bersinar seiring dengan redupnya pamor Anas dan kelompoknya. "Dia banyak memperoleh keuntungan politik dari caranya memperlakukan Nazar," kata politikus Demokrat lainnya. Puncaknya adalah dua pekan lalu, ketika Presiden menunjuk pengacara kelahiran Makassar pada 27 Mei 1941 ini sebagai menteri.

l l l

JALAN hidup Amir penuh liku. Terlahir dengan nama Freddy Tan Toan Sin, Amir mengaku sempat mengenyam pendidikan di sekolah Katolik yang dikelola para frater. Saat remaja, ia bahkan pernah mencoba meniti jalan menjadi calon biarawan dengan masuk seminari. "Tapi diberhentikan dan kembali ke sekolah semula supaya bisa ikut ujian," katanya Jumat pekan lalu.

Lulus dari SMP, ia meninggalkan Makassar dan melanjutkan pendidikan ke SMA di Surabaya. Amir muda pernah menggeluti beberapa bidang pekerjaan. Anak kesembilan dari sepuluh bersaudara ini pernah menjadi juru cetak foto, juga pernah bekerja di sebuah pabrik roti dan buka bengkel sendiri. 

Selepas dari SMA, dalam keadaan sudah berkeluarga dan sambil bekerja, ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Masuk 1978, ia selesai dan meraih gelar sarjana pada 1983. Bekerja sebentar di kantor pengacara O.C. Kaligis sebagai tenaga magang, ia kemudian membuka kantor Amir Syamsuddin Law Offices and Partners di Cikini, Jakarta Pusat, pada 1984.

Keberuntungan demi keberuntungan mengalir. Selesai dia kuliah, seorang teman menyediakan ruang untuk kantor pengacaranya. Kemudian Karni Ilyas, waktu itu wartawan majalah Tempo, merekomendasikan Amir menjadi pembela majalah ini ketika digugat Probosutedjo pada 1986. Namanya melesat.

Sejumlah kasus besar ia tangani, misalnya kasus Bapindo, kasus Suara Pembaruan, Zarima, serta kasus dugaan korupsi yang melibatkan nama besar seperti Akbar Tandjung, Beddu Amang, Sudjiono Timan, dan Awang Faroek Ishak. Banyaknya kasus korupsi yang ia tangani itulah yang sempat jadi kontroversi pada saat ia duduk di Dewan Kehormatan Demokrat yang "mengadili" Nazaruddin.

Di panggung politik, garis tangan Amir pun tak jauh dari keberuntungan berkat kepiawaiannya beracara di bidang hukum. November 2009, namanya mulai berkibar pada saat kasus "Cicak-Buaya". Kisruh ini merupakan perseteruan antara Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berujung pada penahanan Bibit Samad ­Rianto dan Chandra M. Hamzah, dua pemimpin lembaga antikorupsi itu.

Amir ditunjuk Presiden menjadi anggota Tim Pencari Fakta yang dikenal dengan sebutan Tim 8—anggota lainnya Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Anies Baswedan, Komaruddin Hidayat, Denny Indrayana, Hikmahanto Juwana, dan Koesparmono Irsan. Banyak politikus Senayan yang membela Polri dan Kejaksaan Agung gerah lantaran tim ini merekomendasikan pembebasan Bibit dan Chandra. Bersama Denny Indrayana yang duduk sebagai anggota staf khusus presiden, Amir yang saat itu menjabat Ketua Demokrat Bidang Hukum mulai dilihat sebagai representasi dan perpanjangan tangan SBY.

Pamornya yang naik di partai ini mengantarkannya duduk sebagai penjabat sekretaris jenderal. Ia menggantikan Marzuki Alie, yang melepas posisinya setelah terpilih sebagai Ketua DPR pada Oktober 2009. Ketika perkubuan di Demokrat mengeras dalam kongres di Bandung pada Mei tahun lalu, Amir memilih posisi aman: berdiri mengikuti SBY. Posisi ini ia pertahankan dalam kasus Nazaruddin.

Y. Tomi Aryanto, Fanny Febiana


Yang Bebas, Yang Buron

Mengawali karier pengacaranya dengan menjadi anggota staf magang di Kantor Pengacara Otto Cornelis Kaligis, Amir Syamsuddin mendirikan Amir Syamsuddin Law Offices and Partners pada 1984. Ia menangani sejumlah perkara besar, di antaranya:

Sudjiono Timan

  • Kasus: BLBI PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia
  • Kerugian Negara: Rp 1,2 triliun
  • Status: 25 November 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Sudjiono Timan. Pada Desember 2004, majelis kasasi Mahkamah Agung memvonisnya 15 tahun. Sudjiono telah kabur ketika putusan diumumkan dan hingga kini jadi buron.

    Ali Mazi

  • Kasus: Perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton
  • Kerugian Negara: Rp 1,9 triliun
  • Status: 12 Juni 2007 PN Jakarta Pusat memvonis bebas Ali Mazi.

    Akbar Tandjung

  • Kasus: Korupsi dana nonbujeter Bulog
  • Kerugian Negara: Rp 40 miliar
  • Status: 4 September 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Akbar 3 tahun penjara. Tapi, pada 12 Februari 2004, Mahkamah Agung membebaskan terdakwa.

    Pontjo Sutowo

  • Kasus: Perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton
  • Kerugian Negara: Rp 1,9 triliun
  • Status: 12 Juni 2007 PN Jakarta Pusat memvonis bebas Pontjo Sutowo.

    Syaukani
    Bupati Kutai Kartanegara nonaktif

  • Kasus: Pungutan pembangunan bandara Kutai Kartanegara
  • Kerugian Negara: Rp 120,251 miliar
  • Status: 14 Desember 2007 Pengadilan Tipikor memvonis Syaukani 2 tahun 6 bulan

    Beddu Amang

  • Kasus: Tukar guling tanah gudang Depot Logistik DKI Jakarta dengan PT Goro Batara Sakti
  • Kerugian Negara: Rp 95,5 miliar
  • Status: April 1999 vonis bebas.

    Burhanuddin Abdullah

  • Kasus: Penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia
  • Kerugian Negara: Rp 100 miliar
  • Status: 29 Oktober 2008 Pengadilan Tipikor memvonis 5 tahun. Pada 2009, Mahkamah Agung mengkorting hukuman menjadi tiga tahun.

    Naskah: Fanny Febiana, Evan (berbagai sumber)
    foto-foto: TEMPO/ Zulkarnain , Wahyu Setiawan
    Dok/TEMPO/ Amatul Rayyani, Bagus Indahono, Robin Ong

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus