Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sembilan lembaga nirlaba menyebutkan ada jejak Luhut di konsesi tambang emas di Intan Jaya, Papua.
Temuan ini didasari penelusuran dokumen kepemilikan saham dan dokumen pemilik manfaat sejumlah perusahaan.
Laporan ini yang menjadi pangkal laporan Luhut terhadap dua aktivis.
JAKARTA – Laporan lembaga-lembaga nirlaba pembela lingkungan hidup yang tergabung dalam koalisi #BersihkanIndonesia menjadi pangkal dalam perkara pencemaran nama yang menjerat aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Keduanya dilaporkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan karena menyebutkan nama Luhut terafiliasi dengan perusahaan yang akan melakukan eksplorasi di Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, Papua, yang mereka sampaikan dalam video pendek di akun YouTube milik Haris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan itu terbit pada awal Agustus lalu dari kajian sembilan lembaga nirlaba berjudul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Nama Luhut disebut tiga kali dalam laporan setebal 32 halaman itu. “Kami menyimpulkan bahwa penempatan militer di Papua itu tidak lepas dari kepentingan ekonomi dan politik,” kata peneliti Greenpeace Indonesia, Rio Rompas, kepada Tempo, kemarin. Rio terlibat dalam penyusunan laporan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut laporan itu, ada empat perusahaan konsesi yang beroperasi di Kabupaten Intan Jaya. Dua di antaranya memiliki hubungan dengan jenderal militer. Perusahaan yang dimaksudkan adalah PT Freeport Indonesia dan PT Madinah Qurrata ‘Ain. PT Madinah baru masuk tahap eksplorasi emas di lahan seluas 23.150 hektare. Perusahaan inilah yang diduga terafiliasi dengan Luhut.
Menurut Rio, metodologi penelitian ini terukur. Tim menelusuri data kepemilikan saham PT Madinah yang berujung pada nama Luhut. Sebanyak 64 persen saham PT Madinah dimiliki oleh West Wits Mining, perusahaan asal Australia. Belakangan, West Wits memberikan 30 persen saham mereka kepada Tobacom Del Mandiri yang merupakan anak perusahaan Toba Sejahtera Group—perusahaan milik Luhut.
Pemberian saham ini, menurut Rio, dinyatakan sebagai bentuk aliansi bisnis. "Dalam laporan tahun 2016, West Wits juga bilang bahwa perusahaan Luhut bertanggung jawab atas izin kehutanan dan keamanan akses ke lokasi proyek,” kata Rio.
Rangkaian kepemilikan saham ini, ujar Rio, ditelusuri lewat dokumen beneficial owner alias pemilik manfaat. Kajian tersebut juga menelusuri sebaran pos militer di Intan Jaya yang disandingkan dengan data lahan konsesi. Temuannya, kata Rio, konsesi PT Madinah berdekatan dengan beberapa pos militer, seperti Polsek Sugapa, Polres Intan Jaya, dan Kodim Persiapan Intan Jaya.
Berdasarkan temuan data tersebut, sembilan lembaga nirlaba pembela lingkungan hidup ini menyebutkan ada potensi kepentingan ekonomi di balik serangkaian operasi militer di Intan Jaya. Dari kepemilikan saham oleh purnawirawan jenderal TNI seperti Luhut hingga lewat penempatan pos militer di dekat konsesi perusahaan yang pemilik manfaatnya adalah jenderal TNI. Sembilan lembaga nirlaba yang menyusun laporan ini adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, Kontras, Jatam, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia.
Fatia Maulidiyanti. kontras.org
Laporan itu kemudian menjadi bahan diskusi Haris dan Fatia di video berdurasi 26 menit yang diunggah di akun YouTube milik Haris pada 20 Agustus lalu. Luhut sudah dua kali mengirimkan somasi kepada Haris dan menagih permintaan maaf. Namun Haris dan tim kuasa hukumnya menolak karena mengatakan diskusi itu didasari data yang sahih. Akhirnya Luhut dan kuasa hukumnya memutuskan mengadu ke Polda Metro Jaya karena menduga Haris dan Fatia sudah mencemarkan nama Luhut.
Juru bicara Luhut Binsar Pandjaitan, Jodi Mahardi, membantah temuan laporan itu. “Metodologi risetnya ngawur,” kata Jodi. “Mereka tidak pernah melakukan klarifikasi dan langsung membuat kesimpulan. Jodi juga menyebutkan bahwa Luhut tak mempunyai bisnis tambang di Papua. Pengacara Luhut dalam laporan pencemaran nama, Juniver Girsang, juga mengatakan kajian yang dikutip Haris itu tak akurat.
Nurkholis Hidayat, pengacara Haris, mengatakan Luhut Pandjaitan sudah seharusnya memberikan penjelasan yang berkaitan dengan temuan laporan tentang jejak Luhut di perusahaan-perusahaan yang memiliki izin tambang di Intan Jaya. “Jangan sekadar bilang tidak punya bisnis tambang,” kata dia. Penjelasan itu penting untuk mengklarifikasi data kajian yang disampaikan Fatia dan Haris dalam video pendek tersebut.
INDRI MAULIDAR | IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo