Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah pakar hukum tata negara menyatakan Mahkamah Konstitusi semestinya memanggil Presiden Joko Widodo dalam sidang sengketa pilpres.
Presiden Jokowi adalah orang yang dianggap bertanggung jawab atas kerja para menteri yang menyalurkan bansos.
Kubu 01 dan 03 disebut tak antusias meminta Presiden diperiksa Mahkamah Konstitusi.
BEBERAPA ahli hukum tata negara menyatakan Mahkamah Konstitusi semestinya memanggil Presiden Joko Widodo bersaksi dalam sidang sengketa pemilihan presiden 2024. Jokowi, kata mereka, mesti mengklarifikasi tuduhan cawe-cawe dan politisasi bantuan sosial untuk memenangkan calon Prabowo Subianto yang berpasangan dengan anaknya, Gibran Rakabuming Raka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Feri Amsari, ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, menyebutkan Jokowi adalah orang yang dianggap bertanggung jawab atas kerja para menteri yang menyalurkan bansos selama masa kampanye. Jokowi memiliki kepentingan karena anaknya menjadi kandidat pemilihan presiden pada 14 Februari 2024.
Menurut Feri, keterangan Jokowi dalam sidang di Mahkamah Konstitusi merupakan hal penting. Presiden memiliki kekuasaan memerintahkan para menteri cawe-cawe untuk memenangkan putranya. “Presiden wajib dipanggil dan seharusnya memang dipanggil karena diduga dialah pelaku utamanya,” ujarnya kepada Tempo pada Jumat, 5 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum pada 5 April 2024. Hakim memanggil empat menteri kabinet Jokowi untuk meminta penjelasan penyaluran bansos di masa kampanye pemilihan presiden. Permintaan memanggil menteri merupakan materi gugatan tim hukum pasangan calon presiden dan wakilnya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Menko PMK Muhadjir Effendy (kiri), Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini hadir dalam sidang perselisihan hasil pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 5 April 2024. TEMPO/Subekti
Mereka adalah Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Dalam pemaparannya, para menteri menyebutkan perencanaan dan penyaluran bantuan sosial sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat.
Feri mengatakan bansos memang diperlukan dan telah disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah. Namun dugaan penyalahgunaannya harus diselisik oleh Mahkamah Konstitusi melalui keterangan para pembantu presiden tersebut. Menurut dia, Kementerian Koordinator Perekonomian seharusnya tidak berwenang menyalurkan bansos. Berdasarkan undang-undang, kata Feri, wewenang penyaluran bansos merupakan kewenangan Kementerian Sosial.
Tim hukum pasangan calon Prabowo-Gibran sebelumnya mengatakan tidak ada hubungan antara bansos dengan keterpilihan calon presiden. Feri, pemeran film Dirty Vote yang menjelaskan pelbagai bentuk kecurangan Pemilu, membantah argumen tersebut. Menurut dia, pemberian insentif menjelang pemilu adalah politik gentong babi untuk mempengaruhi pemilih.
“Itu menipu,” tutur Feri. “Seolah-olah pemberian bansos ini benar. Kita tahu semua dalam praktik politik ini salah.”
Dihubungi secara terpisah, Herdiansyah Hamzah, ahli hukum tata negara Universitas Mulawarman, menyebutkan dugaan cawe-cawe Presiden Joko Widodo kentara dari keterangan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Dalam sidang, Menteri Risma mengatakan bansos hanya disalurkan lewat transfer bank atau pos, bukan berupa barang seperti beras.
Menurut Herdiansyah, penjelasan tersebut memperkuat dugaan politisasi bansos. “Karena penyaluran bansos menjelang pemilu tidak sesuai dengan portofolio Kementerian Sosial sebagai leading sector penyaluran bansos,” katanya.
Menurut Herdiansyah, modus politik sangat kental dalam program bansos menjelang pemilu. Dengan begitu, kata dia, penting menghadirkan Jokowi ke muka sidang untuk mendudukan perkara bansos di masa kampanye ini.
Presiden RI Joko Widodo saat memberikan keterangan pers soa pemanggilan empat menteri oleh Mahkamah Konstitusi di Jakarta, 3 April 3034. TEMPO/Subekti
Perihal pemanggilan Jokowi sempat disinggung selama sidang oleh hakim konstitusi Arief Hidayat. Dia mengatakan pilpres kali ini lebih hiruk-pikuk dibanding pilpres 2014 dan 2019.
Arief menyebutkan Pemilu 2024 diwarnai pelanggaran etik oleh hakim konstitusi saat memutuskan mengubah Undang-Undang Pemilu sehingga anak Jokowi bisa menjadi calon wakil presiden, pelanggaran etik oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum, dan dugaan cawe-cawe Presiden mendukung Prabowo Subianto. "Tapi apa iya kami harus memanggil Kepala Negara? Kelihatannya kurang elok," katanya.
Arief beralasan Presiden tak semata kepala pemerintahan tapi sekaligus kepala negara. Jika hanya sebagai kepala pemerintahan, kata dia, hakim bisa memanggilnya untuk bersaksi. Namun, jabatan Presiden sebagai kepala negara membuat pemanggilan itu tidak elok. "Presiden sebagai kepala negara yang harus dijunjung sehingga kami hanya memanggil para pembantunya," ujarnya.
Menurut Arief, dugaan penyalahgunaan bansos memiliki korelasi secara elektoral sebagaimana gugatan kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Dengan begitu, katanya, dalil tersebut seharusnya diklarifikasi langsung oleh Presiden.
Herdiansyah mengatakan pernyataan kontradiktif hakim Arief Hidayat itu membenarkan perlunya keterangan Jokowi untuk membuat terang gugatan dan perkara yang disidangkan Mahkamah. Menurut dia, Presiden tetap bisa diperiksa dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana belum merespons permintaan konfirmasi Tempo ihwal desakan untuk memanggil Jokowi di sidang MK. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono juga tidak merespons pertanyaan soal kemungkinan Presiden bisa menghadiri sidang Mahkamah Konstitusi.
Dalam kesempatan terpisah, tim hukum kubu Anies-Muhaimin enggan mendesak Mahkamah Konstitusi memanggil Jokowi hadir dalam sidang sengketa pilpres. Anggota tim hukum Anies-Muhaimin, Heru Widodo, tak mau menanggapi sikap hakim konstitusi yang menolak menghadirkan Jokowi.
Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, juga tidak mempermasalahkan putusan majelis hakim yang tidak akan memanggil Jokowi. "Soal pemanggilan presiden, kami serahkan saja kepada majelis hakim,” katanya.
Kepala Biro Humas dan Protokol Mahkamah Konstitusi Budi Wijayanto (kedua dari kanan) menerima surat dari perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi dan Antikorupsi di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 4 April 2024. TEMPO/Subekti
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi dan Antikorupsi mengirim surat terbuka kepada hakim konstitusi pada Kamis lalu. Mereka mendesak hakim memanggil Jokowi bersaksi dalam sidang sengketa pilpres 2024. Selain Jokowi, mereka bahkan meminta hakim memanggil delapan menteri lain. "Kami memandang keterangan mereka penting untuk didengarkan dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum," kata perwakilan Koalisi Masyarakat, Usman Hamid, di gedung MK, Jakarta.
Usman berharap surat terbuka yang mereka kirim dipertimbangkan para hakim konstitusi, meski durasi sidang menangani sengketa itu sangat terbatas. "Ini demi tercapainya kebenaran materiil dan keadilan yang substansial," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia itu.
Adapun Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura, menyakini hakim konstitusi tidak akan memanggil Jokowi jika melihat waktu tersisa penanganan perkara ini. Sebab, kata Charles, agenda sidang berikutnya sudah masuk tahap kesimpulan. Di samping itu, tidak ada permintaan tambahan pemanggilan saksi dari penggugat.
Charles menjelaskan perkara sidang perselisihan hasil pemilihan umum telah berjalan 10 hari dari batas waktu 14 hari kerja. Hakim juga memerlukan waktu untuk menggelar rapat dan mempelajari lagi berkas perkara sengketa pilpres ini. Belum lagi waktu yang harus disediakan para hakim untuk mendengar respons para pihak yang bersengketa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini