Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BADAN Narkotika Nasional menggeropyok Diskotek MG International Club di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Kelurahan Wijaya Kusuma, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, pada Ahad dua pekan lalu. Deputi Pemberantasan BNN Arman Depari mengatakan lembaganya menemukan diskotek tersebut memiliki laboratorium untuk membuat narkotik jenis ekstasi dan sabu-sabu cair.
Johny P. Latupeirissa, Kepala BNN Provinsi DKI Jakarta, mengatakan narkotik itu dijual dalam kemasan botol air mineral kecil atau dicampur dalam minuman keras sesuai dengan pesanan pembeli. "Yang bisa pesan sabu itu hanya member," ujarnya. Menurut dia, diskotek itu diperkirakan sudah dua tahun memproduksi narkotik.
Maraknya peredaran narkotik di berbagai diskotek pernah diulas majalah Tempo edisi 5 Februari 1994. Tulisan berjudul "Mata Rantai Terputus di Tengah Jalan" itu bercerita soal kemudahan mendapatkan narkotik. Kala itu, publik belum lama dikejutkan oleh meninggalnya Rifardi Sukarno Putro alias Aldi, pemuda 22 tahun, di rumah artis Ria Irawan karena overdosis.
Obat setan itu bagaikan gurita yang menjerat berbagai kota di Indonesia. Pusat jajan serba ada di kompleks Simpang Lima Plaza, Semarang, misalnya, berubah fungsi menjadi pusat anak muda teler. Suatu siang, seorang lelaki kerempeng dirubung anak-anak muda. Lalu pria itu membagikan butiran pil mirip kancing. Glek! "Kancing" itu masuk tenggorokan, tak lama kemudian mereka cengar-cengir.
Di diskotek, pub, dan hotel, ekstasi serta obat-obatan lain bisa diperoleh dengan mudah. Sodorkan saja Rp 20 ribu, sejam kemudian pengecer akan membawa sebungkus rokok yang isinya disulap berbumbu ganja alias suket, plus enam butir Somnil 5 miligram. Ekstasi diburu anak-anak orang gedean dan pengusaha Semarang. Sedangkan pil murahan, seperti Mogadon dan Arthan alias double L atau "lele" istilah prokemnya diburu kalangan menengah ke bawah.
SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) boleh bubar, tapi bisnis obat G- obat keras yang harus berdasarkan resep dokter dan berpotensi menimbulkan kecanduan- meroket terus. Obat-obat itu disuplai dari Surabaya, Bandung, Jakarta, dan Yogya. Tapi pengedar ini tak tahu siapa bos pemasoknya. Mata rantai jaringan obat terlarang ini memang tak mudah dilacak. Solo juga terkena imbas. Terutama di kios-kios sekitar kampus. "Ada benik?" tanya pembeli, jika mau mencari obat G.
Peredaran di Jakarta tak kalah seru. Kawasan Pasar Senen, Blok A, Glodok, Jatinegara, dan Bendungan Hilir bukan tempat asing, asalkan tahu lika-likunya. Beberapadiskotek juga dikabarkan sudah menjadi ajang transaksi obat G. Misalnya diskotek di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, atau di kawasan Jakarta Pusat. Di Blok M, seorang pramuriadiskotek enak saja menjawab tamunya yang memesan "kancing".
"Pakai yang mana, Rohib atau Nipam? Kalau pil BK kan sudah ketinggalan zaman. Sudah enggak model," katanya. Harga pil BK yang dikemas dalam plastik sederhana, di Jakarta, cuma Rp 1.000 untuk tujuh butir. "Itu konsumsi kelas abang becak atau preman pasar," kata seorang mahasiswa.
Untuk kalangan atas, jenis Mogadon, BK, Dumolid, Somnil, atau Rohypnol sudah tidak ngetren. Lalu, muncul kelompok jetset yang iseng-iseng membawa pulang dari luar negeri barang baru: ekstasi. Harganya mahal, susah didapat, dan khasiatnya fantastis. Tapi rupanya pil "setan" telah mencabut nyawa Aldi, yang akhirnya menyenggol bintang film Ria Irawan. Walhasil, polisi punya kerja lagi: menyingkap peredaran ekstasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo