Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melacak transaksi mencurigakan dari 19 orang yang diduga terlibat sejumlah tindak pidana.

24 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Transaksi Lancung Rp 747 Triliun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Transaksi Lancung Rp 747 Triliun

PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melacak transaksi mencurigakan dari 19 orang yang diduga terlibat sejumlah tindak pidana. Mereka adalah kepala daerah, aparat penegak hukum, pegawai negeri, pengusaha, pejabat lelang, dan kepala rumah sakit. Total transaksi yang terdeteksi mencapai Rp 747 triliun dan tersebar di 228 rekening bank serta lembaga keuangan selama setahun terakhir.

Menurut Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin, angka tersebut diperoleh setelah lembaganya melacak nama-nama yang terlibat dalam kasus korupsi, judi online, terorisme, narkotik, perambahan hutan, dan perpajakan. PPATK menelusuri transaksi atas permintaan lembaga penegak hukum. "Contohnya antara lain kasus penipuan jemaah umrah First Travel, korupsi KTP elektronik, dan pembelian helikopter AW101," kata Kiagus, Selasa pekan lalu.

Modus transaksi umumnya menggunakan rekening kerabat dan kolega untuk menampung dana yang terindikasi hasil dari kejahatan. Selain itu, transaksi mencurigakan berasal dari pemberian kredit fiktif, transaksi Internet banking, dan pendirian perusahaan legal tapi aktivitas bisnisnya tak ada. Rekening penampung tersebut juga diduga telah dipakai untuk menyuap aparat penegak hukum dan panitia pengadaan.

Menurut Kiagus, transaksi mencurigakan itu tak hanya dilakukan melalui bank di Jakarta, tapi juga di sejumlah kabupaten dan kota di Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara.


Rp 747,04 Triliun
Total dana yang berputar di rekening penjahat, kolega, dan kerabatnya.

46.811 Transaksi
Laporan keuangan mencurigakan sepanjang 2017.

228 Rekening
Jumlah rekening yang diinvestigasi PPATK atas permintaan aparat penegak hukum.

20 Laporan Hasil Pemeriksaan
Disetor PPATK ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Narkotika Nasional, dan Tentara Nasional Indonesia.

19 Pelaku
Berasal dari beragam latar belakang, dari gubernur sampai kepala rumah sakit.


Mantan Bos BPPN Masuk Bui

KOMISI Pemberantasan Korupsi menahan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung, Kamis pekan lalu. Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia terhadap Bank Dagang Negara Indonesia milik Sjamsul Nursalim pada 2004.

Syafruddin menyanggah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala BPPN. Menurut dia, kebijakan itu sudah sesuai dengan aturan. "Badan Pemeriksa Keuangan juga sudah mengaudit," kata Syafruddin.

Audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan pada Agustus lalu menyebutkan kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 4,58 triliun. Nilai ini lebih tinggi daripada yang diperkirakan KPK sebelumnya, yakni Rp 3,7 triliun. l


Suap Hubla untuk Paspampres

MANTAN Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono menyatakan sebagian duit suap yang dikumpulkannya digunakan untuk membiayai operasi Pasukan Pengamanan Presiden. Duit diberikan kepada Paspampres saat Presiden Joko Widodo meresmikan sejumlah proyek di Kementerian Perhubungan.

"Setiap peresmian oleh Presiden harus dikawal oleh Paspampres, dan kita berkewajiban menyediakan dana operasional," kata Tonny saat bersaksi bagi terdakwa Adi Putra Kurniawan, Komisaris PT Adhiguna Keruktama, pada Senin pekan lalu. Menurut Tonny, duit yang diserahkan kepada Paspampres senilai Rp 100-150 juta.

Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan Detasemen Polisi Militer telah menyelidiki pernyataan Tonny. "Paspampres tidak terlibat," ujarnya. Tapi ia tak menutup kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat.


TNI Batalkan Mutasi Jenderal

PANGLIMA Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto membatalkan mutasi yang diteken panglima sebelumnya, Jenderal Gatot Nurmantyo. Bertanggal 19 Desember 2017, surat keputusan itu menganulir rotasi 16 perwira tinggi dan menengah.

Hadi menjelaskan, pembatalan keputusan Gatot sudah melewati proses evaluasi. Salah satu pertimbangannya, kebutuhan organisasi dan proyeksi tantangan TNI pada masa depan. "Semua berdasarkan sistem merit dan profesionalitas, tak ada istilah like atau dislike," ujar Hadi, Rabu pekan lalu.

Keputusan Hadi membuat 12 jenderal dan 4 kolonel urung menempati posisi baru. Misalnya Letnan Jenderal Edy Rahmayadi dan Mayor Jenderal Bambang Suswantono. Edy semula akan menjabat perwira di Markas Besar TNI karena mengajukan pensiun dini. Dia akan maju dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara. Adapun Bambang batal menjadi Komandan Pendidikan dan Pelatihan. Dia tetap menjadi Komandan Korps Marinir.


Vonis Andi Narogong Mengukuhkan Peran Setya

MAJELIS hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Andi Agustinus alias Andi Narogong delapan tahun penjara. Terdakwa korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) itu juga didenda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Dia juga harus mengembalikan US$ 2,15 juta dan Rp 1,1 miliar, duit yang diterimanya dari proyek tersebut.

Andi terbukti ikut menyebabkan negara rugi Rp 2,3 triliun. Ia pun memperkaya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dengan memberikan duit senilai US$ 7 juta dan arloji merek Richard Mille seharga US$ 135 ribu. "Jam tangan Richard Mille diserahkan kepada Setya Novanto karena telah membantu proses anggaran e-KTP," ujar hakim Emilia Djajasubagja di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis pekan lalu.

Andi juga memperkaya Asmin Aulia, adik bekas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi; bekas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni; ketua panitia pengadaan e-KTP, Drajat Wisnu Setiawan; dan bekas anggota tim teknis pengadaan, Tri Sampurno. Husni Fahmi, Miryam S. Haryani, dan Ade Komarudin juga disebut dalam amar putusan.

Atas vonis itu, Andi tak mengajukan permohonan banding. "Saya terima, Yang Mulia," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus