Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara mengusulkan revisi Undang-Undang Kementerian Negara.
Jumlah kementerian diusulkan bertambah.
Penambahan jumlah kementerian menimbulkan pertanyaan karena bersamaan dengan pembentukan kabinet Prabowo-Gibran.
ASOSIASI Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) mengingatkan presiden dan wakil presiden terpilih ihwal penyusunan komposisi kabinet pemerintahan mendatang. Kelompok pengajar dan ahli hukum ini menilai perlunya mempertimbangkan sejumlah hal dalam formasi kabinet Prabowo-Gibran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal APHTN-HAN Bayu Dwi Anggono menyebutkan beberapa urusan dalam pemerintahan saat ini belum ada nomenklaturnya di kementerian. Apalagi Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur jumlah kementerian. “Kami merekomendasikan penambahan jumlah kementerian antara 34 dan 41,” ujar Bayu saat dihubungi pada Kamis, 2 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asosiasi mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Meski begitu, kata Bayu, pembahasan jumlah kementerian menjadi ranah pembentuk undang-undang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat.
Sejumlah menteri menyaksikan Presiden Joko Widodo melantik Menkopolhukam dan Menteri ATR/BPN di Istana Negara, Jakarta, 21 Februari 2024. TEMPO/Subekti
Bayu menuturkan APHTN-HAN menggelar pengkajian tentang nomenklatur di kementerian saat rapat kerja nasional di Makassar, Sulawesi Selatan, pada April lalu. APHTN-HAN menyepakati kajian dengan topik “Penataan Kabinet Presidensial di Indonesia: Refleksi dan Proyeksi Konstitusional”. Dalam kajian itu, terdapat tujuh poin rekomendasi. Bayu menjelaskan, kajian tersebut disusun Tim Pengkaji APHTN-HAN sebagai tindak lanjut rekomendasi Konferensi Nasional di Batam, Kepulauan Riau, pada September 2023.
Berdasarkan hasil pengkajian di Makassar, APHTN-HAN merekomendasikan revisi Undang-Undang Kementerian Negara. Sebab, urusan pemerintahan yang disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 belum semua diatur dalam Undang-Undang Kementerian. Misalnya urusan pajak dan penerimaan negara, jaminan sosial, perbatasan dan pulau-pulau terluar, pelindungan masyarakat hukum adat, serta pangan.
Bayu menilai belum diaturnya urusan tersebut menyebabkan beberapa urusan di pemerintahan saat ini belum ada nomenklaturnya di kementerian. Dengan begitu, APHTN-HAN mengusulkan revisi undang-undang dan merekomendasikan penambahan jumlah kementerian. Beberapa rekomendasi kementerian baru itu adalah Kementerian Pangan Nasional, Perpajakan dan Penerimaan Negara, Pengelolaan Perbatasan dan Pulau Terluar, serta Kementerian Kebudayaan.
Menurut Bayu, ada tiga alasan pengaturan jumlah kementerian perlu ditinjau ulang. Pertama, jumlah kementerian saat ini belum menggambarkan keseluruhan urusan pemerintahan yang disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pun dengan pembatasan jumlah kementerian yang diatur dalam Undang-Undang Kementerian Negara sudah tidak lagi dapat mengakomodasi kebutuhan fleksibilitas pemerintahan. “Terakhir, penguatan prerogatif presiden dalam membentuk kabinet presidensial seharusnya mengacu pada urusan pemerintahan dalam konstitusi,” kata Bayu.
Jika rekomendasi penambahan formasi kabinet tidak diterima, Bayu menyarankan perubahan beberapa nomenklatur kementerian. Tujuannya adalah mengakomodasi urusan pemerintahan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang saat ini belum tercakup. Urusan tersebut, kata dia, termasuk kementerian koordinator.
Dari sudut pandang konstitusi dan Undang-Undang Kementerian Negara, menurut Bayu, tidak ada kewajiban untuk membentuk kementerian tersebut. Apabila kementerian koordinator tetap dibentuk, kata Bayu, jumlahnya cukup tiga saja, yakni kluster politik hukum dan keamanan, ekonomi dan keuangan, serta pembangunan manusia dan kesejahteraan rakyat.
Menanggapi hal tersebut, pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah menilai rekomendasi pembentukan kementerian baru yang diusulkan APHTN-HAN tidak berdasar dan tak ada urgensinya. Apalagi usulan ini menunjukkan sikap inkonsistensi.
Herdiansyah menegaskan, Konferensi Nasional ke-6 APHTN-HAN di Jakarta mengusulkan dilakukan evaluasi, yaitu membentuk kabinet pemerintahan yang efektif. Salah satu usulannya adalah mengurangi jumlah kementerian, termasuk kementerian koordinator. “Jika usulannya menambah jumlah kementerian, tentunya ini menjadi kontradiktif,” ujar mantan anggota APHTN-HAN itu.
Menurut dia, inkonsistensi sikap APHTN-HAN saat ini dibanding pada 2019 menjadikan usulan penambahan jumlah kementerian dari 34 menjadi 41 sarat akan nuansa politis. Herdiansyah yakin para pengurus APHTN-HAN mengetahui bahwa gemuknya koalisi Prabowo-Gibran membutuhkan banyak pos kursi menteri. “Usul menambah jumlah kementerian, seperti Kementerian Pangan atau Kementerian Perpajakan, sebenarnya hanya menjadi bagian dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Keuangan saat ini,” ujar Herdiansyah.
Pengajar di Fakultas Hukum Univeristas Mulawarman itu mempertanyakan alasan APHTN-HAN mengusulkan penambahan jumlah kementerian. Usulan pembentukan Kementerian Perpajakan yang sebenarnya bagian dari Kementerian Keuangan juga pernah disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto apabila terpilih menjadi presiden 2024-2029. “Pertanyaannya, apakah usulan APHTN ini kebetulan atau tidak. Ini perlu dijelaskan,” ucap Herdiansyah.
Pada Januari lalu, Prabowo memang mengungkapkan keinginannya membentuk Badan Penerimaan Negara yang terpisah dari Kementerian Keuangan. Alasannya, untuk memberikan stimulan terhadap rasio pajak Indonesia yang pada 2022 masih berada di bawah dua negara di Asia Tenggara lainnya, yaitu Thailand dan Vietnam. Rasio pajak di Indonesia pada 2022 berada pada level 10,39 persen. Rasio ini tertinggal dari Thailand dan Vietnam di level 16 dan 18 persen. Alasan lainnya, Prabowo ingin kerja Menteri Keuangan menjadi lebih efisien.
Sejumlah menteri mengikuti rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 5 Oktober 2023. BPMI Setpres/Lukas
Dihubungi secara terpisah, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, mengatakan usulan penambahan jumlah kementerian dan penetapan posisi kementerian koordinator menjadi tiga kluster tidak memiliki kekuatan untuk diwujudkan. Menurut dia, usulan untuk menambah jumlah kementerian dengan merujuk pada nomenklatur mesti dilakukan secara empiris, bukan melihat dari tekstual saja. “Jika harus dilakukan penataan dengan menambah jumlah kementerian, semestinya kajian APHTN-HAN juga melihat dari segi permasalahan riil yang dihadapi kementerian saat ini,” kata Yance.
Yance mengatakan usulan penambahan jumlah kementerian menjadi sarat akan nuansa politis karena mencuat pada masa-masa perumusan kabinet pemerintahan baru, yaitu kabinet Prabowo-Gibran. Apalagi secara bentuk, kabinet Prabowo-Gibran berasal dari embrio koalisi gemuk yang berisi banyak partai politik. Masalahnya, dengan banyaknya partai politik yang mendukung, akan makin banyak pula kursi pos di pemerintahan yang diperlukan. “Tidak aneh jika ini nantinya dipandang berkelindan dengan kepentingan penguasa,” ucap Yance.
Narasumber dari kubu Prabowo-Gibran bercerita, banyaknya partai politik di koalisi menjadikan kebutuhan kursi kabinet di pemerintahan kabinet Prabowo makin banyak. Karena itu, Prabowo-Gibran bermaksud menambah jumlah kementerian atau meleburnya guna menambah jumlah kursi bagi partai pendukung. “Direncanakan adanya penambahan 6-7 kementerian atau lembaga untuk mengakomodasi pemerintahan baru,” ujar sumber itu.
Direktur Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Viva Yoga Mauladi tidak menjawab tegas ihwal rencana penambahan atau peleburan kementerian. “Itu hak prerogatif presiden terpilih,” kata Viva.
Adapun Bayu Dwi Anggoro membantah jika usulan APHTN-HAN dikatakan berkelindan dengan penyusunan kabinet Prabowo saat ini. Dia menegaskan, usulan tersebut merupakan refleksi atas kondisi pembentukan kabinet presidensial selama ini sekaligus rekomendasi bagi proyeksi pemerintahan di kemudian hari. “Usulan ini dibuat pada September 2023 sebelum penetapan calon presiden dan wakil presiden. Tidak ada kaitannya,” ujar Bayu. Usulan ini, kata dia, tidak bersifat final sehingga masih memerlukan pengkajian yang komprehensif.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo