GUNUNG Kidul, yang tandus dan terkenal sulit air itu, sebenarnya mulai makmur. Namun, ternyata, di kabupaten yang berpenduduk hampir 700.000 jiwa itu banyak kasus mati bunuh diri. Selama Agustus-Desember 1983 saja, polisi mencatat ada 30 orang yang meninggal dengan cara itu. Hampir semua, 29 orang, mati menggantung diri. "Hanya seorang yang mati karena minum Baygon," ujar dr. Soejono Prawirohardjo. Soejono, ketua Bagian Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran UGM, mulanya mendengar berita buruk itu dari seorang teman. Dia penasaran untuk meneliti kebenarannya. "Penelitian ini bertujuan untuk mencari pola bunuh diri di Gunung Kidul sebagai bahan perbandingan dengan pola bunuh diri di luar negeri," katanya. Kebetulan, kata Soejono lebih lanjut, Juli nanti akan ada kongres nasional neurologi di Medan. "Di sana hasil penelitian ini akan dilemparkan," kata Soeiono. Berlangsung sebulan, sampai pertengahan Januari lalu, penelitian yang dilakukan dengan biaya dari kantung sendiri itu memang menemukan hal-hal yang aneh. Misalnya, meski pendapatan per kapita di Gunung Kidul hanya Rp 182.000 setahun, "umumnya penduduk bunuh diri bukan karena tekanan ekonomi," kata Soejono. Menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaknl mewawancarai keluarga dan tetangga korban, tim peneliti hanya menemukan dua orang yang putus asa akibat kesulitan ekonomi. Keduanya berpenghasilan sekitar Rp 5.000 sebulan. Lainnya, tiga orang, karena mengalami frustrasi menanggung penyakit menahun, seperti encok. Ada enam orang yang tergolong mengidap penyakit jiwa. Sembilan orang putus asa karena hal-hal "biasa", misalnya keretakan rumah tangga. Dan sisanya? "Terus terang, sebanyak sepuluh orang tak diketahui mengapa mereka begitu gampang bunuh diri," kata Soejono. Pujo alias Tumbul dan istri, misalnya. Sepasang pengantin muda ini, yang berumur 25 dan 16 tahun, pagi itu pergi berbelanja. Seperti layaknya pengantim muda, mereka pun tampak rukun dan mesra. Setelah membeli barang-barang belanjaan, mereka pulang melewati tegalan. Entah setan mana yang melintas, tapi, yang jelas, penduduk kemudian menemukan tubuh mereka tergantung di sebatang pohon. Beberapa meter di bawah kaki mereka, tergeletak barang-barang belanjaan yang baru dibeli di pasar. "Itulah salah satu kasus bunuh diri yang aneh di Gunung Kidul," cerita dr. Soejono. Ditilik dari segi ekonomi, Pujo tergolong pedagang yang berpenghasilan baik di Gunung Kidul. Rumahnya berdinding kayu, berlantai batu, bertiang kayu jati, dan atapnya bukan pula alang-alang melainkan genting. Korban bukan pula peminum atau penjudi. Bahkan, di Pedukuhan Jambe itu, Pujo dikenal tetangganya sebagai orang yang gemar bergaul. Wawancara dengan keluarga juga menunjukkan, "korban tidak pernah sakit jiwa," ujar Soejono lagi. Lain halnya dengan Adi Waluyo, 33, yang juga mati menggantung diri. Pemain ketoprak ini, menurut hasil penelltian, bunuh diri karena dikejar-kejar ketakutan. "la tergolong enam orang yang psikosis," kata Soejono. Berpendidikan paling tinggi di antara para korban, sampai kelas II SMP, Adi Waluyo bekerja sebagai calo bis di terminal Wonosari. Banyak orang mengenalnya di terminal itu sebagai gali. Rupanya, operasi menumpas kejahatan telah membuat ia cemas. Sedangkan Arjo Wajiyo, korban lain, malam 17 November 1983, masih mendongengi keempat anaknya yang duduk di SD. "Itu memang kebiasaan suami saya," kata Sanem. Tapi, setelah anak dan istrinya terlelap, Arjo rupanya menyelinap ke luar rumah. Dan pagi-pagi buta, seorang tetangganya melihat bayangan hitam tergantung di pohon mangga. Ternyata, itulah tubuh Arjo dengan leher terjerat iket (kain penutup kepala) yang disambung dengan seutas tali. Arjo memang pernah mengatakan pada istrinya bahwa ia ingin cepat-cepat mati "Kalau sakit tulangnya sedang kumat," ujar Sanem, "ia memang sering bilang, lebih baik mati tinimbang menahan sakit." Tapi pada malam menjelang kematian Arjo, tetangga melihat "pulung gantung" yang melesat sekitar 30 meter sebelah timur rumah Arjo. Penduduk Gunung Kidul percaya, "pulung" itu adalah pertanda akan ada yang mati karena gantung diri. "Pulung itu, kata tetangga, jatuh di halaman belakang rumah saya," kata Sanem. "Suami saya rupanya sudah ditakdirkan mati seperti itu," kata Sanem dengan ikhlas. Jenazah suamimya memang tampak seperti layaknya mati wajar. Matanya tak melotot, melainkan terpejam. Lidahnya pun tak menjulur, tak menampakkan tarikan napas tercekik. Tanda-tanda seperti inilah yang diyakini penduduk sebagai mati karena "pulung gantung" "Pulung gantung" adalah sinar yang melesat di angkasa pada malam hari. Berwarna hijau kemerah-merahan, dan berbentuk seperti gayung. "Ketiban pulung", berarti nyawa yang terkena akan dicabut oleh dewa. "Pulung itu memang ada," ujar Marto, seorang kepala dukuh. Setelah bertahun-tahun menyaksikan, "saya yakin betul, pulung itu memang isyarat bagi kematian seseorang," katanya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keluarga yang ditinggal, serta para tetangga, meyakini adanya "pulung" itu. "Bagi mereka, pulung itu bukan takhayul," ujar Soejono. Persoalannya ialah apa hubungan "pulung" itu dengan mati gantung diri. "Inilah yang belum dapat dijawab penelitian kami," kata Soejono. Padahal, penelitian itu semula bertujuan mencari pola bunuh diri di Gunung Kidul. Mengapa 30 orang korban, dengan umur paling muda 16 dan paling tua 80 dan kebanyakan (19 orang) lelaki itu, begitu mudahnya menggantung diri. Di Jepang, orang bunuh diri erat kaitannya dengan kehormatan seseorang. Di Amerika Serikat dan Hong Kong - yang kehidupannya amat keras, dengan lingkungan sosial yang "sempit" - orang mudah mengalami frustrasi. "Frustrasi yang amat menekan akan berkembang ke tahap fantasi dan disusul agresi. Dan ketemu alternatif, yaitu mati," kata Soejono lagi. Kesimpulan sementara, bunuh diri di Gunung Kidul berbeda dengan bunuh diri di luar negeri. Kenyataan ini membuat Soejono semakin penasaran untuk mengetahui lebih jauh pola bunuh diri orang Indonesia. Penelitian di Gunung Kidul ini, kata Soejono, "kami anggap baru sampai tahap pendahuluan." Penelitian selanjutnya akan mengarah pada latar belakang kebudayaan serta mitos yang berakar kuat di masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini