IA berkunjung ke sini selama enam hari. Tapi dalam waktu kurang dari sepekan itu ia telah "menaklukkan" jutaan oran. Lihat saja betapa terpesonanya ratusan ribu orang yang dengantertib, di Jakarta, Yogyakarta, Dili, Maumere, dan Medan, menyambutnya atau mengikuti misa yang dipimpinnya. Atau simaklah ucapan Frans Seda, bekas menteri keuangan yang menjadi Ketua Panitia Pelaksana Panitia Penyambutan Sri Paus, "Kini kami telah melihat wajahmu, Bapa Suci, dan kami mencintaimu." Memang, ratusan ribu orang telah bisa melihat langsung wajah Sri Paus Yohanes Paulus II, yang kunjungannya ke Indonesia berakhir Sabtu pekan lalu. Kenangan mereka mungkin akan bertahan lama. Bahkan, bagi sejumlah umat Katolik yang beruntung menerima berkat dari Paus, inilah kenangan yang mungkin akan terbawa hingga akhir hayat. Bagaimana tidak. Kesempatan mendapat kunjungan pemimpin utama umat Katolik ini boleh dikata langka. Sebab, di Indonesia penganut agama Katolik tak sampai 3% dari jumlah penduduk. Karena itu, tentu tak termasuk dalam prioritas kunjungan seorang Sri Paus. Satu-satunya paus yang sebelumnya pernah mengunjungi Indonesia adalah Paulus VI, 1970. Sampai-sampai menurut Sri Paus Yohanes Paulus II sendiri, ia pernah menerima surat dari Indonesia, berisi keluhan mengapa ia tidak pernah "mampir" ke Indonesia, meski sering mengadakan lawatan ke mana-mana, termasuk terbang di atas Indonesia. Toh akhirnya kunjungan itu terjadi juga. Bagi Yohanes Paulus II, Indonesia adalah negara ke-59 yang dikunjunginya secara resmi sejak ia diangkat menjadi Bapa Suci, II tahun silam. Buat Indonesia sendiri lawatan ini sangat penting, bukan cuma buat warga Katolik scndiri. Tapi karena dalam rangkaian kunjungan ini Paus juga mengunjungi Dili Meski sejak jauh hari berkali-kali ditegaskan bahwa hal itu merupakan kunjungan pastoral (keagamaan) sebagai seorang gembala yang mengunjungi umatnya (karena Paus hingga kini secara resmi adalah Uskup Dili) kunjungan ke Dili selama empat jam itu tentu saja punya dampak politis yang menguntungkan posisi Indonesia di dunia internasional. Soalnya belum semua negara -- termasuk Vatikan -- mengakui integrasi Tim-Tim menjadi provinsi ke-27 RI. Secara tidak langsung ucapan Gubernur Timor Timur Mario Viegas Carrascalao menyiratkan kepuasan atas "keberhasilan" itu. "Selama 450 tahun dijajah Portugis tak sekali pun Tim-Tim dikunjungi Paus" kata Carrascalao. "Baru 13 tahun Tim-Tim berintegrasi dengan Indonesia Paus sudah datang" tambahnya. Betapapun, Paus Yohanes Paulus II memang sangat memesonakan. Bukan cuma karena senyum, tatapan mata, keramahtamahannya, ataupun pidatonya yang diselingi bahasa Indonesia. Sebelum ia datang ke sini pun, banyak orang yang telah terpukau oleh cerita-cerita tentang riwayat hidupnya, kesederhanaannya, sikap informalnya, serta sikap dan ucapannya yang inkonvensional. Wajarlah kalau misa yang diadakan Paus di lima tempat di Indonesia selalu meriah. Di Jakarta, kurang lebih 120 ribu umat hadir di Senayan. Di Yogyakarta, sekitar 160 ribu penganut agama Katolik memenuhi Lapangan Dirgantara. Sedangkan di Maumere, lebih dari 100 ribu orang memadati lapangan sepak bola Samador. Misa terakhir Paus di Indonesia dilakukan di Medan, Jumat pekan lalu. Di lapangan pacuan kuda Tuntungan, di perbatasan Medan dan Deli Serdang, sekitar 100 ribu umat menghadiri misa agung itu. Nyanyian gereja yang syahdu dan upacara keagamaan yang khidmat membuat rasa haru para peserta yang datang dari berbagai pelosok Indonesia Barat itu. Panas terik pun tak dihiraukan, kendati beberapa orang pingsan dan terpaksa digotong ke tempat perawatan yang sudah disiapkan panitia. Di Dili, sambutan terhadap Sri Paus diwarnai dengan keributan kecil. Itulah sewaktu sekitar 20 pelajar maju menyerbu ke arah podium Sri Paus di saat-saat akhir upacara, menjelang pukul 14.00 WIT, Kamis pekan lalu. Tentu saja para petugas keamanan segera mencegah mereka dengan merapatkan barisan. Tapi, sambil merentangkan poster berbunyi "Viva Santo Pedro" dan meneriakkan yel-yel serupa, mereka terus merangsek maju. Akibatnya, keributan pun terjadi selama beberapa menit. Sri Paus sendiri sempat tercengang beberapa saat sebelum meneruskan doa akhir. Keributan yang terjadi sempat juga membingungkan massa yang bergerak mendekat untuk melihat. Terutama karena para wartawan segera menyerbu untuk mengabadikannya. Baru ketika beberapa kursi lipat terlihat dilemparkan ke atas massa berbalik arah menjauhi keributan. Yang mengagumkan, kor gereja selama itu terus saja bernyanyi, tak tergoyahkan oleh kegaduhan itu. Dan para pramuka gereja yang berkemeja biru dan bercelana cokelat tampak trengginas mengarahkan massa dengan menyilangkan tongkat rotan mereka dan membentuk barisan. Suasana pun kembali normal. Gubernur Carrascalao menduga, dua puluhan pemuda itu adalah simpatisan Fretilin atau, "non-Fretilin yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi mereka" katanya kepada para wartawan. Kabarnya, mereka berasal dari STM Fatumaka, kawasan Vinilale di bagian timur Tim-Tim, yang relatif dianggap banyak simpatisan Fretilinnya. Ulah segelintir pemuda itu ternyata tak merusakkan suasana. Sri Paus pun tampaknya tak terpengaruh. Ia bahkan mendekati massa dan menyalami mereka sambil berjalan menuju mobil Mercedes hitam yang membawanya ke bandar udara Komoro. Dengan senyum lebar ia melambaikan tangannya kepada umat. Tak setitik pun kekhawatiran tersirat di wajahnya yang arif itu. Agaknya, Sri Paus cukup yakin bahwa umat akan mengikuti anjuran yang disampaikannya dalam khotbah. Yakni anjuran agar umat melupakan masa silam yang kelam dan melakukan rujuk. "Kalian telah mengalami kehancuran dan kematian akibat konflik," kata Sri Paus dalam bahasa Inggris, yang langsung diterjemahkan ke bahasa Tetum. "Banyak orang tak bersalah telah tewas, dan lainnya menjadi korban pembalasan serta dendam," tuturnya lagi. Dan sudah terlalu lama situasi tak stabil berjalan. "Situasi depresif ini menyebabkan kesulitan ekonomi yang, kendati diupayakan untuk mengatasinya, tetap ada", katanya. Maka, Paus pun mengatakan, "Tanah kalian sangat memerlukan penyembuhan Kristiani dan rekonsiliasi." Oleh karena itu, ia menganjurkan umat agar menjadi masyarakat yang rujuk. Kendati diakuinya, "Tidaklah selalu mudah untuk menemukan keberanian dan kesabaran yang diperlukan bagi rekonsiliasi." Sri Paus, yang mendapat belasan kali tepuk tangan dalam khotbahnya itu, mengingatkan umat tentang keyakinan iman Katolik bahwa, "kasih akan mampu menembus semua batas, antarnegara, masyarakat, ataupun budaya." Dan pemimpin Vatikan yang mengenakan jubah putih berkombinasi hijau ini lantas mengutip sabda Yesus, "Maafkanlah, dan engkau akan dimaafkan." Maka, umat pun seolah teringat kembali akan maaf yang diberikan Sri Paus kepada penembaknya di Vatikan, enam tahun silam. Tanpa menyebut nama suatu pihak, pemimpin tertinggi umat Katolik ini menyatakan, "Saya berdoa agar mereka yang bertanggung jawab terhadap kehidupan di Timor Timur akan bertindak arif dan bersahabat pada semua pihak, dalam upaya mereka mencari penyelesaian terhadap kesulitan yang ada sekarang." Ia lalu mengimbau agar secepatnya dicari penyempurnaan kondisi, "yang membentuk kehidupan sosial yang harmonis, yang sesuai dengan tradisi dan kebutuhan kalian." Soal tradisi atau kebudayaan dan kaitannya dengan Iman memang menadi tema umum khotbah Paus di Indonesia. Pada intinya, Sri Paus berpendapat bahwa budaya tradisional justru akan memperkaya khazanah Gereja Katolik. Itulah sebabnya, panitia lokal selalu menyambut kedatangannya dengan atraksi tarian khas daerah. Karena itu, wajarlah kalau laporan bahwa pembangunan di Timor Timur menyebabkan terjadinya erosi budaya tradisional setempat sempat menggundahkan sang Bapa Suci, sebelum berkunjung ke Indonesia. Belum jelas benar apakah kegundahan itu masih ada ketika Paus meninggalkan Indonesia, Sabtu pagi lalu. Namun, Paus tampaknya cukup terkesan dengan kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal itu, menurut Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, terungkap dari pidato perpisahan yang disampaikan kepada Presiden Soeharto di Istana Negara, Jumat malam pekan lalu. Yakni ketika Paus mengatakan bahwa ideologi negara Indonesia, Pancasila, sangat berperan dalam menghasilkan kehidupan beragama yang harmonis dan dalam pembangunan nasionalnya. Dialog tentang kerukunan beragama memang sempat dilakukan Sri Paus dengan para pimpinan agama di Indonesia. Selain mereka, pertemuan yang berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah, Selasa petang pekan lalu, juga dihadiri oleh anggota MPR, DPR, dlan DPA serta pejabat tinggi pemerintah. Termasuk di antaranya Menteri Koordinator Kesejahteraln Rakyat Soepardjo Rustam, Menteri P & K Fuad Hassan, dan Menteri Agama Munawir Sjadzali. Dalam pidato pembukaannya, Menteri, Munawir menjelaskan, kendati sejarah menunjukkan bahwa perbedaan agama dapat meletupkan ketegangan dan perang, keragaman agama di Indonesia tak pernah menjadi sumber konflik. "Memang benar bahwa Islam merupakan mayoritas di negara ini, tetapi kami tak mengenal istilah mayoritas dan minoritas," kata Munawir. Sementara itu, Sekjen Majelis Ulama Indonesia H. Sudjono mengatakan, kerukunan antarumat beragama sudah hadir di Indonesia sebelum penjajah Eropa datang ratusan tahun lalu. Adalah penjajah lropa ini, menurut H. Sudjono, yang merebakkan konflik di antara rakyat Indonesia dengan menggunakan isu perbedaan agama. Hanya setelah melalui perjuangan yang panjang dan berat, rakyat Indonesia berhasil merebut kemerdekaan, melahirkan UUD 45, yang menyebabkan semua agama di Indonesia dapat berkembang. Para wakil dari agama Protestan, Hindu, Budha, dan Katolik pada intinya menyatakan, kendati jumlah mereka relatif kecil sekali di Indonesia, pengembangan keyakinan agama masing-masing dapat berjalan lancar. Paus, yang tampak duduk terpekur mendengarkan ucapan para wakil umat beragama di Indonesia itu, kemudian berdiri dan berbicara. Dengan suara baritonnya yang berwibawa ia menganjurkan agar, "umat Katolik Indonesia, yang hidup di tengah budaya yang beragam ini, memperlakukan umat lainnya dengan semangat persaudaraan melalui dialog." Semangat persaudaraan itu memang dilihat Paus dalam kunjungan enam harinya konon kunjungan resmi terlama -- di Indonesia. Podium tempat ia memimpir misa di Dili, misalnya, dibuat di bawah pimpinan proyek yang beragama Islam Juga di Medan, beberapa tamu VIP seperti Gubernur Radja Inal Siregar meninggalkan kursinya untuk sembahyang Jumat di tengah misa, lalu kembali lagi sesudah usai salat. Selain kerukunan umat beragama, Sri Paus juga sangat memperhatikan proses inkulturisasi agama di Indonesia. Dalam berbagai acara, Bapa Suci umat Katolik ini acap kali meluangkan waktu memperhatikan atraksi tarian tradisional secara saksama. Perhatian ini bukanlah mengada-ada Terbukti Sri Paus, yang menerima ulos pada acara misa di Medan, sempat mempesonakan umat dengan mengucapkan salam khas Sumatera Utara di akhir khotbahnya "Horas, Mejuah-juah, Jahowu," ujarnya disambut tepuk tangan yang meriah. Kemeriahan itu agaknya mampu menyingkap mendung kekhawatiran yang sempat melingkupi kehadiran Paus di Indonesia. Terutama menyangkut masalah Timor Timur, yang integrasinya ke Indonesia belum diakui Vatikan. Namun, khotbah Sri Paus di Dili yang berintikan anjuran rekonsiliasi, dan kenyataan bahwa ia tak mencium tanah di bandar udara Komoro, memang melegakan banyak pihak di Indonesia. "Saya sempat tak bisa tidur memikirkannya," kata seorang pejaba tinggi. Sebab, adalah kebiasaan Sri Paus untuk mencium tanah begitu tiba di sebuah negeri asing. Namun, menurut ketua pelaksana panitia penyambutan Sri Paus, Frans Seda, hal ini sudah diduga sebelumnya. Soalnya, Bapa Suci acap kali menyatakan gereja tak boleh terlibat dalam politik. "Soal politik, serahkan kepada politikus, jangan turut," kata Frans Seda, menirukan ucapan Paus. Apalagi kunjungan ke Dili ternyata rela tif berjalan lancar. Tak ada keributan berarti, dan tak tampak militer bersenjata lengkap menjaga keamanan. Semua ini tampaknya membuat Sri Paus sangat terkesan dengan perjalanan 8.500 km-nya di Indonesia: "Lawatan ini akan lama sekali terkenang," katanya, dalam acara pertemuan dengan para uskup dan panitia penyambutan KWI di Kedutaan Vatikan. Jumat malam pekan lalu. Jutaan umat Katolik Indonesia agaknya mempunyai kesan yang serupa. Diah Purnomowati (Dili), Liston P. Siregar (Maumere), Bambang Harymurti dan Sri Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini