SEMENTARA sidang peristiwa Lampung hingga kini masih terus berlangsung, menyusul kasus Bima naik gedung pengadilan. Empat tokoh gerakan itu -- H.A. Ghany Masykur, 64 tahun M. Nur Husen, 65 tahun Ahmad Husen, 52 tahun dan Zainal Arifin, 30-an tahun -- Rabu dan Kamis pekan ini mulai diadili di Pengadilan Negeri Raba, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Rabu pekan lalu, keempat terdakwa itu menerima celana hitam, kemeja lengan panjang putih, sepatu hitam, dan peci hitam, dari jaksa. Tampaknya, seperti para terdakwa di Lampung, mereka ini akan -- berbaju seragam saat maju ke depan meja hijau. Keempat terdakwa itu dituduh jaksa melakukan serangkaian perbuatan yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia seperti yang pernah dicitacitakan oleh tokoh DI/TII Kartosuwirjo. "Mereka merencanakan mengganti ideologi Pancasila dengan Islam," kata Kepala Kejaksaan Tinggi NTB D. Soedikto kepada TEMPO, pekan lalu. Perbuatan itu, bila terbukti, melanggar UU nomor 11/PNPS/1963, yang dikenal sebagai undang-undang anti-subversi, dengan ancaman hukuman mati. Selain keempat terdakwa itu, menurut Soedikto, masih ada 22 calon terdakwa yang kini sedang diproses kejaksaan. Sebuah sumber TEMPO di Bima mengungkapkan, setelah mereka, menyusul akan diadili pula beberapa orang yang dari Jakarta. Antara lain Anwar bin Muhammad, 41 tahun, tamatan IKIP Muhammadiyah Jakarta, guru sebuah SMA swasta di Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat. Lalu juga Zainal A. Rahman, 41 tahun, serta Kusjaya Firman alias Markus, 30 tahun. "Gerakan itu muncul di sini setelah kedatangan orang-orang Jakarta itu," kata Soedikto. Menurut sumber TEMPO tadi, kisah dimulai, Juni 1988, ketika di Bima diadakan berbagai ceramah agama secara terbuka. Penceramahnya, antara lain, Anwar. Ia sebenarnya kelahiran Bima, dan tak lain dari adik ipar H. Ghany Masykur, Ketua I merangkap Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Bima. Tak aneh kalau peserta ceramah yang berdatangan dari pelosok selatan dan barat kabupaten yang kering ini kebanyakan adalah anggota Muhammadiyah. Ceramah yang diberikan Anwar dan kawan-kawannya cukup keras menghantam Pemerintah. Ceramah terbuka itu dilanjutkan dengan ceramah tertutup di rumah Ghany Masykur di Bima dan di rumah Mansyur (guru PMP SMA Negeri Bima), kakak kandung Anwar, yang terletak di Sondosia, Kecamatan Belo, di selatan Bima. Pada November 1988, Anwar bersama Taufik Hidayat dan Kusjaya Firman datang kembali ke Bima, dan membaiat belasan orang Bima untuk menjadi jamaah NII (Negara Islam Indonesia). Yang terpenting dalam baiat itu, mereka berjanji untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Untuk itu, mereka berencana mendirikan organisasi yang berbasis di desa-desa, dengan dikoordinasikan oleh H.A. Ghany Masykur, dibantu Nur Husen, pensiunan Kepala Kantor Departemen P dan K Bima, yang pernah beberapa kali menj adi anggota DPRD Kabupaten Bima dan DPRD Provinsi NTB, mewakili Golkar. Ghany Masykur juga dibantu Ahmad Husen, penilik kebudayaan di Kantor P dan K Kecamatan Belo, adik kandung Nur Husen, dan Maman HS, eks anggota DPRD Bima dari F-PP, serta Zainal Arifin alias To'o. Nama yang disebut terakhir adalah sarjana IAIN yang sejak pertengahan 1988 mengasingkan diri di Dusun Tangga Baru, Desa Sondo, Kecamatan Monta, terpaut 70 km dari Bima. Bersama istri dan seorang anak yang masih keci}, To'o membuka tambak bandeng seluas dua hektare, di sebuah tempat terpencil yang cuma bisa dilalui dengan berjalan kaki, dua kilometer dari pusat desa. Kepada Kepala Desa Sondo, To'o pernah mengaku tak mau jadi pegawai negeri karena takut digaji dengan uang SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) yang haram, karena itu ia berusaha sendiri di tempat terpencil itu. "Ia ingin hidup seperti Imam Ghazali," kata Syamsuddin Ibrahim, kepala desa itu. Ghazali adalah seorang sufi Islam terkemuka. Bersama Zainal A. Rahman, temannya yang datang dari Tanjungpriok, Jakarta, di desa-desa di sana To'o sering mengadakan ceramah keras mengharamkan KB, dan menghantam Pancasila sebagai buatan manusia yang harus diganti dengan Quran dan hadis. Mereka berpendapat bahwa sekarang sudah saatnya berjihad untuk menegakkan kebenaran, karena itu di Tangga Baru akan mereka dirikan pesantren, sebagai tempat hijrah, meniru hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, dulu. Ternyata, menurut sumber TEMPO, sebelum berdiam di daerah terpencil itu, To'o yang kelahiran Bima itu pernah menetap di Jakarta, dan sempat menjadi anak buah Nur Hidayat, bekas pegawai Bea Cukai dan karateka nasional yang kemudian menjadi tokoh sebuah kelompok ekstrem di Jakarta. Bersama sejumlah temannya, Nur kini ditahan di Jakarta. Paman To'o, Fattah Qosim, juga kini ditahan bersama Nur Hidayat. Atas bantuan To'o pula. akhir Januari lalu, Fau zie, utusan Nur Hidaya ke Bima, bertemu de ngan Ghany Masykw dan Ahmad Husen. Agaknya, semua kisah ini akan lebih jelas nanti di depan pengadilan. Memang sampai kasus ini dibongkar aparat keamanan, dan sejumlah pengikutnya ditangkap, di sini belum ditemukan panah atau bom molotov seperti di Lampung. "Tapi di Lampung semua pelakunya mengaku terus terang, sedang di sini mereka mungkin menyangkal. Lha, ini berat," kata Purnomo, Ketua Pengadilan Negeri Raba, kepada TEMPO. Sementara itu, dari enam tertuduh perkara Lampung yang telah disidangkan Pengadilan Negeri Telukbetung di Tan jungkarang, lima dituntut dengan hukuman penjara seumur hidup pekan lalu. Yang seorang lagi, Fadillah, dituntut hukuman mati. Mulai Senin, pekan ini, delapar terdakwa lainnya diadili di Tanjungkarang. Sedang di Jakarta, Nur Hidayat, dari enam temannya, menurut keterangan Kepala Humas Kejaksaan Agung Suprijadi pekan lalu, dalam waktu dekat akan segera diadili. Amran Nasution, Supriano K, Effendy Saat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini