ALAMAT ini sangat terkenal. Jalan Irian Nomor 7, Menteng, Jakarta Pusat. Di rumah inilah Presiden Wahid kerap menerima sejumlah tamu penting. Salah satunya, ketika pada akhir April lalu ia bertemu Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Amien Rais.
Sabtu pekan lalu, kembali ada sebuah pemandangan menarik di sana. Sejumlah mobil—beberapa di antaranya jenis mewah—masuk satu per satu. Siang itu, rumah milik teman Haji Masnuh, pengusaha dan Wakil Bendahara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), tengah kedatangan banyak tamu. Beberapa di antaranya warga keturunan Tionghoa. Salah satunya seorang lelaki tegap berambut cepak. Di mobilnya, sebuah Opel Blazer, tergantung safari warna biru tua disemat pin pasukan pengamanan presiden. Rupanya sedang ada pertemuan penting.
Tapi, yang paling menarik perhatian adalah sosok sebuah Panther biru berpelat nomor B 1527 RI yang diparkir di pelataran depan. Panther yang sama pernah dilihat TEMPO di kediaman aktor utama skandal Bulog, Suwondo, di Kelapagading. Ketika itu, mobil ini dikendarai Mayor (Angkatan Laut) Wawan. Tak lain, ia adalah adik Teti Sunarti, istri Suwondo.
Kehadiran Wawan di rumah yang kerap didatangi Presiden Wahid itu jelas mengundang tanda tanya besar. Apalagi jika dikaitkan dengan status kakak iparnya, Suwondo, yang kini masuk daftar pencarian orang di kepolisian, setelah membobol dana Yayasan Dana Sejahtera (Yanatera) Bulog senilai Rp 35 miliar.
Soalnya, Mayor Wawan jelas merupakan salah satu tokoh kunci untuk menangkap Suwondo. Sangat boleh jadi dia adalah satu dari sedikit orang yang tahu di mana kakak iparnya itu kini berada. Hal itu telah ditunjukkannya ketika mengantarkan surat pernyataan dari Suwondo perihal kesanggupannya mengembalikan dana, pada 24 Mei kemarin. Menurut seorang staf Bulog yang dekat dengan Sapuan, surat itu didraf oleh pihak Yanatera. Draf itu lalu diambil Wawan, diberikannya ke Suwondo di suatu tempat untuk diteken, lalu diantarnya kembali ke kantor Bulog.
Lalu, kenapa Suwondo belum juga bisa ditangkap aparat? Kenapa polisi, melalui Panglima TNI, misalnya, tidak memerintahkan Mayor Wawan untuk menunjukkan lubang persembunyian Suwondo? Atau, jangan-jangan buronan nomor satu itu memang tengah rapat-rapat disembunyikan.
Sederet pertanyaan itu dijawab Sapuan. "Untuk apa kaujebloskan aku di balik teralis besi. Supaya Suwondo sembunyi sehingga bersih dari aroma kolusi," begitu petikan puisi berjudul "Gus Dur, Gus Dur", yang ditulis Sapuan di selnya. Puisi bernada sindiran itu dibacakan usai ia bersaksi di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, Jumat kemarin.
Yang gawat, keterangan Sapuan di depan para wakil rakyat itu lalu menyeret-nyeret sejumlah nama di lingkaran Istana. "Kuncinya di Presiden," kata mantan Wakil Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) itu.
Sapuan, seperti banyak yang lainnya, layak curiga. Penyidikan skandal ini terkesan jalan di tempat. Aparat seperti kehilangan akal menemukan Suwondo. Jangankan ditangkap, aktor utama skandal Bulog ini bahkan belum dikenai status tersangka. Sejauh ini polisi baru mengenakan status tersangka bagi Sapuan dan Ketua I Yanatera, Mulyono, yang ikut meneken cek.
Hingga pekan lalu, keempat penerima kucuran dana juga belum bisa dihadirkan untuk dimintai keterangan. Jumat kemarin, saat mesti diperiksa, Wakil Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan PDI Perjuangan, Suko Sudarso, mengajukan surat keterangan sakit dari dokter. Leo Purnomo, Teti Sunarti (istri Suwondo), dan Siti Farikha bahkan seperti lenyap ditelan bumi.
Sementara itu, makin lama keterkaitan para penerima dana jarahan dengan Istana justru semakin terang-benderang. Penelusuran TEMPO menunjukkan bahwa Siti Farikha ternyata punya hubungan yang amat dekat dengan Presiden Wahid (lihat boks).
Hubungan Leo Purnomo alias Kie Hau—penerima kucuran dana senilai Rp 5 miliar—dengan maskapai penerbangan Awair, yang sempat dibidani Abdurrahman Wahid, juga makin dikukuhkan. Kepada TEMPO, seorang resepsionis di kantor Awair menyatakan kerap kali melihat Leo di Graha Aktiva Kuningan, Jakarta—kantor pusat maskapai itu. "Cuma, sekarang Pak Leo jarang kelihatan," katanya. Seorang kalangan dekat Istana juga memastikan bahwa Leo adalah tangan kanan Suwondo. Beberapa kali ia melihat Leo datang ke Istana, diajak Suwondo.
Meski semula membantah, Menteri Luar Negeri Alwi Shihab pun akhirnya mengaku telah mengontak Kepala Bulog saat itu, Jusuf Kalla, soal pencairan dana. "Betul saya menelepon beliau (Jusuf Kalla)," kata Alwi. Tapi, menurut dia, itu dilakukan hanya untuk mengonfirmasi desas-desus yang telah berembus di seputar soal itu. Alwi menegaskan dirinya sama sekali tak terlibat. "Saya ini ibarat kertas putih tanpa noda," katanya bertamsil.
Tapi, seorang kalangan dekat Jusuf Kalla bersikukuh dengan versi semula. Menurut dia, pada 3 April lalu, Alwi mengontak Kalla untuk mengecek berapa jumlah dana Yanatera yang telah dikucurkan. Dan baru pada saat dikontak Alwi itulah Kalla mengetahui adanya sejumlah dana yayasan yang keluar. Sebelumnya, Kalla cuma tahu adanya permintaan Sapuan untuk menarik duit dari pos dana taktis Bulog.
Makin hari skandal itu makin melesat kencang ke arah Istana. Kini, banyak kalangan mendesak parlemen dan polisi agar langsung meminta keterangan Presiden Wahid. Pakar politik dari Universitas Gadjah Mada, Cornelis Lay, bahkan mewanti-wanti. Jika hingga sidang tahunan Agustus mendatang skandal ini tak kunjung dituntaskan dan Abdurrahman Wahid tak berhasil membuktikan ia "bersih diri", kursi kepresidenannya bukan mustahil bisa terjungkal. Ia bisa dibidik melanggar ketetapan MPR tentang penegakan pemerintahan yang bersih korupsi-kolusi-nepotisme. Dan setelah itu, pintu Senayan akan terbuka lebar-lebar untuk menggelar sidang istimewa.
Sekarang saja, kasus ini telah merontokkan sebuah pilar utama di kabinetnya. Senin malam pekan kemarin, Pejabat Sementara Sekretaris Negara dan Sekretaris Pengendalian Pemerintahan, Bondan Gunawan, mengumumkan pengunduran dirinya. Pos Sekretaris Negara lalu diisi Djohan Effendi, tokoh Dialog Antar-Iman yang juga merupakan karib Abdurrahman. Meski belum ada bukti sahih, Bondan gencar dituding terlibat dalam skandal memalukan ini. Dari arus dana, ia ditengarai berkait dengan rekening atas nama Suko Sudarso, karib kentalnya di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia, yang tercatat menerima dana senilai Rp 15 miliar.
Bondan sendiri bersikukuh tak terlibat. "Jangankan terlibat, angin berembus pun saya tak tahu," katanya. Menurut dia, ia memilih mengundurkan diri untuk mengurangi tekanan ke arah Presiden Wahid dan agar leluasa menjernihkan segala tuduhan soal keterlibatannya. Ia sendiri balik menuding ada komplotan yang tengah berupaya memotongi pilar-pilar penyangga pemerintahan Abdurrahman.
Ketika dipanggil, Senin malam itu, sesaat sebelum mengumumkan pengunduran dirinya, Bondan mendengar dari Presiden Wahid perihal dua tuduhan yang diarahkan kepadanya. Pertama, soal keterlibatannya dalam kasus Bulog. Berikutnya, ia dituding telah terlalu jauh campur tangan ke tubuh militer.
Mundurnya Bondan memang bukan tanpa tekanan. Salah satunya datang langsung dari Wakil Presiden Megawati. Menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Arifin Panigoro, Mega memang gerah dengan pemberitaan skandal Bulog yang menyeret nama PDI-P itu. Sebelumnya, Mega sudah jengkel dengan manuver kelompok pendukung Bondan pada Kongres I PDI-P di Semarang, akhir Maret lalu. Saat itu di jalan bertebaran spanduk bertuliskan "Dwi-Tunggal Mega-Bondan". "Yang menggelarnya pasti bermodal," kata Arifin lagi.
Indikasi adanya faktor Mega di balik pencopotan Bondan diungkapkan Arifin. Pada Minggu malam, sehari sebelum Bondan mengundurkan diri, Megawati memang mengadakan pertemuan mendadak dengan Presiden Wahid. Seorang kalangan yang amat dekat dengan Mega juga terang-terangan mengungkapkan bahwa Mega sudah mendesak agar Bondan diganti sejak 16 Mei lalu, ketika Presiden Wahid sarapan pagi di kediamannya.
Sejumlah perwira tinggi yang tersingkir pada mutasi TNI tempo hari mengungkapkan keresahan sama terhadap Bondan. Bondan dinilai punya peran sentral di balik naiknya kelompok Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Letjen Agus Wirahadikusumah, ke berbagai pos strategis. Bersama Agus, Bondan disebut-sebut menjadi tokoh utama di balik mentalnya Jenderal Wiranto dari kabinet. "Sikap Agus menentang Wiranto adalah pengkhianatan," kata jenderal itu geram.
Bondan juga mereka tuding telah bertindak sebagai pembisik utama Presiden Abdurrahman dalam soal militer. Dan karena perannya itulah kelompok Agus Wirahadikusumah leluasa merancang berbagai terobosan untuk memangkas peran dwifungsi militer—satu hal yang amat mereka tentang.
Maka, kini skandal Bulog tengah mereka giring ke satu arah: memancung kelompok Agus Wirahadikusumah dari pucuk militer. Caranya? "Gunting Bondan. Selesai," kata jenderal itu lagi.
Namun, hukum dan politik adalah wilayah yang semestinya terpisah. Peristiwa kriminal besar seperti skandal Bulog ini harus segera diusut tuntas, sebelum pertarungan politik membuat keruh apa yang semestinya diurus secara hukum.
Karaniya Dharmasaputra, Rommy Fibri, Darmawan Sepriyossa, Arif Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini