Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang menduga misa kudus itu harus berakhir dengan teriakan histeris dan hiruk-pikuk. Hari masih pagi, sekitar pukul 8.30, ketika 500 orang jemaat Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Medan bersiap-siap hendak melaksanakan misa. Tiba-tiba suara menggelegar terdengar memecah keheningan. Sebuah bom meledak di gereja yang terletak di Kompleks Perwira Menengah Kodam I/Bukit Barisan itu. Jemaat yang duduk di barisan belakang terlempar. Dinding gereja retak seketika. Setidaknya 33 orang luka-luka akibat terkena pecahan bom.
Inilah untuk waktu yang lama—setelah 25 tahun—terjadi peledakan tempat ibadah. Dan satu gereja ternyata tidak cukup.
Hanya kurang dari empat jam kemudian, sebuah bom ditemukan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Medan. Seperti ingin menegaskan bahwa kekerasan itu punya motif agama, bom tadi ditemukan di atas kitab Injil yang tersimpan dalam sebuah tas. Setelah gagal dijinakkan, bom temuan ini akhirnya sengaja diledakkan.
Belum cukup. Satu jam kemudian bom kembali ditemukan di dalam sebuah tas pinggang di Gereja Katolik Kristus Raja. Tak ada jemaat gereja yang pernah dibom pada 1975 itu yang terluka. Tapi seorang polisi terluka ketika berusaha menjinakkannya.
Walhasil, hari itu Kota Medan seketika dipenuhi oleh isu bom liar. Orang-orang waswas. Tapi polisi yang menyisir kawasan ramai dan tempat ibadah tidak menemukan ada bom tambahan.
Menarik bahwa keesokan harinya bom kembali ditemukan di tiga gereja. Tidak ada korban yang jatuh. Tapi sebuah bom yang meledak di samping Restoran Miramar, Medan, melukai tiga pejalan kaki yang kebetulan sedang melintas di pagi buta itu. Ada dugaan bom itu sebetulnya ditujukan untuk merusak Gereja Katolik Santa Maria, yang jaraknya hanya 100 meter dari lokasi ledakan. Di sinilah menurut warga terlihat mobil Cherokee melintas hilir-mudik sesaat sebelum peledakan. Warga curiga pengendara Cherokee itulah yang meletakkan bom tersebut.
Bom yang meledak dua hari berturut turut itu menjadi trauma bagi penduduk Medan dan sekitarnya. Sebuah bom peninggalan Perang Dunia II yang ditemukan di Lubukpakam (40 kilometer dari Medan) dicurigai memiliki kaitan dengan pengeboman sebelumnya. Bahkan, sebuah pesawat pemantau cuaca milik Dinas Meteorologi yang meledak di Deliserdang ikut-ikutan membuat penduduk ketakutan.
Lalu, siapa yang telah menebar aksi teror tersebut? Tidak jelas. Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Tyasno Sudarto, mencurigai peristiwa ini lebih berwarna politis ketimbang konflik antaragama. Bahkan, Ketua Umum Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi, menyimpulkan bahwa pengeboman gereja ini merupakan bagian dari konspirasi menjatuhkan pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Data-data di lapangan sejauh ini masih terlalu sedikit untuk menghasilkan kesimpulan setajam itu. Memandang kasus ini, cerminan konflik agama memang sulit diterima akal sehat. Di Medan memang pernah terjadi konflik internal antara jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tapi, tak cukup bukti untuk mengaitkan pengeboman ini dengan kasus tadi. Dari enam gereja yang dikirimi bom, hanya satu gereja milik HKBP.
Konflik Islam-Kristen sebagai salah satu penyebab juga rasanya kecil kemungkinannya. Untuk waktu yang lama, tak ada persoalan berarti dalam hubungan Islam-Kristen di Medan. Kerusuhan besar di kota itu pada 1993 lebih disebabkan oleh sentimen anti-Cina dan persoalan perburuhan ketimbang konflik Islam-Kristen.
Temuan polisi juga belum memberikan gambaran yang terang. Rabu lalu polisi telah menangkap dua orang yang disinyalir terlibat dalam pengeboman ini. Mereka adalah Sersan Satu Zainal dan Sersan Mayor EF Duha dari Kodim 0201/BS Medan.
Penangkapan itu terjadi ketika mobil yang dikemudikan Zainal mogok di jalan tol menuju Bandara Polonia, Medan. Warga setempat yang diminta menunggu mobil curiga karena Zainal tak juga muncul. Belakangan ia malah datang bersama EF Duha. Nah dalam jaket Zainal tampak terselip dua granat. Polisi yang dikontak masyarakat segera melakukan pengejaran. Belakangan diketahui mobil Toyota Crown milik Zainal dan Daihatsu Taft milik EF Duha diketahui beridentitas palsu. Keduanya kini ditahan di Denpom I/Bukit Barisan Medan. Polisi menduga keduanya punya kaitan dengan pengeboman sejumlah tempat di Medan tersebut.
Tapi, kecurigaan polisi itu dibantah oleh Komandan Kodim 0201 Medan, Letnan Kolonel M. Haryanto. Menurut Haryanto, kedua anak buahnya itu bukan membawa granat, melainkan selongsong gas air mata jenis Pindad CS yang sudah tak terpakai lagi. Tujuannya hanya untuk gagah-gagahan. Soal mobil yang beridentitas palsu dijawab Haryanto karena kedua prajuritnya itu adalah petugas intel yang kerap melakukan penyamaran. "Saya tahu, menggunakan mobil dengan pelat palsu yang tak dilaporkan ke polisi memang salah. Karenanya, keduanya kini saya serahkan ke Denpom," kata Haryanto.
Seorang perwira menengah di Polda Sumatra Utara yang enggan disebut namanya memastikan Zainal dan Duha sesungguhnya punya kaitan dengan kasus ini. Di samping mereka, seorang berpangkat sersan satu dan seorang lain berpangkat kapten tengah diselidiki. "Kami masih mengusut mereka dengan intensif sambil mengumpulkan bukti-bukti. Mereka ini sering terlihat di kompleks perjudian Medan," kata sumber itu.
Judi? Inilah skenario lain yang bisa ditelusuri sebagai alternatif motif di belakang teror bom ini. Bisnis judi di Medan selama ini memang marak dan disebut-sebut menyertakan oknum TNI sebagai beking. Dua kelompok yang bermain adalah Ikatan Pemuda Karya (IPK) dan Pemuda Pancasila. Dan Mayor Jenderal Polisi Sutanto, Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara yang baru, kerap melakukan razia terhadap mereka.
Ahmad Sumargono, Ketua KISDI dan anggota DPR dari Partai Bulan Bintang, termasuk yang mempercayai motif judi ini. "Sutanto sangat keras terhadap perjudian. Dia muslim yang taat," kata Ahmad Sumargono, yang mengenalnya dekat. Teror bom itu, menurut mereka yang percaya motif ini, merupakan bentuk protes para pengusaha judi terhadap polisi. Tujuannya agar kredibilitas Sutanto jatuh dan dia digantikan oleh Kapolda lain yang lebih bisa bekerja sama.
Meski tidak menutup kemungkinan judi, pendapat yang berbeda datang dari Yasoana H. Laoly, pakar sosiologi hukum Universitas HKBP Nommensen Medan. Laoly menduga ada skenario besar di balik bom gereja itu: menciptakan kerusuhan massal seperti yang terjadi di Maluku. Tujuan akhirnya, seperti yang dikhawatirkan Hasyim Muzadi dari NU, adalah mengguncang Jakarta menuju Sidang Umum MPR Agustus 2000 nanti.
Dilihat dari karakteristiknya, di Medan memang potensial untuk terjadi kerusuhan berbasis agama atau etnis. Kawasan ini dikenal tidak didominasi oleh satu agama atau etnis tertentu. Komposisi penganut Islam dan Kristen perbandingannya 60:40. Suku yang tinggal di sana selain Batak juga Melayu, Padang, atau Cina. Pada beberapa kawasan yang komposisi penduduk berbeda agamanya seimbang, seperti Maluku atau Poso, Sulawesi Tengah, kerusuhan memang lebih mudah disulut. Sementara itu, pada kawasan yang didominasi oleh satu agama, misalnya Mataram atau Kupang, kerusuhan lebih sulit dibakar.
Menurut Laoly, hal lain yang juga bisa menjadi penjelas mengapa Medan yang dipilih sebagai lokasi "percobaan kerusuhan" adalah adanya latar belakang bentrok mahasiswa Universitas HKBP Nomensen Medan dengan polisi, beberapa waktu lalu. Jemaat Gereja GKPI Padangbulan, yang juga menjadi sasaran peledakan, kebanyakan mahasiswa Nomensen dan kaum muda. Dalam analisis Laoly, jika gereja anak muda bisa diteror, dampak psikologisnya akan besar. "Akan muncul simpati dari mahasiswa lain," katanya.
Tapi, jika memang demikian, mengapa bom-bom tadi tidak berhasil meledakkan Medan dalam kerusuhan besar? Anggota Komnas HAM Asmara Nababan menilai, gagalnya—paling tidak untuk sementara—upaya mengguncang Medan ini karena masyarakat setempat jarang mempermasalahkan perbedaan agama ini. "Dalam satu marga bahkan ada yang beragama Islam dan ada yang Kristen," kata Asmara, yang asli Medan ini.
Untuk sementara, kesimpulan yang pasti tentang latar belakang dan motif teror itu memang belum bisa diambil. Tapi, kejadian ini bagaimanapun telah memperpanjang daftar perusakan rumah ibadah di Indonesia selama ini. Pada 1998, 24 gereja hancur akibat rusuh massa di Situbondo. Tahun lalu, Masjid Istiqlal Jakarta yang diguncang bom. Di Yogya pada tahun yang sama, di Masjid Agung ditemukan bom rakitan. Sayangnya, tak satu pun dari kasus itu yang tuntas diusut polisi.
Arif Zulkifli, Purwani Dyah Prabandari, Wenseslaus Manggut (Jakarta), Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo