BENNY tidak bodoh di kelas II SD. Tapi, anak lelaki berusia 10
tahun itu suka berkelana dari meja ke meja temannya. Tidak
jarang pula ia mencuri mencium pipi teman perempuannya. Pantas
saja pelajaran tidak masuk di otaknya, dan selalu lebih banyak
merah dalam rapornya. Guru kelas rupanya tidak berdaya. Ini
tentu saja merisaukan ibunya, juga guru di tempat Benny
bersekolah.
Kasus anak "bodoh" semacam itu oleh Ny. Satiah Titi Imam Sajono,
59 tahun, dosen di Fak. Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta, dijadikan
obyek penelitiannya guna menyusun disertasi doktornya. Dan di
IKIP Jakarta, 19 November, Ny. Sajono dinyatakan lulus dengan
sangat memuaskan. Disertasinya berjudul panjang: Kesulitan
Belajar Suatu Studi Komparatif Antara Perlakuan dengan Teknik
Rogeran dan Teknk Remedial untuk Menanggulangi Kesulitan
Belajar yang Dialami oleh siswa-siswa kelas 1 2 dan 3 SD di
Wilayah DKI Jakarta 1981.
Pertama-tama minat Ny. Sajono memilih topik ini didorong oleh
kenyataan bahwa banyak anak tinggal kelas sebenarnya bukan
karena bodoh. "Bisa saja . anak itu lantas frustrasi, sering
absen, dan kemudian drop out katanya. Maka ia ingin menguji
metode yang efektif guna menanggulangi kesulitan belajar anak
anak yang tidak bodoh itu.
Dengan mengambil sampel 120 siswa dari 8 SD di daerah pinggiran
(misalnya SD Cengkareng di Jakarta Barat dan SD Cilincing di
Jakarta Utara), ia memulai penelitian Oktober 1980. Satu tahun
kemudian ia mulai menulis disertasinya.
Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan belajar, menurut Ny.
Sajono yang pernah menjadi Direktur I PPSP IKIP Jakarta, ialah
"prestasi belajarnya tidak sesuai dengan kemampuan
intelegensinya yang termasuk rata-rata atau malahan di atas
rata-rata." Dan biasanya, anak-anak itu "mengalami gangguan
dalam berbicara dan membaca, dan mengalami hambatan
berkomunikasi dengan orang lain' Pelajaran ekstra biasanya
diberikan untuk mereka. Misalnya ini terjadi di SDN Bali Mester
06, Jatinegara, salah satu SD yang dijadikan sampel Ny. Sajono.
"Kami memberikan pelajaran tambahan bagi anak-anak yang
kesulitan mengikuti pelajaran, satu jam sebelum atau sesudah jam
sekolah," tutur Jumadi, Kepala SD di situ. Atau, bila ada
inisiatif orang tua, anak itu lantas memasuki les privat.
Yang agak lebih dari itu ialah perlakuan teknik remedial. Di
Jakarta ada beberapa guru atau ahli psikologi yang membuka
pendidikan remedial ini. Misalnya Yayasan Pendidikan Khusus
Winasis (TEMPO, 8 Agustus 1981). Teknik ini tidak hanya
mengulang pelajaran, tapi juga mencoba membangkitkan motivasi
belajar si anak, mencoba menghilangkan rasa malu bila anak
memang pemalu. Dan penyampaian pelajaran tidak langsung lewat
buku, tapi mungkin dengan alat permainan, misalnya kartu-kartu.
Ny. Sajono menawarkan Teknik Rogerian yang ditemukan oleh Carl
Rogers, seorang ahli ilmu jiwa dan ahli pendidikan yang lahir di
Oak Park, AS, 1902. Teknik Rogerian mencoba mencari sumber
kesulitan belajar anak sampai ke akar-akarnya. Dari situ
perbaikan bisa diberikan. Teknik ini, tutur Ny. Sajono,
bertujuan "memberi kesempatan anak itu berkembang sendiri,
dengan jalan menghapuskan halangan yang dialaminya." Dengan kata
lain, teknik Rogerianlebih menekankan agar si anak percaya
kepada diri sendiri untuk berbuat dan berpikir.
Dari 120 sampel--yang terdiri dari 5 anak di tiap kelas I, II
dan III di 8 SD - 60 anak mendapat teknik remedial, 60 lagi
mendapat teknik Rogerian. Selama setahun, penelitian yang
dimulai Oktober 1980 itu, ternyata ada perbaik-an atas diri
mereka. Mereka yang mendapatkan teknik Rogerian punya kenaikan
prestasi belajar yang lebih tinggi dibanding mereka yang
mendapatkan tenik remedial. Ini terbaca dalam rapor
masing-masing.
Tapi disertasi ini masih mempunyai lubang kelemahan, menurut Ny.
Sajono sendiri. Dengan penelitian yang bersifat eksperimental
dan waktu yang terbatas, katanya, pengukuran hasil pembentukan
rasa percaya pada diri sendiri sulit dilaksanakan. Perubahan itu
hanya diamati lewat sikap dan tingkah laku dan pernyataan para
siswa--tidak diukur dengan instrumen. Tapi, ia mencantumkan
contoh perkembangan dari tiga respondennya.
Salah satu contoh itu ialah siswa kelas III SD, usia 8 tahun.
Anak ini telah tak beribu, ayahnya sering ke luar kota. Dia anak
keempat dari lima bersaudara, dan dia satu-satunya anak lelaki.
Oleh nenek dan pamannya dan oleh semua saudara perempuannya ia
sering dikambinghitamkan. Segala hal yang dikerjakannya selalu
dicela. Di kelas ia pendiam, belum bisa membaca meski mengenal
semua huruf. Diagnosa yang diperoleh, emosinya tertekan--karena
itu belum bisa berprestasi secara optimal.
Dalam 10 kali perlakuan perbaikan dengan teknik Rogerian, tampak
perubahannya yang menyolok. Dalam pertemuan ke dan ke-5
samar-samar diketahui sumber kesulitan anak ini. Sambil bermain
dengan balok-balok, ia berkata kepada Ny. Sajono yang
menungguinya "Kalau ada ayah, senang, makannya enak. Kalau nggak
ada ayah, sepi. Paman pergi terus. Nenek masaknya tidak enak.
Katanya, tak ada uang."
Daiam pertemuan e-6 diketahui anak ini bercita-cita menjadi
polisi. Maka Ny. Sajono menggambar tanda-tanda lalu lintas di
papan tulis. Ternyata terangsang perhatian si anak. Ia ikut
membaca tulisan di bawah gambar itu. la minta tanda-tanda itu
digambarkan lebih banyak lagi. Dalam pertemuan ke7 bahkan ia
membawa sendiri gambar rambu-rambu lalu-lintas dari rumah.
Ny. Sajono kemudian menuliskan juga merk mobil hon-da, vol-vo,
su-zu-ki dan sebagainya. Terbukalah minat belajar anak itu.
Pada pertemuan ke-9 suasana tempatnya diubah. Maka di ruang guru
SD itu semua alat permainan dikesampingkan, buku-buku bergambar
diletakkan di meja. Begitu memasuki ruangan itu, anak tersebut
mula-mula heran. "Kok lain," katanya. Tapi kemudian ia tertarik
pada buku-buku bergambar. "Mari, kita bersama-sama membaca,"
kata Ny. Sajono. Dan lama-kelamaan anak itu asyik membaca
sendiri.
Di hari pertemuan terakhir, hari ke-10, berkata Ny. Sajono
kepadanya: "Kamu sekarang pandai. Mudah-mudahan nanti menjadi
polisi yang baik, dan tentu sekarang kamu harus belajar dengan
baik."
Anak itu merasa bahwa ada orang yang "mau mengerti dan siap
membantunya." Dan bila pada catur wulan I angka Bahasa dan
Matematikanya hanya 5, pada rapot berikutnya ia mendapat angka
untuk-pelajaran itu 7 dan 6. Ia nauk kelas.
Adapun Benny, anaic yang diceritakan pada awal tuiisan ini,
hanya perlu dipindahkan. Ternyata setelah ia pindah dari sekolah
tempat ibunya mengajar, pelajarannya membaik, kesenangannya
mengganggu teman-temannya pun berkurang.
Memang, tidak semua anak naik kelas. "Dari 15 anak yang diteliti
Ibu Sajono, masih ada yang tinggal kelas," kata Jumadi, Kepala
SDN Bali Mester 06 itu. Tapi, itu pun karena responden ternyata
mengalami kesulitan ganda. Selain mengalami gangguan emosional
atau sejenisnya, kata umadi lagi, mem?ng mereka belum kuasai
benar pelajaran awal.
Lain lagi komentar Ny. Tien Sukartini, kepala SDN 05 Guntur,
sewaktu Ny. Sajono mengadakan penelitian. Dia tidak hanya
melihat hasilnya dari nilai rapor. "Anak-anak yang dulu tidak
suka membaca dan malu bicara, setelah diasuh Ibu Sajono menjadi
keranjingan membaca dan berani berbicara di dalam kelas,"
katanya.
Masalahnya kini, bila teknik Rogerian hendak diterapkan. Ny.
Sajono sendiri menyarankan agar teknik Rogerian terlebih dulu
diberikan dalam penataran guru SD. Sebab dari 8 SD yang
dijadikan sampel ternyata persentase siswa yang tinggal kelas
cukup mengkhawatirkan. Bahkan ada yang mencapai 20-25%.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini