Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berdasarkan catatan sejarah perpolitikan Tanah Air, sejak Indonesia merdeka hingga era Orde Baru, pemilihan kepala daerah atau pilkada diwakilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD. Pilkada secara langsung baru terlaksana setelah Era Reformasi dan untuk kali pertama digelar pada Juni 2005.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, kepala daerah diusulkan agar kembali dipilih lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD. Usulan itu berdesus setelah Presiden Prabowo Subianto menyinggung peluang perubahan sistem tersebut. Dia mengatakan, dengan sistem pemilihan langsung, pilkada menelan biaya mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” kata Prabowo dalam pidatonya saat perayaan ulang tahun ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Kamis malam, 12 Desember 2024.
Wacana ini mendapat kritikan pedas dari Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan. Ia menilai meski bisa lebih efisien dalam anggaran, pilkada melalui DPRD sebagai sebuah kemunduran demokrasi. Sebab, kata dia, menghilangkan hak partisipasi politik masyarakat.
“Bagi saya, Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan ke DPRD merupakan kemunduran demokrasi. Nilai demokrasi tertinggi itu adalah ketika rakyat dengan bebas menyalurkan pilihannya langsung untuk menentukan pemimpinnya,” ujar Iwan dalam keterangannya, Sabtu, 14 Desember 2024.
Sejarah pilkada digelar secara langsung
Disadur dari buku Mencari Bentuk Otonomi Daerah oleh J Kaloh, gagasan pilkada secara langsung lahir dari keinginan agar kepala daerah yang terpilih benar-benar representatif. Artinya kepala daerah terpilih atau dipilih bukan hasil rekayasa politik atau produk “kongkalikong” anggota DPR, yang pada akhirnya bukanlah hasil keinginan rakyat yang sebenarnya.
Di masa pemerintahan Orde Baru, pilkada selalu dilakukan melalui DPRD, di bawah aturan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Biasanya yang selalu menang adalah calon dari Partai Golkar. Hal ini lantaran seluruh DPRD di Indonesia anggotanya mayoritas berasal partai pimpinan Presiden ke-2 RI Soeharto itu.
Menurut J Kaloh, meskipun kepala daerah dipilih oleh DPRD tetapi calon-calon terpilih diajukan dulu ke pusat dan pusatlah yang menentukan siapa yang terpilih. Dengan mekanisme seperti ini, peneliti bidang pemerintahan ini berpendapat sebenarnya yang dianut oleh Indonesia di masa lampau adalah Desentralisasi yang sentralistis. Peranan pemerintahan pusatlah yang lebih menentukan keinginan daerah.
“Gerak penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah ditata secara seimbang antara kekuasaan pusat dan daerah pada awal pelaksanaannya berjalan dengan baik, namun lambat laun mengalami deviasi dan distorsi akibat paradigma dan cara pandang rezim Orde Baru yang menjadikan kebijakan otonomi daerah sebagai instrumen sentralisasi, eksploitasi dan penyeragaman bagi daerah yang sangat beragam,” tulis J Kaloh dalam bukunya.
Setelah Orde Baru runtuh seiring mundurnya Soeharto pada Mei 1998, pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1974 kemudian diubah menjadi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan ini kemudian mengubah sistem pemerintahan yang sentralistis menjadi demokratis. Konsep otonomi daerah sangat mengemuka dengan beleid baru ini, yang memberi harapan kepada kemajuan daerah.
Setelah lahirnya konsep otonomi daerah, UU tersebut kemudian diubah menjadi lebih kompleks pada 2004 dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam beleid inilah diatur pilkada dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Artinya rakyatlah yang secara langsung memilih siapa kepala daerah mereka.
Setelah terbitnya aturan tersebut, untuk kali pertama dalam sejarah perpolitikan di Indonesia akhirnya pilkada digelar secara langsung. Pesta demokrasi di mana rakyat terlibat secara nyata ini di gelar serentak di 213 daerah. Rinciannya yaitu di 7 provinsi, 174 kabupaten, dan 32 kota. Pemungutan suara digelar mulai 1 Juni di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan berakhir pada 21 Desember di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
Nandito Putra dan Alfitria Nefi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: PKS Beri Alasan Sepakat dengan Prabowo untuk Evaluasi Sistem Pilkada