Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GERBANG sekolah itu seakan seperti tembok baja bagi Meutia Rin Diani. Sebuah SMU di kawasan Bekasi, Jawa Barat, menolak memberi bangku kepada gadis tunarungu dan tunawicara ini. Lalu, ke sekolah luar biasakah Meutia? Tidak. Ibunya, Dr. Kusharisupeni, ngotot mencarikan sekolah umum untuk putri bungsunya itu.
Sang ibu menyadari kekurangan pada diri Meutia sejak anaknya berusia satu setengah tahun. Dia sempat menyekolahkan sang anak ke SLB di Jakarta Pusat. Lima tahun belajar di sana, orang tuanya menyadari bahwa Meutia memiliki kecerdasan di atas rata-rata. "IQ (tingkat kecerdasan)-nya superior," kata doktor di Universitas Indonesia ini.
Kusharisupeni pun bertekad memasukkan anaknya ke sekolah umum. "Kasihan kalau dia tetap di SLB," tuturnya. Akhirnya, setelah bisa masuk ke sekolah dasar umum, benar saja kecerdasan Meutia mengalahkan teman-teman normalnya. Peringkat pertama atau kedua di sekolah selalu disabetnya. Hal yang sama juga dialaminya di SMP: lulus dengan peringkat pertama.
Interaksinya yang intens dengan anak normal membuat kemampuannya membaca gerak bibir makin lancar. Namun, masalah dihadapi ketika hendak masuk SMU tahun lalu. Sebuah sekolah tempatnya mendaftar menolak dengan alasan takut Meutia tidak dapat mengikuti pelajaran. Sekolah juga keberatan kalau harus memberikan pelajaran khusus kepadanya.
"Saya tidak minta fasilitas khusus. Saya hanya minta bangku di bagian depan untuk anak saya," kata sang ibu kepada kepala sekolah. Ibunya meminta sekolah mempertimbangkan prestasi Meutia selama ini. Namun, pihak sekolah tetap menolaknya.
Mencari sekolah lain, Meutia beruntung. SMU 1 Al-Azhar di Kemang Pratama, Bekasi, bersedia menyeleksinya. Ternyata Meutia tidak hanya lulus tes, tapi nilainya juga mengalahkan ribuan calon murid yang mendaftar. Menurut Suseno, guru pengajar IPA di kelasnya, meski di kelasnya ada siswa yang memiliki kekhususan, dia menyampaikan pelajaran seperti biasanya. Dia tidak perlu menggunakan alat peraga khusus untuk membantu menerangkan kepada Meutia.
"Saya justru senang tidak mendapat perlakuan khusus," kata Meutia kepada TEMPO setelah diterjemahkan oleh Denti, temannya. Namun, dia mengaku masih mengalami kesulitan dalam pelajaran membaca Al-Quran atau melafalkan bahasa Arab. "Kalau susah, saya akan tanya teman, tanya guru, belajar sendiri, juga baca buku, dan selama ini selalu berhasil mengatasi kelemahan itu," kata Meutia lewat tulisan.
Kini, Meutia telah membuktikan bahwa kekurangan yang dialaminya bukanlah hambatan berarti. Beberapa bulan lalu, ia berhasil menyisihkan teman-temannya untuk mengikuti Olimpiade sains di Bekasi. Selain itu, ia juga mendapat beasiswa selama enam bulan karena prestasi yang diraihnya.
Namun, bagi ibunya, pengalaman pahit sekolah yang menutup pintu bagi anaknya tetaplah membekas. "Saya jadi bertanya, betapa sempitnya mereka memandang dunia pendidikan," kata sang ibu.
Agung Rulianto, Siswanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo