Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IFA tersentak kaget. Seulas daging dingin mengusap pipinya yang terasa menjadi lembap. Murid kelas empat sekolah dasar itu belum juga menyadari apa yang terjadi: bibir Gani kembali merapat ke wajah gadis kecil itu. Dan, saap..., lagi-lagi pipi Ifa tersapu bibir basah.
Bukannya marah, Ifa hanya agak mengambil jarak. Dengan lembut, tangannya menjauhkan tubuh Gani. "Enggak apa-apa, dia kan masih belajar (bersosialisasi)," kata bocah perempuan itu tersenyum sambil mengusap wajahnya dengan sapu tangan. Gani, yang mengidap autisme, memang sering kali membuat kejutan. Sedangkan Ifa, teman sekelasnya, adalah anak yang normal. Teman sekelas?
Ya, mereka rekan satu kelas di Sekolah Dasar Mutiara Bunda, Bandung. Meski bukan sekolah khusus, sejak tahun lalu mereka membuka diri dengan menerima siswa yang biasanya hanya diterima di sekolah luar biasa (SLB). Murid-murid SLB menyandang kelainan khusus, seperti tunarungu, polio, down syndrome, autisme, hingga keterbelakangan mental. "Kami belum bisa menerima siswa tunanetra karena program kami belum siap," kata Ali Abdullah, Koordinator Dana dan Sosialisasi Program Anak Berkebutuhan Khusus SD Mutiara Bunda.
Di Indonesia, sekolah umum yang menerima siswa khusus memang belum banyak. Sedangkan beberapa negara Eropa telah melakukannya lebih dari satu dekade lalu. Sekolah semacam ini dikenal sebagai sekolah inklusi.
Jumat dua pekan lalu, sebuah seminar pendidikan inklusi digelar di Bandung, Jawa Barat. Kalangan pendidik bersama wakil dari Departemen Pendidikan Nasional membahas penataan sekolah, menyusun kurikulum, dan memilih metode pengajaran yang tepat bagi sekolah inklusi ini.
Dengan menyatukan anak khusus dan anak normal dalam satu kelas, mereka diharapkan bisa saling mengenal. Harapannya, interaksi di antara mereka bisa menumbuhkan rasa percaya diri pada anak-anak khusus sehingga mereka lebih siap menghadapi dunia luar, termasuk dunia kerja. Sedangkan bagi anak-anak normal, mereka secara moral bisa belajar menghargai kekurangan orang lain dan memahami bahwa tiap individu diciptakan berbeda.
Hingga kini pemerintah memang belum punya aturan baku soal pendidikan di sekolah inklusi. Di SD Mutiara Bunda, mereka hanya sanggup menerima rata-rata dua hingga tiga anak berkelainan khusus di tiap kelas. Untuk itu, pihak sekolah perlu melakukan penanganan khusus. Untuk 11 kelas yang mereka miliki, tiap kelas ditangani tiga guru. "Seorang guru, satu asisten, dan satu ortopedagog (guru khusus)," kata Hidayat, Koordinator Program Inklusi di SD tersebut.
Sejak awal, pengelola sekolah ini menyadari bahwa keputusan menyelenggarakan sekolah inklusi akan menimbulkan kendala. Benar saja, ada orang tua anak-anak normal yang menentangnya. Dalam proses belajar-mengajar, mereka menolak anak-anaknya dicampur dalam satu kelas dengan anak-anak penyandang cacat. Mereka malah memilih memindahkan anak mereka ke sekolah lain. "Ya sudah. Bagi kami, take it or leave it," kata Sarah, Kepala Sekolah SD Mutiara.
Namun, tidak semua orang tua anak-anak normal menolak program itu. Seperti diakui Linda, ibu Puti yang kini duduk di kelas tiga, anaknya sempat kaget dan takut saat pertama kali bercampur dengan teman-teman khususnya. Rambutnya sering dijambak temannya yang mengidap autisme. "Tapi lama-kelamaan mereka malah akrab," kata Linda.
Salah satu orang tua siswa tunarungu mengaku ragu saat akan memindahkan anaknya ke sekolah umum. Dia sempat khawatir anak-anaknya akan menjadi bahan ejekan anak-anak normal. Namun, kini ia melihat perubahan pada anaknya. Saat masih di SLB, si anak sering marah-marah sepulang dari sekolah. Namun, setelah beberapa lama di sekolah umum, anaknya tampak lebih riang.
Beberapa orang tua anak pengidap autisme mensyukuri kehadiran sekolah inklusi. Sebab, meskipun secara fisik penampilan anaknya normal, mereka kesulitan masuk ke sekolah umum. "Anak saya sempat ditolak masuk di beberapa sekolah," kata Nur, ibu Ervan. Bermacam alasan dari sekolah harus diterimanya, dari yang takut mengganggu anak lain hingga yang mengaku tidak siap.
Direktur Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan, Mudjito, mengakui bahwa program sekolah inklusi baru mereka rancang tahun lalu. Konsep awalnya dikembangkan bagi anak-anak tamatan SLB yang cukup cerdas dan ingin melanjutkan pendidikan di sekolah umum. Departemen Pendidikan kemudian mengawalinya dari tingkat sekolah dasar. "Kita ingin memberi akses pendidikan seluas-luasnya bagi anak-anak khusus ini, sama dengan anak-anak lain yang normal," kata Mudjito.
Saat ini mereka mulai membuat model sekolah inklusi di tiap provinsi. Penunjukan sekolah yang menjadi model berdasarkan proposal yang diajukan sendiri oleh sekolah bersangkutan, setelah mendapat penawaran dari Departemen Pendidikan. "Kami ingin kemauan menerapkan pendidikan inklusi ini datang dari pihak sekolah," tuturnya.
Ternyata kebanyakan sekolah yang mengajukan proposal sebelumnya memang sudah memiliki pengalaman dengan anak-anak khusus ini. Hingga kini, menurut catatan Departemen Pendidikan, sudah ada ratusan sekolah yang menjadi model. Tentu jumlah itu masih sangat kurang jika dibandingkan dengan sekitar 150 ribu sekolah dasar di Indonesia.
Jika jumlah sekolah inklusi makin banyak, akan kian banyak pula tumbuh saling pengertian dan kasih-sayang di kalangan anak-anak, seperti yang terjalin antara Ifa dan Gani. Dan mereka akan mampu menyindir para orang tua yang masih suka memperuncing perbedaan dan gontok-gontokan.
Agung Rulianto, Nunuy Nurhayati, Rana Akbari (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo