DAVID Napitupulu agaknya satu-satunya Duta Besar yang aktif di Munas Golkar pekan lalu. Tokoh demonstran angkatan 66 itu bahkan membawa makalah yang katanya akan dibacakannya di depan Munas. Isinya memang cukup menarik. Itulah buah pengamatan David selama sekitar dua tahun menjadi duta besar di Meksiko. Tentu saja yang diamatinya bukan tentang cara membuat topi sombrero yang terkenal itu. Sebagai tokoh Golkar sejak berdirinya Orde Baru, ia rupanya asyik mengamati peri laku Partai Kelembagaan Revolusioner (Partido Revolusionaire Institudo -- PRI), pemegang kendali politik Meksiko saat ini, negara yang pernah dijajah Spanyol selama tiga abad. Keasyikan ini terutama disebabkan karena banyaknya kemiripan PRI dan Golkar. Bahkan konon alasan utama David dikirim ke Meksiko adalah untuk mengamati PRI ini. Siapa tahu, pengalaman partai yang sudah berusia hampir 60 tahun dan selalu memenangkan pemilu ini bermanfaat bagi Golkar yang lebih muda. Itulah sebabnya, kelanggengan PRI yang paling diamati. "Selama 59 tahun mereka setap bersatu dan berkuasa," kau David. Tak heran jika banyak pengamat poiitik berpendapat bahwa Meksiko yang sudah berusia 70 tahun itu, adalah negara Amerika Latin yang paling stabil kehidupan politiknya. Padahal, kericuhan berdarah sangat mewarnai Meksiko sejak merdeka, 1821, hingga revolusi yang dimulai 1910. Tak kurang dari nyawa seorang presiden terpilih, Alvaro Obregon, hilang di tangan seorang pembunuh pada akhir revolusi, 1928. Namun, sebuah UUD, yang dikenal sebagai Konstitusi 1917, sempat lahir dari masa revolusi yang penuh gejolak itu. Menurut Hidayat Mukmin, bekas Duta Besar RI di Meksiko yang kini menjabat Wakil Gubernur Lemhanas, Konstitusi 1917 ini bersifat nasionalisme-demokrasisosialisme. Selain itu, menurut tulisannya dalam buku Kerikil-Kerikil Tajam di Amerika Latin (KKTAL), jiwa UUD ini adalah: solidaritas internasional, kemerdekaan, keadilan, dan pemisahan mutlak antara kekuasaan negara dan gereja. Sekularisme memang sangat menonjol di Meksiko. Ini adalah buah semangat nasionalisme yang menggebu-gebu anti-penjajah Spanyol, yang mengenalkan agama Katolik ke Meksiko. Maka, perangkat gereja Katolik pun diidentikkan dengan penjajahan. Itulah sebabnya, menurut KKTAL, pemisahan negara dan gereja di Meksiko sangat ekstrem. Kendati 97% penduduknya beragama Katolik, negara berpenduduk 82-an juta ini tak mempunyai hubungan diplomatik dengan Vatikan. Para pejabat negara, selama berdinas aktif, dilarang masuk gereja. Pelajaran agama tidak diperkenankan masuk sekolah, sejak taman kanak-kanak hingga universitas. Khotbah tak diperkenankan berisi masalah politik, dan para pendeta tak diperkenankan menduduki jabatan politis. Agaknya, sikap keras ini juga dipengaruhi reaksi atas pemberontakan "Cristo Rey" pada 1920. Inilah pemberontakan gagal terhadap pemerintah yang sangat berdarah dan dipimpin seorang pendeta, salah satu dari sekian banyak pemberontakan yang mengancam keutuhan Meksiko. Adalah untuk mempertahankan stabilitas dan kesatuan nasional yang terancam ini Jenderal Plutarco Ellias Calles mendirikan Partido Nacional Revolucionario (PNR) cikal-bakal PRI, 4 Maret 1929. Presiden Meksiko pada periode 1924 - 1928 ini beranggapan, suksesnya Partai Komunis Rusia, Partai Nasionalis Sosialis Jerman, dan Fasis Italia mungkin dapat ditiru untuk mengatasi kekisruhan akibat revolusi Meksiko. Maka, PNR, yang berlandaskan pada kelembagaan serta pembaruan sosial, dianggapnya sebagai jawaban atas keinginan itu. Pendapat ini tampaknya didukung oleh kelompok birokrat, militer, dan sebagian parpol kecil yang masuk ke partai ini, yang pada 1946 berubah nama menjadi PRI. Pelan namun pasti, cikal bakal PRI ini semakin mengakarkan kehadirannya di masyarakat. Kelompok buruh yang menjadi kuat pada masa nasionalisasi industri dirangkul dengan cara menerapkan jiwa Konstitusi 1917. Terutama prinsip perlindungan hak buruh. Petani dipeluk dengan pelaksanaan land reform. Kelompok profesi dibujuk dengan dijalankannya prinsip pembatasan masa kuasa presiden hanya satu periode, 6 tahun saja. Membesarnya kelompok non-militer ini menyebabkan pengaruh tentara yang tadinya dominan mulai berkurang. Dan proses dominasi sipil ini semakin terasa dengan meningkatnya profesionalisme militer. Upaya profesionalisme di dunia militer ini mendapat bantuan sangat besar dari AS, yang menyukai mengecilnya peran militer dalam politik Meksiko. Maka, kelompok militer pun melebur bersama para birokrat, profesional, dan kelas menengah menjadi kelompok massa. Walhasil, PRI mempunyai tiga kelompok utama: tani, buruh, dan massa. Ini berbeda dengan Golkar, yang terdiri atas Birokrasi, Militer, dan Kader itu. Perbedaan lainnya adalah militer Meksiko memiliki hak memilih dalam pemilu dan tak memiliki kursi khusus di parlemen. Para anggota militer, kendati kebanyakan ikut PKI, diperkenankan menjadi anggota partai di luar PRI, asal pensiun dahulu. Jika tak lagi anggota partai, mcnurut KKTAL, anggota militer ini dapat kembali aktif ke kesatuannya lagi. Melemahnya pengaruh militer ini ternyata tak menyebabkan dominasi PRI terganggu. Hanya saja, dominannya PRI dalam dunia politik Meksiko menyebabkan perbedaan aliran justru terjadi di dalam PRI itu sendiri. Namun, para pemimpin partai justru memanfaatkan timbulnya aliran ini untuk memperkuat partai. Yakni menggunakannya untuk menghilangkan faktor "kejenuhan" akibat berkuasa terus-menerus. Partai yang berkuasa dalam waktu lama seperti PRI memang perlu taktik untuk mengatasi kejenuhan. Ada tiga aliran besar dalam PRI. Yakni aliran kanan, moderat, dan kiri. Ketiga aliran ini memegang tampuk kekuasaan berganti-ganti sesuai dengan perkembangan masyarakat Meksiko. Dengan demikian, perubahan yang terjadi di masyarakat selalu dapat ditampung oleh PRI. Akibatnya, partai ini selalu mendominasi hasil pemilihan umum. Bahkan selalu di atas 70%, sehingga pemerintah selalu dapat mengubah undang-undang seenaknya. Namun, dalam pemilu Juli lalu, dominasi partai ini sempat terguncang. Untuk pertama kalinya suara perolehan cuma 50,36%. Politik pengetatan ikat pinggang yang dijalankan pemerintah menghadapi resesi ekonomi dunia dianggap salah satu penyebab terjadinya hal ini. Tetapi tampaknya perpecahan dalam PRI yang lebih berpengaruh. Yakni keluarnya sebagian besar aliran kiri dari PRI dan bergabung dengan partai oposisi kiri. Pembelot ini dipimpin oleh Cuauhtemoc Cardenaz, putra Presiden Cardenaz (1934-1940 yang pernah menjadi gubernur Negara Bagian Michoacan. Sebagian pengamat menuduh hengkangnya Cardenaz disebabkan ia sakit hati karena tak terpilih menjadi presiden menggantikan Miguel de la Madrid, yang akan mengakhiri kekuasaannya tahun ini. De la Madrid memang telah menunjuk Carlos Salinas de Gortari, bekas Menteri Perencanaan dan Anggarannya, yang baru berusia 40 tahun, untuk menggantikannya. Doktor ekonomi lulusan Universitas Harvard yang berkepala botak ini kelihatannya dianggap tokoh yang paling tepat untuk mengangkat Meksiko dari beban utang yang lebih dari 100 milyar dolar itu. Yang terasa semakin berat dengan merosotnya harga minyak yang pernah menjadi sumber utama penghasilan Meksiko. Strategi Salinas mengatasi masalah ekonomi ini ditentang Cardenaz. Jurus Salinas memang mudah diserang karena tak populer. Misalkan saja penghapusan atau pengurangan subsidi yang selama ini dinikmati kaum buruh seperti transpor umum, bahan baku pokok, listrik, dan kebijaksanaan pengetatan ikat pinggang. Wajarlah kalau perolehan suara PRI, yang menjagoi Salinas merosot dalam pemilu Juli lalu. Terutama di daerah perkotaan seperti Mexico City, yang mempunyai jutaan buruh itu. Bahkan Cardenaz, yang hanya berhasil memungut 31,12% itu, menuduh terjadi kecurangan. Cardenaz menganggap, seharusnya dia yang menang. Maka, pendukungnya dari partai oposisi kiri sempat mengadakan berbagai demonstrasi. Kendati kegiatan unjuk rasa ini diperkirakan akan mereda, bukan berarti PRI dapat bernapas lega. Dengan perolehan suara yang cuma separuh itu berarti pemerintah tak mudah meloloskan UU baru. Sebab, PRI tak lagi menguasai 2 anggota parlemen. Lantas bagaimana nasib PRI nanti? Sulit untuk meramalkannya. Namun, Daid Napitupulu yakin, PRI di bawah Salinas akan mampu mengatasi guncangan ini. Cuma, PRI harus menyesuaikan diri, dari mayoritas absolut menjadi mayoritas tipis. "Jadi, mereka harus lebih pandai menyesuaikan diri dengan aspirasi yang baru," tuturnya. Tampaknya, perkembangan di Meksiko ini memang perlu kita kaji. Siapa pun tahu, yang lebih muda selalu bisa menimba ilmu dan belajar dari pengalaman -- serta kesalahan -- yang lebih tua. Bambang Harymurti, Syafiq Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini