TEPAT pukul dua belas malam, lampu listrik dipadamkan. Suasana pun seketika beranjak hening dan khidmat. Lantas di bawah temaram cahaya lilin, satu demi satu utusan maju ke depan, menggoreskan tanda tangannya, yang menandai dukungannya atas kelahiran Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Di antara keheningan itu terdengar doa, secara Islam, Kristen, dan Hindu Bali. Peristiwa itu terjadi pada 19 Oktober 1964 malam, 24 tahun silam, di aula Sekretariat Front Nasional, Jalan Merdeka Selatan 13 Jakarta. Pada malam itu, hadir 35 organisasi fungsional yang punya niat sama: bergabung membangun kelompok baru yang bercirikan federatif. Keesokan paginya, 97 organisasi secara bulat menyatakan niatnya untuk bergabung dalam Sekber Golkar. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, yang telah dipersiapkan sebelumnya, dibahas secara singkat, dan diterima dengan beberapa perubahan. Lantas, rapat besar itu mengamanatkan agar segera dibentuk dewan pimpinan harian. Pertemuan pun usai. Sementara itu, di luar gedung sekretariat itu, berlangsung aksi demonstrasi oleh barisan Pemuda Rakyat, organisasi yang bernaung di bawah bendera PKI. Para demonstran mengacung-acungkan spanduk yang bertuliskan "Bubarkan Sekber Golkar". Organisasi-organisasi yang berfederasi dalam Sekber Golkar itu semuanya kelompok fungsional yang bebas dari naungan partai politik mana pun. Tak lama kemudian, dewan pimpinan pun terbentuk, dengan ketua Brigjen. Djuhartono, seorang perwira tinggi dari Staf Umum Angkatan Darat. Organisasi yang bergabung campur aduk. Ada yang gurem seperti Persatuan Karyawan Radja Farma atau Korps Penilik Pegadaian Indonesia. Terdapat pula organisasi "elite", antara lain IDI, Persatuan Jaksa, dan Persahi, yang diwakili ketuanya Kol. Sudharmono kini Wakil Presiden. Lalu ada pula barisan kuat seperti HMI, Pemuda Muhammadiyah, SOKSI, atau MKGR. Lantas, sebagai tulang punggung, bergabung pula Angkatan Darat, Laut, Udara, Kepolisian. Kelompok itulah yang di kemudian hari tumbuh menjadi raksasa bernama Golkar. Sekber Golkar lahir ketika Front Nasional lembaga yang dibangun untuk mendukung aksi-aksi revolusioner Presiderl Soekarno -- mulai gonjang-ganjing lantaran dijadikan ajang perebutan pengaruh para partai politik. Cikal-bakal Front Nasional adalah institusi binaan ABRI yang diberi nama Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB), yang dibentuk pada 7 Januari 1958. Bahwa pihak militer perlu membentuk lembaga itu, tak lain lantaran didesak oleh kebutuhan akan adanya suatu kekuatan sosial-politik yang solid, kompak, dan tak hanya pintar menonjok kawan seiring. Namun, untuk melangkah jauh membentuk Front Nasional yang pengaruhnya bisa menandingi partai, bukan pekerjaan mudah. Partai-partai besar pasti tak akan membiarkan munculnya kekuatan baru. Maka, mesti ditempuh jalan yang tersamar: membentuk FNPIB, yang berdalih untuk pembebasan Irian Barat. Kenyataannya, FNPIB memang lahir secara mulus. Anggotanya? Jauh hari sebelumnya, pihak militer telah membina kelompok-kelompok fungsional lewat jalur BKS-MS (Badan Kerja Sama Militer Sipil). Ketika itu, telah terbentuk antara lain BKS Pemuda-Militer, BKS Buruh, Veteran, dan, Ulama. Ketua FNPIB langsung dipegang oleh Mayjen. Nasution. Atas desakan Dewan Nasional, yang diketuai Presiden Soekarno, awal Juni 1958 bentuk kelembagaan FNPIB diubah. Misi pokoknya pun diperlebar, yaitu "membebaskan Irian Barat" plus "menyelesaikan revolusi nasional pada umumnya". Peranan militer dalam lembaga ini mula mengempis. Pada 31 Desember 1959, Presiden Soekarno secara resmi mengubah FNPIB menjadi Front Nasional. Dewan Nasional yang membawahkannya ternyata membiarkan pengaruh partai masuk ke dalamnya. Belakangan, partai-partai politik, terutama PKI dan PNI, mendesak Bung Karno supaya AD-ART Front Nasional diubah, agar secara resmi mengakui keanggotaan parpol. Dalih yang dipakai: agar FN bisa menjaring jutaan massa. Bung Karno setuju. Maka, 30 Mei 1962, pintu FN dibuka lebar-lebar untuk partai politik. Dalam waktu singkat 10 parpol masuk sebagai anggota. Pada saat yang sama, kelompok fungsional kian tergencet. Keanggotaannya makin dibatasl dengan sederet syarat. Tak puas dengan keanggotaannya di Front Nasional, PKI masih ingin unjuk kejumawaan. Organisasi fungsional yang tak berinduk pada partai politik didesak, dipojokkan, dan kerap dituding "antinasakom". Keikutsertaan ABRI dalam FN juga ditentang oleh PKI, dengan dalih, wadah ABRI adalah Nasakom. Justru desakan itulah yang menjadi momen penggerak lahirnya Sekber Golkar. Ketika orrnas-ormas kecil yang tak berinduk itu kelimpungan, ABRI datang dengan tawaran menarik: mengajak bergabung dalam Sekber Golkar. Saat itu anak asuh ABRI seperti SOKSI, MKGR, dan Kosgoro telah tumbuh sebagai organisasi yang mapan. Rupanya, PKI mangkel betul dengan kelahiran Sekber Golkar, dan mencoba menjegalnya. Tapi pada saat yang sama, Letjen. Achmad Yani, yang dikenal sebagai anak emas Bung Karno, membelanya. Rupanya, lobi militer lebih kuat. Pertengahan September 1965, rencana Mukernas Sekber Golkar direstui setelah pimpinan organisasi itu bersama Achmad Yani bertemu Bung Karno di Istana Bogor. Sedianya, Mukernas (Musyawarah Kerja Nasional) pertama dilangsungkan Oktober 1965, tapi urung lantaran terjadi aksi G-30-S. Rapat kerja itu baru terselenggara bulan Desember di Cipayung, Bogor, yang dihadiri oleh 160 organisasi kekaryaan tingkat pusat dan 12 pengurus Sekber Golkar daerah. Materi yang dibahas pada Mukernas itu menyangkut soal haluan, aksi, konsolidasi organisasi, di samping pencetakan kader. Di situ ada kesepakatan untuk membangun Golkar sebagai kekuatan sosial politik yang mandiri. Setelah ikut aktif dalam menumbangkan Orla, awal November 1967 Sekber Golkar mengadakan Mukernas II. Hasil yang penting dicatat adalah lahirnya Piagam PancaGagasan, yang intinya berupa penyederhanaan organisasi (regrouping), partisipasi dalam pemilu, dan menyukseskan pembangunan. Perampingan organisasi itu dijadwalkan rampung dalam 6 bulan. Tahun 1968, banyak pendukung Sekber Golkar yang gugur. Sebagian dari unsur Islam undur diri dan membentuk Parmusi. Sebagian lagi menarik keanggotaannya lantaran ingin tetap independen seperti HMI. Dan sebagian lagi dilikuidasi akibat sebab teknis, karena kehilangan banyak anggota, umpamanya. Anggota Sekber Golkar menciut dari 291 menjadi 201 organisasi. Setahun telah lewat, namun regrouping belum juga terjadi. Maka, diadakan pertemuan antara unsur-unsur Sekber Golkar dan unsur Hankam, Januari 1969. Hasilnya, federasi yang beranggotakan lebih dari 200 organisasi itu dilebur dalam tujuh Kino (Kelompok Induk Organisasi). Ketujuh Kino itu ialah SOKSI, Kosgoro, MKGR, Ormas Hankam, Karya Profesi, Gakari (Gabungan Karya Rakyat Indonesia), dan Karya Pembangunan pimpinan Sumiskum, satu-satu komandan Kino yang bukan tentara. Pertemuan dengan Hamkam itu juga menelurkan kebulatan tekad Sekber Golkar untuk terjun dan memenangkan Pemilu 1971. Tibalah saatnya Sekber Golkar bersiap diri menghadapi Pemilu 1971. Pohon beringin dipilih sebagai lambang organisasi. Badan Utama Pengendali Pemilu (Bapilu) dibentuk pada tingkat pusat dan daerah, dan bertugas mengatur kampanye dan menyusun daftar calon anggota DPR/DPRD. Untuk mensukseskan kampanye, Sekber Golkar membentuk unit Safari, Unit Proyek lurah, Unit Ulama, Unit Pemuda, dan sejenisnya, serta menerbitkan Suara Karya. Pada mulanya Sekber Golkar sendiri masih ragu akan kekuatan kubunya. Target yang dipatok hanya meraih 35%-40% dari 57 juta pemilih. Tapi sungguh mengejutkan, ternyata dia bisa menjaring 62,8% suara, jauh mengungguli ke-9 pesaingnya, dan menguasai 236 dari 360 kursi yang diperebutkan lewat pemilu. Namun, para pengamat mencatat, sukses Beringin itu banyak terbantu oleh aksi barisan Kokarmendagri (Korps Karyawan Kementerian Dalam Negeri). Lewat jalur ini, Mendagri, yang kala itu dijabat oleh Jenderal Amir Machmud, mengintruksikan agar para pamong -- gubernur, bupati, sampal lurah -- mesti habis-habisan memenangkan Beringin. Faktor lain adalah ABRI. Sebagai pengawas, ABRI kala itu sering dinilai terlalu dekat ke "saudaranya", Golkar. Gerak parpol terasa lebih sempit. Partai besar NU, PNI, dan Parmusi, masing-masing hanya kebagian 18,7%, 6,9%, dan 5,4%. Para pengamat juga melihat, sukses Beringin juga berkat adanya trauma masyarakat terhadap parpol. Dua pekan setelah pemilu, Sekber Golkar membuat perubahan besar. Namanya diganti menjadi Golkar, thok. Lalu pada Munas I 4-10 September 1973 di Surabaya, Kino-Kino resmi ditiadakan, dan sifat federasi pun habis. Organisasi yang bernaung di bawah Golkar tinggal ormas kekaryaan seperti Federasi Buruh. KNPI, Himpunan Kerukunan Tani, dan sejenisnya. Pengurus pun disegarkan. Mayjen. Amir Murtono tampil sebagai ketua umum baru, hingga dua kali masa jabatan. Golkar pun kian melaju. Tapi dalam Pemilu 1977, perolehan suara Beringin sempat turun, dari 62,8% menjadi 62,11%, dan kaplingnya di DPR pun turun empat kursi, dari 236 menjadi 232. Yang ironis, Golkar sempat dipecundangi PPP di wilayah DKI. Pada dua pemilu berikutnya laju kemenangan Golkar sudah tak tertahankan. Beringin mendapatkan 64,19% pada Pemilu 1982 dan 73% pada 1987. Pada usia yang ke-24 tahun ini, dengan bangga Golkar mengklaim memiliki 32 juta anggota, 10 juta di antaranya adalah kader. Putut Tri Husodo dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini