Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tiga Menguak Jalur

"tiga jalur" berperan dalam menentukan pengurus golkar baik di pusat maupun di daerah. "tiga jalur" sudah ada sejak pemilu 1971, terdiri dari jalur a (abri), jalur b (korpri) dan jalur g (golkar).

29 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM itu, Kamis pekan lalu, pembukaan Munas Golkar ke-4 belum dimulai. Namun Balai Sidang Senayan Jakarta sudah dipenuhi oleh para undangan dan utusan dari semua daerah di Indonesia. Suasana sangat ramai. Berebutan, orang-orang menyalami Rachmat Witoelar, 47 tahun, tokoh demonstran 1966 dari Bandung. Sekretaris F-KP DPR itu tampil dengan jas warna gelap didampingi Erna Witoelar, istrinya, yang lebih dikenal sebagai Ketua Yayasan Lembaga Konsumen. "Selamat, Pak." begitu kebanyakan ucapan yang terdengar. Rachmat tampak cerah dan banyak senyum. Munas baru akan dimulai formatir malah belum dipilih, tapi mengapa Rachmat sudah diselamati? Bukan cuma dia. Freddy Latumahina bekas tokoh AMPI, malam itu juga menerima banyak jabatan tangan. Ia disebut-sebut bakal menjadi wakil sekjen. Begitu pula Haji Tarmoedji, 61 tahun, yang kembali terpilih menjadi salah satu Ketua DPP Golkar. Nama ketiganya memang tercantum di antara 17 pengurus harian lengkap DPP Golkar 1988-1993, yang sudah beredar dari mulut ke mulut peserta Munas, beberapa saat sebelum pertemuan penting ini dibuka Presiden. Kabarnya, nama-nama tersebut sudah disepakati oleh "tiga jalur". "Tiga jalur"? Itulah nama yang banyak dibicarakan orang di sekitar Munas ini. Irjenbang Wahono sudah hampir dipastikan menjadi pengganti Sudharmono sebagai ketua umum, sejak setengah bulan sebelum Munas dimulai. Konon, saat itu namanva telah disepakati "tiga jalur" untuk jabatan puncak Golkar itu. Mungkin karena itu, Jumat pekan lalu, Menko Polkam Sudomo dengan guyon berani mengajak wartawan bertaruh. "Hayo, taruhan Rp 100.000. Saya pegang Pak Wahono ....Ha. . . ha . . . ha," kata bekas Pangkopkamtib itu sambil ketawa. Sebetulnya, menurut Jenderal (Purn.) Daryatmo, anggota Dewan Pembina Golkar 1983-1988, "tiga jalur" sudah ada sejak Golkar bersiap-siap menghadapi Pemilu 1971. Ketika itu, inventarisasi nama para calon yang akan diajukan Golkar dalam Pemilu, dilakukan oleh Bapilu (Badan Utama Pengendali Pemilu Sekber Golkari yang dibentuk oleh Asisten Pribadi (Aspri) Presiden, Ali Moertopo, 1970. Tapi dalam prakteknya, untuk menyusun para calon, Bapilu -- Ketuanya Mayjen. Soeprapto Soekowati, ketika itu Ketua Umum DPP Sekber Golkar -- selalu berkonsultasi dengan "tiga jalur", tiga kekuatan yang menjadi pilar utama pendukung organisasi ini. Jalur A (ABRI) diwakili oleh Kepala Staf Kekaryaan (Kaskar) Hankam, jalur Beringin alias jalur B oleh pimpinan Korps Karyawan Depdagri (kini Korpri), dan jalur G (Golkar) oleh orang yang diutus oleh DPP Sekber Golkar, pada saat itu. Setelah diolah Bapilu, nama-nama itu memang masih dikonsultasikan dengan pimpinan Sekber Golkar daerah. "Kami sering telepon-teleponan terus. Pak nama ini minta diganti, dan sebagainya," kata Daryatmo yang saat itu (1969) menjabat Kaskar Hankam. Sejak itu sebenarnya "tiga jalur" tetap berperan, cuma saja intensitasnya bergantung pada kebutuhan saat itu. Dalam Pemilu 1971, misalnya, yang lebih banyak berperan adalah Bapilu yang secara tidak langsung sebenarnya dikendalikan oleh Ali Moertopo. Demikian juga halnya dalam menghadapi pemilu berikutnya. Dalam penyusunan daftar calon Pemilu 1987, menurut sumber TEMPO, DPP Golkarlah yang amat berperan, sekalipun "tiga jalur" sebagai lembaga koordinatif, agar tiga pilar itu tidak jalan sendiri-scndiri, masih tetap berperan. Setelah Sidang Umum MPR dan Sudharmono terpilih sebagai wakil presiden, 12 Maret 1988, DPP Golkar mengadakan pertemuan yang dihadiri unsur-unsur tiga jalur itu, di gedung Krida Bhakti, Jakarta. Selain para pimpinan DPP dan DPD Golkar tingkat 1, hadir pimpinan tiga jalur tingkat pusat, Ketua Umum DPP Golkar Sudharmono (jalur G), Pangab Try Sutrisno (jalur A), dan Mendagri Rudini (jalur B), beserta para Panglima Kodam dan Gubernur dari "tiga jalur" daerah. "Dari pertemuan itu terlihat bahwa tiga jalur pendukung Golkar tetap kompak," ujar sumber TEMPO. Sebelumnya ada isu bahwa telah terjadi perbedaan pendapat yang tajam di tubuh organisasi terbesar itu, setelah peristiwa interupsi Brigjen. Ibrahim Saleh dari ABRI, berkaitan dengan pencalonan Sudharmono sebagai wakil presiden di SU MPR (TEMPO, 19 Maret 1988). Maka, peranan "tiga jalur" lantas menonjol di Musda (musyawarah daerah) Golkar yang berlangsung Juli sampai awal Oktober yang lalu. Inventarisasi para calon pengurus yang akan dipilih di Musda tingkat II dilakukan oleh pimpinan tiga jalur tingkat I, yang terdiri atas Gubernur, Panglima Kodam, dan Ketua DPD Golkar sctempat. Untuk Musda tingkat I, hal itu dilakukan oleh tiga jalur tingkat Pusat. Pimpinan tiga jalur ini pula yang menginventarisasikan calon pengurus DPP Golkar. Adakah demokrasi di sini? "Jangan disamakan demokrasi di sini dengan di Amerika Serikat," ujar Daryatmo. Ia benar. Sebab, meskipun tiga jalur menyusun atau menginventarisasikan nama para calon dan mereka berkonsultasi dengan Dewan Pembina toh yang memutuskan susunan pengurus adalah para Formatir. Apalagi nama-nama yang mereka kumpulkan ternyata berasal dari bawah. Sebagai contoh, untuk Musda tingkat II, nama para calon pada awalnya datang dari DPD Golkar tingkat II. Setelah dikonsultasikan dengan tiga jalur setempat (Bupati/Wali Kota, Komandan Kodim, dan Ketua DPD Golkar), baru nama-nama itu dikirimkan ke tiga jalur tingkat provinsi. Nama-nama yang keluar dari sana cuma berstatus calon yang masih akan dipilih oleh formatir yang ditetapkan Musda. Begitu pula untuk calon pengurus DPP. Sekalipun mereka telah menerima ucapan selamat dari sana-sini, nasibnya bergantung pada tujuh formatir pilihan Munas. "Nama-nama itu masih bisa bergeser, berubah malah hilang dari daftar, bila memang tujuh formatir Munas menghendakinya, dan bisa memberi alasan mengapa mereka menolak sebuah nama. Misalnya nama itu dianggap 'merah'," kata sumber tadi. Dan sesuai dengan tata tertib Munas, dalam menyusun kepengurusan itu, formatir mengadakan konsultasi dengan Ketua Dewan Pembina Golkar, Soeharto. AN, Rustam F. Mandayun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus