Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

KIB, Salah Kaprah Koalisi Partai Politik di Sistem Presidensial?

Koalisi partai politik seperti Koalisi Indonesia Bersatu, dan oposisi dalam sistem presidensial cenderung kontradiktif. Kenapa?

24 Mei 2022 | 18.39 WIB

 diskusi bertajuk "Teka-teki Menteri dan Koalisi" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 19 Oktober 2019. (Dari kiri) Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily, pengamat politik KedaiKopi Hendri Satrio, moderator Margi Syarif,politikus PDIP Andreas Hugo Pareira, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, dan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera. FOTO: TEMPO/Putri.
Perbesar
diskusi bertajuk "Teka-teki Menteri dan Koalisi" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 19 Oktober 2019. (Dari kiri) Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily, pengamat politik KedaiKopi Hendri Satrio, moderator Margi Syarif,politikus PDIP Andreas Hugo Pareira, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, dan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera. FOTO: TEMPO/Putri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Pembentukan koalisi partai politik merupakan hal yang lazim ditemui menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden.

Menjelang Pemilu dan Pilpres 2024, tiga partai politik Indonesia; PPP, PAN, dan Golkar; membentuk Koalisi Indonesia Bersatu.

Dilansir dari antaranews.com, pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu bertujuan untuk memenuhi ambang batas pencalonan sekaligus memenangkan Pemilihan Umum dan Presiden 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meskipun merupakan praktik yang umum ditemui, pembentukan koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial sejatinya merupakan praktik yang salah kaprah.

Sebab, sebagaimana dilansir dari law.ui.ac.id, pembentukan koalisi dan oposisi partai politik hanya ada dalam sistem parlementer. Koalisi dan oposisi memiliki peran yang substansial dan berbeda dalam sistem pemerintahan parlementer, bukan hanya bertujuan untuk memenangkan Pemilihan Umum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dikutip dari Encyclopedia of Government and Politics, koalisi dan oposisi menjalankan fungsi pengawasan dan penyeimbangan atau check and balances.

Koalisi merupakan mayoritas atau kelompok parlemen yang anggotanya terdiri dari 50%+1 dari total keseluruhan anggota parlemen. Hal ini membuat koalisi memiliki wewenang untuk membentuk kabinet yang menjalankan pemerintahan.

Sementara itu, oposisi berwenang untuk mengawasi pemerintahan yang dijalankan oleh kabinet bentukan koalisi.

Apabila kabinet tersebut dianggap gagal, oposisi dapat melemparkan mosi tidak percaya dan membentuk kabinet bayangan untuk menggantikan kabinet koalisi.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, fungsi check and balances juga berlangsung. Namun, berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, fungsi check and balances ini dijalankan oleh lembaga legislatif dan eksekutif, yakni parlemen dan kabinet.

Dikutip dari buku Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia karya Anders Uhlin, seluruh anggota parlemen beroposisi terhadap eksekutif dan juga sebaliknya dalam sistem pemerintahan presidensial.

Sistem tersebut membuat pembentukan koalisi dan oposisi dalam sistem pemerintahan presidensial tidak berpengaruh dalam jalannya pemerintahan. Koalisi dan oposisi hanya bermain sebelum dan saat Pemilihan Umum berlangsung.

Bahkan, sebagaimana dikutip dari Jurnal Comparative Political Studies, pembentukan koalisi (koalisi partai politik) dan oposisi dalam Pemilihan Umum menyebabkan polarisasi parlemen dalam sistem pemerintahan presidensial. Kondisi tersebut membuat check and balances dalam sistem pemerintahan presidensial tidak dapat berjalan dengan maksimal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus