SELAGI Syafruddin Prawiranegara masih dalam masa mencicil rumah
-- yang digadai akibat peristiwa kapal haji Gambela enam tahun
lalu musibah baru datang menimpa. Sebanyak 325 calon jemaah haji
dari Yayasan Dana Tabungan Haji dan Pembangunan yang dipimpinnya
gagal menunaikan ibadah haji tahun ini. Kisahnya begini:
Tanggal 9 Oktober 1970 didirikan YDTHP dengan ketua Syafruddin
Prawiranegara sendiri. Yayasan bertujuan membantu pemberangkatan
haji lewat sistim tabungan. Setahun kemudian, yakni musim haji
1971, yayasan berhasil memberangkatkan 2 orang penabung naik
haji. Menyusul musim haji 1971 dan 1973 masing-masing sembilan
dan tiga puluh orang. Angka ini terus meningkat dua tahun
terakhir ini masing-masing 150 orang pada musim haji 1974 dan
381 orang tahun lalu. Yang terakhir ini gejala yang kurang beres
mulai nampak, ketika 125 calon haji penabung hampir saja tidak
jadi diberangkatkan. Mujur karena masa setoran ONH diperpanjang
dari tanggal 31 Juli hingga 31 Agustus 1975.
Syafruddin terkejut, RHK, orang yang diserahi tugas selaku wakil
ketua merangkap sekretaris yayasan, telah bertindak gegabah
merobah kebijaksanaan sistim tabungan menjadi sistim asuransi.
Kepada penabung dijanjikan bahwa dalam masa tertentu penabung
dijamin memperoleh jumlah ONH dari tabungannya. "Sistim ini bisa
berhasil kalau ONH tidak naik. Atau naik menurut tingkat yang
bisa diduga", kata Syafruddin yang makin memutih rambutnya.
Kenaikan ONH ternyata di luar dugaan. ONH 1973 sebesar
Rp 446 ribu naik 25,56 persen menjadi Rp 560 ribu di tahun 1974.
Tahun berikutnya naik lagi menjadi Kp 690 ribu yang berarti
23,20 persen. Sedang ONH tahun ini sebesar Rp 890 ribu 29 persen
di atas tahun 1975.
Laju kenaikan ONH tersebut menyebabkan sekalipun sudah
berkali-kali ONH berobah, namun kurs antara rupiah dan dollar
tidak mengalami perobahan. Akibatnya jika penabung pada bulan
Maret 1975 menyetor Rp 425 ribu menurut teori sang sekretaris --
sudah berhak naik haji bulan Nopember 1976 yang ONH-nya Rp 890
ribu. Berarti dalam masa 18 bulan yayasan harus menyediakan
tambahan 109,5 persen atau rata-rata 6 persen sebulan. "Tingkat
bunga setinggi itu mustahil diperoleh melalui deposito", sela
Syafruddin.
R.H.K., dengan terpaksa menempuh jalan gali lobang tutup lobang
guna memenuhi jaminan yang pernah diberikan kepada calon jemaah
haji penabung. Kekurangan ONH ditutup dengan menggunakan subsidi
dari tabungan para penabung yang belum kena giliran. Musim haji
tahun 1973 saja tercatat subsidi sebesar Rp 1,5 juta buat 30
jemaah. Dua tahun berikutnya subsidi makin menggelembung, yakni
Rp 21,5 juta untuk ke 150 jemaah tahun 1974 serta Rp 123,7 juta
kepada 381 jemaah tahun kemarin. Rencana tahun ini paling
sedikit 500 penabung sudah kena giliran berangkat menurut
perhitungan R.H.K. Ternyata yang bisa diberangkatkan lewat
saluran pemerintah hanya 87 jemaah, sedang 106 jemaah umrah
diberangkatkan lewat Husami. Maka terkatung-katunglah 325 jemaah
karena dana yang diperlukan untuk itu berkisar Rp 267 juta.
Pengurus pun segera bertindak. Namun sudah terlambat. "Inilah
kekeliruan saya yang paling fatal dan kesalahan utama karena
saya terlalu percaya pada R.H.K.", kata Syafruddin yang pernah
menjabat gubernur Bank Indonesia.
R.H.K. kemudian dibebas tugaskan sejak 14 Oktober yang lalu dan
ternyata kas yang ditinggalkannnya hampir kosong sama sekali.
Pemeriksaan keuangan menunjukkan pula bahwa ada selisih Rp 90
juta yang tidak dilaporkan. Karena itu pengurus yayasan
mengadukan R.H.K. -- pensiunan Bank Indonesia dan pernah
menjabat pimpinan cabang Bank Indonesia di Cirebon, Jambi dan
Denpasar ke Kejaksaan Agung untuk mengambil tindakan menurut
hukum yang berlaku.
Masalahnya sekarang bagaimana dengan yang 325 orang itu? "Saya
tidak melepaskan diri dari tanggung jawab moril. Kami tetap
berusaha untuk memberangkatkan mereka di tahun depan" kata
Syafruddin kepada TEMPO. Lewat Ketua Umum Majelis Ulama
Syafruddin meminta agar Presiden membantu memberangkatkan
calon-calon jemaah tersebut.
Ketua YDTHP meminta bantuan itu karena menurut dia Presiden
memegang hak penggunaan dana pembangunan Islam dari ONH. Menurut
perkiraan sejak adanya pungutan dana pembangunan Islam sejak
tahun 1969 hingga sekarang, paling sedikit sudah terkumpul Rp 8
milyar. "Kalau Presiden memberi bantuan kepada pondok-pondok
pesantren, apa salahnya Rp 200 juta disedekahkan untuk membantu
memberangkatkan jemaah itu", demikian Syafruddin. Kalau tidak,
"pinjamkan uang sebesar itu, kami akan membayar kembali",
tambahnya.
Jaminan Presiden akhirnya diberikan menyusul permintaan ketua MU
Hamka. Kepada pers Hamka mengetengahkan kesanggupan Presiden
memberangkatkan jemaah tersebut tahun depan dengan syarat.
Pertama yayasan sanggup melunasi apa yang telah dibayarkan calon
jemaah. Sedang kekurangan setoran menjadi tanggungan setiap
calon.
Meskipun begitu kepanikan tak terhindarkan terjadi. Di Sumatera
Barat di mana terdapat 257 calon jemaah kantor perwakilan
yayasan ramai-ramai didatangi mereka. Kepanikan itu bukannya
tanpa alasan. Tabungan yang diusahakan dengan jerih payah dan
berdikit-dikit itu tiba-tiba dianggap hilang. Sementara itu tak
sedikit di antara calon di sana sempat sudah mengadakan upacara
selamatan melepas keberangkatan, yang kemudian hanya menjadi
Haji Padang saja.
Pihak perwakilan yayasan tentu saja tidak bisa berbuat banyak
menghadapi calon-calon jemaah itu. "Yang jelas sepeser pun tidak
ada uang itu di sini", tutur seorang staf administrasi kantor
yayasan di Padang. Di Jakarta Syafruddin juga angkat bahu.
"Sepeser pun saya tidak makan itu uang", katanya. Berkata begitu
ketua YDTHP menyesalkan sikap calon-calon tersebut yang "katanya
percaya hanya pada saya, tapi nyatanya mau menerima jaminan
sekretaris".
R.H.K. sendiri memborong pekerjaan pembukuan dana tabungan dan
kantor berikut pegawai baru dipindahkan ke rumahnya. Betapapun
bersikerasnya calon-calon menuntut keberangkatan tahun ini
dengan mengirim utusan ke Jakarta, ternyata "Allah belum
mengizinkan mereka".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini