Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mantan narapidana terorisme mengaku mendapat ajaran radikal setelah keluar dari pesantren.
Jaringan Islamiyah disebut hanya membolehkan anggotanya melakukan aktivitas jihad di wilayah konflik.
Ada yayasan, masjid, dan saluran radio dari 198 pesantren yang diduga terafiliasi dengan kelompok teror.
JAKARTA – Arif Budi Setyawan tak menyangka bahwa Pondok Pesantren Al Islam, Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, diduga terafiliasi dengan jaringan teroris Jamaah Islamiyah. Saat belajar di pesantren itu lebih dari dua tahun pada 1995, Arif tak pernah mendapat materi pelajaran yang mengarah pada tindakan terorisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Justru saya baru tahu bahwa beberapa orang di pesantren itu terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah setelah terjadi bom Bali pada 2002," kata Arif, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bom Bali saat itu dirancang oleh Amrozi, Gufron, dan Ali Imron. Ketiganya mempunyai hubungan darah dengan pemilik Pondok Pesantren Al Islam. Mereka juga terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah, kelompok yang terhubung dengan jaringan teror global Al-Qaidah.
Ali Gufron alias Muclas mencium adik kandungnya Amrozi saat melakukan rekonstruksi peledakan bom Bali di Desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, 22 Desember 2002. Dokumentasi TEMPO/Hariyanto
Pondok Pesantren Al Islam masuk daftar 198 pesantren yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris, yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT mengungkapkan data itu saat rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, pekan lalu.
Arif bercerita, selama ia belajar agama di Pondok Pesantren Al Islam pada 1995-1998, para pengajar pesantren ini memberikan materi umum, seperti akidah, syariat, bahasa Arab, dan ilmu alat. Pelajaran lain yang diberikan adalah materi jihad, tapi khusus untuk santri tingkat akhir atau setingkat kelas XII sekolah menengah atas. Pelajaran jihad yang diberikan bukanlah tentang tindak terorisme.
Mantan narapidana terorisme ini mengatakan ia justru berkenalan dengan jaringan Jamaah Islamiyah setelah keluar dari Pondok Pesantren Al Islam. Awalnya, beberapa ustad di Al Islam kerap mengajaknya mengikuti pengajian pada 2000. Saat itu, Arif belum menyadari bahwa para ustad yang mengajar itu berasal dari jaringan Jamaah Islamiyah. "Saya baru tahu justru setelah peristiwa bom Bali itu," ujarnya.
Sejak saat itu, Arif tertarik pada ideologi Jamaah Islamiyah yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara Islam. Ia pun memutuskan menjadi simpatisan dan mengikuti pengkaderan Jamaah Islamiyah. Namun ia memutuskan keluar dari kelompok ini pada 2008. Alasannya, Jamaah Islamiyah membatasi gerakan mereka dalam berjihad.
Jamaah Islamiyah hanya membolehkan anggotanya berjihad di wilayah konflik, seperti Ambon, Maluku; Poso, Sulawesi Tengah; dan Suriah. Jaringan mereka berbeda dengan kelompok teroris lain yang berpaham takfiri. "Tapi mereka memang menyetujui pembuatan bengkel senjata yang menjadi program resminya," kata Arif.
Karena ingin terlibat dalam aksi amaliah, Arif lantas memutuskan bergabung ke kelompok teror Mujahidin Indonesia Timur. Arif berperan sebagai pengumpul dana dan logistik. "Jadi, saya memang secara pemikiran terekrut kepada Jamaah Islamiyah, tapi melakukan aksi dilarang sama Jamaah Islamiyah. Makanya, saya cari ke kelompok gerakan yang melakukan pelatihan di luar Jamaah Islamiyah," ujarnya.
Arif akhirnya dibekuk Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI pada Juni 2014. Ia pun divonis terlibat gerakan terorisme di Indonesia. Arif bebas dari penjara pada Oktober 2017. Selama mendekam di penjara, ia mendapat program deradikalisasi. Dia pun menjadi bagian dari program tersebut sampai hari ini.
Menurut Arif, jaringan teroris tidak pernah merekrut atau membaiat anggotanya di pesantren. Perekrutan anggota baru dilakukan terhadap orang yang baru lulus dari pesantren. "Itu juga tidak semua lulusan, hanya sebagian yang sangat kecil. Lulusan pesantren seperti Al Islam itu ribuan orang per tahun. Mayoritas tidak paham tentang organisasi Jamaah Islamiyah," ucap Arif. "Hanya yang terpilih yang direkrut. Biasanya dipilih yang pintar, berbakat, dan nurut."
Tempo belum mendapat konfirmasi dari Pondok Pesantren Al Islam soal ini. Nomor kontak pihak Pondok Pesantren Al Islam yang dihubungi tak membalas upaya konfirmasi Tempo.
Keterangan Arif tersebut dikuatkan oleh penjelasan Kharis Hadirin, peneliti dari Ruangobrol—media digital yang menyebarkan nilai-nilai perdamaian serta toleransi untuk mencegah radikalisme dan terorisme. Selama meneliti isu terorisme di Indonesia, Kharis belum pernah mendapati adanya perekrutan kader teroris di pesantren.
"Justru perekrutan dilakukan saat seorang santri menyelesaikan pendidikannya di pesantren," kata Kharis, yang sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Al Islam selama empat tahun sejak 2004.
Kharis mengkritik BNPT yang mengungkap ratusan pondok pesantren yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris. Sebab, santri yang belajar di pondok pesantren itu kemungkinan besar hanya sedikit yang terafiliasi dengan jaringan teroris, padahal mereka memiliki ribuan santri. "Kalau ada pesantren yang tidak beres itu, bukan berarti pesantrennya buruk. Itu karena faktor beberapa oknum saja. Itu per individu," kata dia.
Kharis mengatakan tidak semua pengajar di Pondok Pesantren Al Islam itu setuju akan model jihad jaringan teroris. Sebagian pengajar di Al Islam justru menentangnya.
Kharis mengaku sudah mendapat daftar nama pesantren yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris yang diungkap oleh BNPT itu. Berdasarkan data tersebut, ia mengetahui bahwa dari total 198 pesantren yang ditengarai terhubung dengan kelompok teror, tidak semuanya merupakan pesantren. Ada juga yayasan, masjid, hingga channel radio. Bahkan sebagian pesantren yang masuk daftar itu sudah bertransformasi dan terbuka, seperti Pesantren Al Islam. Selain itu, sebagian pesantren lainnya sudah mengevaluasi paham jihad dan takfiri.
"Tapi pemerintah masih menganggapnya radikal, padahal mereka sendiri sudah berubah," kata Kharis. "Mau sampai kapan pesantren itu disebut sebagai pesantren radikal?"
Kharis berpendapat, tindakan pemerintah ini justru berbahaya karena berpotensi memberikan stigma dan generalisasi terhadap pesantren dengan cap terafiliasi dengan kelompok teroris. Belum lagi data BNPT itu sudah tersebar di media sosial. Padahal seharusnya data itu menjadi evaluasi internal BNPT dan Kementerian Agama.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo