Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mencoba Melupakan Sang Provokator

Kerusuhan disyukuri mulai mereda, tetapi kita selalu berpolemik soal: siapa provokator di balik kerusuhan itu.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerusuhan di berbagai daerah, konon, sudah menurun. Ini tentu patut disyukuri. Di Ambon, kehidupan sudah mulai bergerak, di Ternate juga begitu. Sedangkan di Mataram, pemulihan lebih cepat karena aparat lebih tegas: menembak di tempat setiap pelaku kerusuhan. Namun, cerita lama masih diputar: mencari provokator. Di sini ada cerita seru sekaligus geli. Sejumlah orang dituding sebagai provokator, tapi yang dituding bukannya ditangkap, tetapi justru balik menuding. Dalam kasus Ambon, misalnya, Ketua Harian Pemuda Pancasila Yorrys Raweyai dituding sebagai provokator. Dalam kasus Ternate, Mudaffar Syah yang justru Sultan Ternate sendiri dituding sebagai provokator. Yang menuding ini orangnya sama, yaitu Thamrin Amal Tomagola, sosiolog UI yang menjadi Ketua Lembaga Rekonsiliasi Perdamaian Nasional. Nah, bisa ditebak, baik Yorrys maupun Mudaffar Syah membantah hal itu dan balik menuding Thamrin. Dalam kasus Mataram, polisi pun mengaku sudah tahu siapa provokatornya. Dua orang dikabarkan akan menyusup ke Bali, dan karena itu polisi di Bali sudah menyiapkan juru tembak. Tapi, siapa, ya, mereka itu? Apakah Anda, provokator itu? Seandainya ya, dengan hormat sebaiknya Anda mempertimbangkan untuk mengaku sajalah. Kasihan, aparat keamanan di negeri ini, sudah capek mencari-cari, dan elite politik sibuk menganalisis. Toh, Anda sudah menang karena tak dapat disentuh. Sejak dulu, jauh sebelum kasus Ambon, setiap ada huru-hara, provokator selalu dituding. Masyarakat tak pernah tahu wujud provokator itu. Yorrys melukiskan provokator dengan baik sekali: "bagaikan angin, dapat dirasakan tak dapat dipegang". Jikapun tak ada yang mengaku sebagai provokator—dan menangkapnya juga ibarat menangkap angin—bisakah kita sedikit melupakan Sang Provokator? Dengan cara itu, mungkin kita kemudian bisa melihat alternatif lain sebagai penyebab kerusuhan atau menularnya kerusuhan. Misalnya, kita bisa melihat keadaan sosial di masyarakat, yang memang ada kesenjangan. Ikatan kelompok berunsur SARA, ketat dan kaku, sementara ikatan kebangsaan—katakanlah begitu—sangat rapuh. Dalam masyarakat yang begitu, daya tahannya rentan dan mudah diadu antarkelompok. Lalu kita pun sadar bahwa informasi tak pernah jelas dan terbuka apa adanya. Kita dengar ada sekelompok orang dibantai di ujung timur, dan ceritanya begitu seram di ujung barat. Emosi dan solidaritas kelompok muncul berlebihan, dan ini melahirkan amuk baru pula. Padahal, kejadian sebenarnya mungkin tak cukup seram. Lagi pula, kalau ikatan kebangsaan kuat, sekat-sekat SARA tidak kaku, distorsi informasi tak mesti disikapi dengan emosi. Ada banyak jalan keluar, salah satunya adalah dialog. Begitu sulitkah kita sekarang untuk berdialog?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus