Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengarlah kata Alexander Khaminov tentang bisnis yang satu ini. "Ini bukan bisnis biasa, tapi bisnis militer," kata agen Rosoboronexport, badan resmi penjual senjata milik pemerintah Rusia, itu. Maka, walaupun telah 20 tahun bertugas di Indonesia, Khaminov tidak tertular keramahan orang kita—jika bicara ihwal senjata. Ia tetap sedingin es kutub. Jika kepepet, dia lebih suka mengelak: "Maaf, saya tak bisa menjawab. Silakan langsung bicara ke Duta Besar (Rusia)," kata dia kepada TEMPO, Selasa pekan silam.
Khaminov punya pengalaman buruk. Tahun lalu, Rosoboronexport mengirimkan 4 unit jet tempur Sukhoi (tipe Su-27 dan Su-30MK) dan 2 unit heli Mil tipe Mi-35P ke Jakarta. Semua peralatan militer itu dibeli dengan sistem imbal dagang dengan Bulog. Ceritanya tentu masih segar di ingatan: kasus itu bikin heboh negeri. Kini Rosoboronexport punya kontrak dengan TNI-AD untuk pembelian 4 unit heli Mi-17.
Agen senjata bukan profesi baru di negeri ini. Sejak zaman Orde Baru, urusan transaksi senjata antara dua negara banyak ditangani agen. Gani Lukman (sebut saja begitu), seorang agen lokal, mengatakan bahwa modal penting seorang agen selain uang adalah koneksi dan kepercayaan.
Setiap agen, demikian kata Gani, yang sudah puluhan tahun berkutat di bisnis ini, harus paham aturan impor senjata berat dari luar negeri. Untuk memasok senjata dari luar negeri bernilai jutaan dolar, pemerintah biasanya memakai fasilitas kredit ekspor. Tapi ada juga transaksi yang dilakukan secara langsung antarnegara. Kredit ekspor itu diteken oleh Menteri Pertahanan berdasarkan kontrak pengadaan senjata dengan negara produsen.
Order umumnya datang dari kesatuan atau angkatan dalam TNI. Order itu disampaikan kepada Asisten Perencanaan Umum Markas Besar TNI. Dari sana diteruskan ke Direktur Jenderal Perencanaan Sistem Pertahanan di Departemen Pertahanan. Setelah itu, usulan masuk ke Direktur Jenderal Anggaran di Departemen Keuangan. Keputusan terakhir "go" atau "no go" ada di Departemen Keuangan, setelah berkonsultasi dengan parlemen.
Di tiap instansi itu, cerita seorang agen senjata lain, banyak "tikungan" yang harus dilewati. Kalau mau untung, kata sumber ini, lobi sudah harus dimulai para agen sejak di level kesatuan militer atau angkatan. Biasanya, dalam usulan itu, angkatan tak boleh menyebut merek. Yang bisa disebutkan adalah spesifikasi alat tempur yang dipesan. Maka para agen itu datang dengan proposal rudal dari bermacam merek. Nah, berkat lobi tadi, kata sumber ini, "Spesifikasi sudah mengarah ke merek tertentu." Agar berhasil tembus tender, spesifikasi harus mendekati merek yang ditawarkan. Ada lagi "tugas" seorang agen jika tendernya gol: menemani sang pengambil keputusan di kesatuan mengunjungi pabrik senjata yang memproduksi senjata yang ditawarkan.
Rugikah sang agen? Tidak ada pebisnis yang mau rugi. Cara mencari laba juga macam-macam. Ada agen yang mengambil harga neto (bersih) dari pabrik, lalu menetapkan harga konsumen lebih tinggi. Misalnya harga neto satu rudal Rapier US$ 100 ribu per unit. Agen lalu melambungkan harganya menjadi US$ 125 ribu. Bisa juga agen mendapat diskon—biasanya sekitar 20 persen—dari pabrik atas jumlah transaksi dengan negara pembeli. "Makin besar kontrak, makin gede yang didapat," ujarnya.
Bayangkan saja besarnya diskon si agen jika nilai kontraknya seperti yang terjadi pada 1993. Pada tahun itu, Indonesia membeli 24 jet tempur Hawk 100-200 dari Inggris dengan nilai kontrak US$ 690 juta. Inilah nilai kontrak terbesar selama sepuluh tahun sampai tahun itu. Agennya? Siapa lagi kalau bukan kalangan sekitar Keluarga Cendana. Pada 1994-1995, anak-anak Soeharto juga kebagian proyek "retrofit" untuk pesawat tempur F-5 Tiger. Kalangan yang sama juga memasok tank, panser, dan suku cadang pesawat sampai 1996. Cendanalah pemain terbesar bisnis senjata ini di zaman itu.
Bisnis senjata sempat lesu ketika Amerika Serikat menghentikan suplai senjata dan amunisi senjata ke Indonesia pada 1999 akibat isu pelanggaran hak asasi manusia. Akibatnya, sejumlah alat tempur nyaris menjadi besi tua. Misalnya dua skuadron pesawat Skyhawk produksi tahun 1980. Sampai kini, pesawat buatan Amerika Serikat itu masih terbang. Padahal kondisinya makin buruk. "Kita seperti menerbangkan peti mati," ujar Marsekal Muda TNI Kusnadi Kurdi, yang membidangi perencanaan anggaran di Angkatan Udara, beberapa waktu silam.
Karena itulah pemerintah Megawati kini lebih suka beralih ke Rusia—negeri asal Khaminov yang tak banyak bicara itu.
Nezar Patria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo