Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Salju Waswas di Torzhok

Para penerbang itu nyaris dipulangkan ke Jakarta. Bangga, cemas, dan malu mengaduk rasa.

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARIS Supangkat tertegun menahan langkah. Ketika siang itu hendak masuk ke ruang kelas, seorang opsir tiba-tiba menyeru namanya, meminta ia datang ke kantor Brigadir Jenderal Ignatov. Aris balik-kanan-jalan, bergegas didorong segunung pertanyaan. Tak lazim ia dipanggil jenderal bertubuh kecil itu. Pikirannya sibuk menduga: apa gerangan sebab-musababnya sehingga ia diminta menghadap?

Di ruang itu, bersama seorang stafnya, Ignatov sudah menunggu. Aris berusaha tenang. Tapi kata-kata itu seperti merobek ulu hatinya. "Dalam sepekan, pelatihan terpaksa dihentikan," kata Ignatov dengan suara datar. "Sebab, pembayarannya kurang lancar." Aris tersentak bukan kepalang. Memikul rasa malu, ia meninggalkan kantor sang jenderal. Angin dingin musim salju di Torzhok bagai sembilu mengiris sumsum tulangnya.

Aris, perwira menengah kelahiran Madiun, Jawa Timur, 25 September 1961, adalah komandan tim dari 28 tentara yang sedang mengikuti kursus penerbangan di pusat pelatihan Angkatan Darat Rusia di kawasan Torzhok, pada penghujung 2003. Pusat pelatihan militer yang tak seberapa jauh dari pusat Kota Moskow ini berada di bawah pimpinan Ignatov, jenderal yang menyampaikan berita murung itu.

Kursus ini merupakan bagian dari paket pembelian empat helikopter Mi-17 milik Rusia oleh TNI Angkatan Darat. Ke-28 peserta yang dikirim itu meliputi sepuluh penerbang, enam crew chief, empat petugas airframe maintenance, dua petugas engine maintenance, dua petugas radio electronic equipment, dua petugas electric equipment, dan dua petugas aviation instrument.

Berasal dari Penerbangan Angkatan Darat di Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah, mereka dijadwalkan berada di Rusia selama 75 hari, 9 Oktober hingga 24 Desember 2003. Sebelum berangkat, mereka mengikuti kursus bahasa Rusia di Jakarta, terutama untuk memahami istilah-istilah teknis dunia penerbangan. Tak terlalu musykil, memang, karena helikopter yang dibeli adalah jenis transportasi, bukan jenis serbu.

Menurut Aris, keempat helikopter itu akan digunakan khusus untuk upaya evakuasi dan angkutan very important person (VIP). Heli ini mampu mengangkut 36 orang, bisa membawa empat ton muatan kargo dan tiga ton muatan sling—muatan yang digantung. Kecepatannya 250 kilometer per jam. Walau cuma berfungsi sebagai pengangkut, heli ini tetap dilengkapi persenjataan. Negara lain yang memiliki Mi-17 adalah India dan Malaysia, yang awaknya juga dilatih di Torzhok.

Bagi para penerbang, pelatihan itu merupakan kesempatan emas. Sebagai tempat pelatihan, Torzhok amat terkenal di dunia penerbangan. Hampir semua penerbang terbaik di Angkatan Udara dan Angkatan Darat Rusia digodok di sini. Jarang orang asing bisa mendapat pelatihan di tempat itu. "Saya sangat bangga bisa belajar di Torzhok," kata Sersan Satu Winarko, seorang peserta pelatihan, kepada TEMPO.

Tapi, itulah: mereka nyaris dibuat malu, hampir dipulangkan. Adapun sebabnya, seperti yang disampaikan Ignatov, Jakarta tak kunjung membayar uang muka pembelian helikopter itu. Padahal biaya pelatihan berasal dari dana itu. Karena pembayaran tak kunjung turun, "Peserta akan dikembalikan ke Indonesia," kata Ignatov kepada Aris Supangkat.

Sebagai komandan, Aris tentu harus bertanggung jawab atas nasib anak buahnya. Maka, setelah bertemu Ignatov, ia bergegas menelepon Jakarta. Kepada atasannya, ia menanyakan keterlambatan pembayaran uang muka itu, juga soal ancaman pemulangan. Atasan di Jakarta, kata Aris, mengakui keterlambatan pembayaran. "Tapi jangan cemas, TNI akan segera menyelesaikannya. Dan jangan sampai persoalan ini mengganggu tugas belajar kalian," demikian pesan sang komandan di ujung telepon.

Meski ada jaminan dari Jakarta, Aris tetap mendiskusikan kemungkinan pemulangan itu dengan anak buahnya. "Supaya batin kami siap jika memang harus pulang cepat," kata Aris. Tentulah ada rasa kecewa, karena paket pelatihan baru sampai pada tahap pembahasan teori. Para teknisi belum menyentuh pesawatnya, dan para penerbang belum mengudara dengan helikopter pesanan ini.

Setelah kejadian hari itu, kata Aris, konsentrasi latihan para anak buahnya sedikit terganggu. "Meski tetap berkonsentrasi pada materi pelatihan, sebagai orang asing kami merasa malu," Winarko menambahkan. Saban hari perasaan mereka waswas, jangan-jangan segera dipulangkan ke Jakarta.

Tapi, sepekan berlalu, Ignatov tak lagi menyinggung masalah uang muka itu. Sang jenderal malah tetap terlihat ramah dan berkali-kali mengatakan, "Jangan cemas, masalah pembayaran urusan atasan, bukan urusan kita." Para prajurit itu pun terus berlatih dengan tekun dan lega.

Hanya, pada saat praktek, mereka cuma boleh menerbangkan helikopter jenis Mi-8, bukan Mi-17 sebagaimana yang dipesan TNI-AD. Tapi, kata Aris Supangkat, pergantian itu tak jadi soal. Sebab, "Basis teknologi kedua jenis helikopter itu sama persis." Lagi pula, ia menambahkan, empat helikopter Mi-17 yang dipesan Jakarta itu masih dalam perakitan.

Selama 75 hari mereka ditempatkan di hotel yang berada di kawasan pusat pelatihan itu. Tak mewah-mewah amat, tapi fasilitasnya lumayan lengkap. Tiap peserta menempati satu kamar yang dilengkapi televisi 29 inci, lemari pakaian, kulkas, dan kamar mandi. Tersedia pula peralatan dapur dan—tentu saja—mesin penghangat ruangan untuk menangkal musim dingin Rusia yang terkenal kejam itu.

Di penghujung tahun itu, suhu Torzhok menohok sampai ke delapan derajat Celsius di bawah nol. Pada pekan-pekan pertama, sejumlah peserta sampai mimisan. Untunglah, para tentara Rusia di markas itu berbaik hati meminjamkan mantel, sepatu bot, dan rompi tebal kepada setiap peserta. Pada hari-hari pertama, perut para peserta juga keberatan menerima makanan Rusia, sebelum akhirnya mulai terbiasa.

Ketika Lebaran tiba, para peserta diberi kesempatan ke Moskow untuk melaksanakan salat Ied dan bersilaturahmi di Kedutaan Indonesia. Mereka juga diberi uang saku. Jumlahnya? "Ya, sesuai dengan standar dinas TNI," kata Winarko. Hingga akhir pelatihan, "Kami tak tahu apakah pembiayaannya sudah dibayar atau belum," kata Aris Supangkat. Yang jelas, ia menambahkan, semua instruktur tetap ramah mengantar kepulangan mereka, 27 Desember 2003.

Wenseslaus Manggut, Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus