Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH menyingkirkan senjata, inilah langkah terbaru Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka meneken perjanjian bisnis dengan Malaysia, Ahad pekan lalu. Sejumlah tokoh gerakan itu berkumpul di Hotel Grand Seasons, Kuala Lumpur, dengan pakaian rapi seperti layaknya menghadiri perjamuan dagang.
Hari itu Nurdin Abdul Rahman, bos Aceh World Trade Center (AWTC), bendera baru bisnis Gerakan Aceh Merdeka, meneken nota kerja sama pelayaran kapal feri dengan ASDP (Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan) Malaysia Sdn.Bhd. Dari negeri jiran, hadir Khairuddin bin Othman, bos besar perusahaan pelayaran swasta Malaysia itu.
Perjanjian itu berupa kerja sama pelayaran satu unit kapal feri jenis ”roll-on and roll-off” yang melayani rute Penang, Malaysia, ke Krueng Geukueh, Lhok Seumawe, Aceh Utara. ”Kalau tak ada halangan, Jumat nanti kita sudah mulai jalankan laluan (jalur) ini,” kata Khairuddin kepada Tempo.
Sesuai dengan kesepakatan, kapal itu akan berlayar tiap Jumat dari Penang, dan Sabtu dari Krueng Geukueh. Kapal itu, kata Khairuddin, bisa mengangkut 50 penumpang dengan ongkos RM 120 untuk perjalanan selama 13 jam. Selain itu, akan diangkut juga kendaraan dan aneka komoditas ekspor dan impor. Kalau jalur ini sukses, berikutnya akan dibuka rute Port Klang ke Sabang.
Yang menarik, acara itu dihadiri para petinggi GAM, baik dari Aceh maupun Swedia. Dari Swedia, tampak Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah. Dari Aceh, ada bekas Panglima Tentara Negara Aceh Muzakkir Manaf dan juru bicara militer GAM Sofyan Dawood. Zaini tampaknya bersemangat dengan bisnis baru ini. ”Ada sekitar 30 ribu warga Aceh di Malaysia,” ujarnya. Artinya, peluang pasar bisnis kapal ini cukup cerah.
Bukan itu saja. GAM juga melirik potensi dagang di sekujur Selat Malaka. Menurut Nurdin Abdul Rahman, setelah membuka jalur Aceh dan Malaysia, mereka akan menjangkau Thailand. Seperti Malaysia, negeri gajah itu diharapkan menyerap komoditas Aceh, semisal kopi, cokelat, dan hasil tambang. ”Ini mengisi kesepakatan dagang IMT-GT, Indonesia-Malaysia-Thailand Golden Triangle,” ujar Nurdin.
Aceh World Trade Center didirikan 10 November tahun lalu oleh 50 orang pengusaha pendukung GAM. Langkah ini dilakukan setelah ada izin dari pimpinan di Swedia. Nurdin ditunjuk sebagai bos maskapai dagang para teungku itu. Tapi, dia tak mau mengungkap berapa modal mereka.
Dengan posisi general manager, sesungguhnya Nurdin tak punya latar belakang dagang. Sebelum menjadi juru runding GAM, dia dosen bahasa Inggris di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Pernah aktif di lembaga penyantun korban konflik, tapi menjelang darurat militer dia minggat ke Sydney, Australia, dan malah menjadi perwakilan GAM di sana. Terakhir, dia terdaftar sebagai mahasiswa doktoral di Universitas Wollongong, Australia. Diduga, Nurdin dipilih memimpin AWTC karena merupakan penggagas ide kongsi dagang tersebut.
Di Jakarta, kabar GAM menggamit Malaysia itu sempat membuat heboh. Tak kurang Menteri Perhubungan Hatta Radjasa kaget. ”Harusnya kerja sama antara dua negara diteken pemerintah pusat,” ujarnya, Senin pekan lalu. Kementerian Luar Negeri Indonesia juga menyesalkan kalau benar perjanjian itu diteken atas nama GAM. ”Itu melanggar perjanjian Helsinki,” ujar Desra Percaya, juru bicara departemen itu.
Belakangan, duduk perkaranya baru jelas. Yang berdagang memang bukan GAM, melainkan pengusaha pendukung gerakan itu. ASDP Malaysia bahkan sudah mengundang Gubernur Aceh Mustafa Abubakar, dan Kepala ASDP Pusat Baharudin Pua. Hanya Baharuddin yang bisa datang dari Jakarta. ”Gubernur Aceh tak bisa hadir,” ujar Abdul Mueiz bin Jamaluddin, salah satu direktur ASDP Malaysia.
Kendati ia tak hadir, Pemerintah Daerah Aceh tak memasalahkannya. ”Ini kelanjutan kerja sama yang dulu,” ujar Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Usman Budiman. Sebelumnya, Indonesia dan Malaysia sudah sepakat membuka jalur pelayaran dua negara. Dulunya, dirintis rute Penang-Aceh, tapi lewat pelabuhan Malahayati, Aceh Besar. Rute itu macet karena jaraknya terlalu jauh. Izin bagi rute Krueng Geukueh pun, kata Budiman, kini sudah beres.
Pejabat Gubernur Aceh Mustafa Abubakar juga senang. Soalnya, lewat rute Krueng Geukueh itu, komoditas pertanian dari Aceh Tengah dan Bireuen bisa dilego ke negeri para datuk. Apalagi, kata Mustafa, pekan lalu Malaysia sudah sepakat membuka kebun sawit 10 ribu hektare di Bireuen. ”Apa yang tertinggal pada masa konflik, kita isi saat damai ini,” ujarnya.
Nezar Patria, Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran M.A. (Lhok Seumawe), T.H. Salengke (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo