Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDUNG menggelayut di langit Bogor, Minggu, 15 Januari. Pada petang itu, iring-iringan rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tengah melintas di tol Jagorawi meninggalkan Jakarta. Kecepatan konvoi stabil dan sepertinya semua bakal berjalan normal. Tetapi di kilometer 35, sekitar kawasan Sentul, ketenangan terganggu. Sebuah sedan tiba-tiba menyusup dalam konvoi kepala negara sehingga memancing reaksi pengawal rombongan.
Salah satu mobil patroli dengan cekatan segera memepet sedan tak dikenal itu. Terjadilah adegan bak seperti dalam film-film laga. Pepet-memepet berlangsung hingga kilometer 37, sampai sedan ’bengal’ itu sukses disingkirkan dari iring-iringan. Nasib sial tentulah menanti sang pengemudi: digiring ke pinggir jalan, dia harus ”berurusan” dengan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).
Upaya pembunuhan terhadap Presiden Susilo? Tak jelas. Aparat keamanan serentak tutup mulut mengenai masalah ini. Tak satu pun aparat Kepolisian Resor Kabupaten Bogor maupun Wilayah Bogor yang berani bicara. Tak membantah atau mengiyakan, mereka mengatakan urusan pengawalan Very Very Important Person (VVIP) ada di tangan Markas Besar Polri.
Di Mabes Polri, Wakil Kepala Divisi Humas, Brigjen (Pol.) Anton Bahrul Alam, bahkan mengaku belum mendapat informasi. Namun, menurut dia, tindakan patroli itu adalah hal lazim. ”Orang-orang menyangka mengikuti konvoi diperbolehkan. Padahal, tidak boleh sembarangan,” katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Markas Paspampres pun bungkam tentang hal ini.
Soal ancaman terhadap Presiden memang masalah sensitif. Tapi hal itulah yang sejak sebulan terakhir jadi omongan banyak orang. Sumbernya, apa lagi kalau bukan informasi intelijen bahwa kelompok teroris berniat menculik dan membunuh Presiden dan pejabat negara.
Memang, Kepala Badan Intelijen Negara, Syamsir Siregar, pada 28 Desember tahun lalu mengatakan ada kelompok teroris yang berniat membunuh Presiden. ”Rencana itu diketahui berdasarkan hasil penyelidikan sejumlah kontak telepon,” katanya saat itu. Tapi dia enggan menjelaskan lebih jauh.
Hanya saja informasi yang dapat dikorek sumber Tempo di kalangan intelijen memang bikin merinding. Sumber yang tak bersedia diungkap namanya itu mengatakan, sejak tewasnya Dr Azahari, ruang gerak Noor Din M. Top kian menyempit. Tapi justru dalam posisi terjepit itulah mereka menggeser target terornya: tak lagi meledakkan tempat umum, melainkan mengincar pejabat tinggi negara.
Caranya? Mereka akan menggunakan penembak jitu, bom bunuh diri, dan kalau perlu menyamar menjadi pemulung saat beroperasi. ”Makanya, dalam pengamanan, radius sekian ratus meter di Ring Satu tidak boleh ada kegiatan yang mencurigakan,” kata sumber itu.
Dengan pasokan informasi macam itu, susah dibantah kecemasan memang tengah meningkat di jajaran pengamanan presiden. Berbagai cara untuk menjamin keselamatan Presiden terus dilakukan. Saat melintas di Jalan Veteran, misalnya, sesekali liriklah pintu masuk Istana Negara yang ada di sana. Tampak pengamanan kian diperketat dengan sebuah portal besar dipasang seperti barikade.
Dengan portal sangar itu, jangan harap setiap mobil dapat leluasa melenggang ke dalam kompleks Istana. Portal berupa rangkaian besi itu dipasang untuk mencegah aksi bom bunuh diri dengan mobil atau kendaraan lain. Kabarnya, portal itu bahkan mampu menahan serudukan truk.
Taruhlah aman saat di dalam Istana. Tetapi bagaimana bila presiden mesti pergi ke suatu tempat? Tak mau ambil risiko, kini protokol istana menambah iring-iringan kendaraan Presiden menjadi dua kali lipat. Dulu konvoi kendaraan orang nomor satu itu tak lebih dari 10 mobil. Mereka terdiri dari kendaraan patroli pengawal, Paspampres, protokol, dan tim medis. Jumlah ini pun merupakan pengurangan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak, Oktober tahun lalu. Tetapi kini, jelas, keselamatan Presiden jauh lebih penting ketimbang harga bensin. Maka, tanpa banyak cingcong jumlah kendaraan pun digandakan lipat dua.
Tidak hanya itu. Untuk membikin bingung teroris, formasinya sedikit berubah. Sebelumnya, sedan Mercedes-Benz 300 SEL berpelat nomor B-1 adalah mobil kamuflase. Hampir semua orang tahu sesungguhnya Presiden duduk di mobil cadangan. Kini dalam formasi baru, sedan cadangan dan yang ditumpangi Presiden berjalan beriringan. Tentu saja ini dimaksudkan untuk membikin bingung mereka yang berniat mencelakakan Presiden.
Tak ada penjelasan bagaimana seandainya teroris memutuskan menyerang kedua mobil itu. Dalam keadaan ini, mungkin kiat Presiden Megawati Soekarnoputri saat berkuasa dulu boleh dicoba. Di masa itu, tak jarang Mega menumpang jip Mercy milik Paspampres. Diharapkan tak ada yang menduga seorang presiden ada dalam sebuah jip.
Kadang-kadang, Presiden pun mesti ke luar kota atau melawat ke luar negeri. Nah, pada saat seperti ini tingkat pengawalan bakal dilipatgandakan. Itu sudah terlihat saat SBY berkunjung ke Manado, Sulawesi Utara, akhir pekan lalu. Tak tanggung-tanggung, 1.138 polisi plus 1.200 anggota TNI diterjunkan guna menjamin keamanan kepala negara. Mereka sudah bertebaran sejak di Bandara Sam Ratulangi hingga sepanjang jalan yang dilewati rombongan menuju Tomohon.
Pengamanan ini, tak ayal, bikin repot para jurnalis. Di bandara, para wartawan lokal mengeluh karena sempat dilarang masuk ke area penjemputan. ”Masak, tak bisa masuk ke bandara?” kata Amanda Komaling, koresponden sebuah televisi swasta di Sulawesi Utara. Reporter stasiun pemerintah, TVRI, yang biasanya leluasa mengekor para pejabat, kini ikut digiring keluar area oleh tentara.
Juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, mengakui kewaspadaan atas keselamatan Presiden memang tengah ditingkatkan. Namun, menurut dia, hal itu hanya sementara. ”Sampai situasi menjadi normal kembali,” katanya kepada Tempo di Manado. Dia enggan memerinci bilamana situasi disebut normal. Andi hanya menjamin antisipasi yang dilakukan Paspampres masih dalam rel prosedur tetap.
Situasi waspada ini mungkin tanpa batas waktu. Sebab, meski Noor Din M. Top boleh susah bergerak, dia terlalu licin untuk diringkus. Menurut sumber Tempo di kalangan telik sandi, polisi kesulitan menggulung mereka karena beberapa sebab. Salah satunya karena pola komunikasi para tukang teror itu kembali ke jalur tradisional, yakni lewat kurir. Hubungan lewat telepon telah jauh berkurang, karena terbukti sudah bisa disadap aparat.
Aktivitas para anggotanya pun tak lagi menggunakan kendaraan roda empat, melainkan sepeda motor. Dengan moda kendaraan roda dua itu mereka lebih lincah melakukan manuver menghindari kejaran aparat. Kecemasan Presiden Yudhoyono tampaknya belum akan sirna sampai para pengincar itu dibekuk polisi.
Deddy Sinaga, Ahmad Alheid (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo