Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Kontras: Gelar Pahlawan untuk Soeharto Sama Saja Lecehkan Korban Pelanggaran HAM

Usulan gelar pahlawan untuk Soeharto bermasalah karena sama saja dengan memutihkan sejarah kelam dan menghapus jejak kejahatan yang sudah dilakukan

12 April 2025 | 17.00 WIB

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyerahkan surat penolakan terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto Kementerian Sosial, Jakarta Pusat, 10 April 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyerahkan surat penolakan terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto Kementerian Sosial, Jakarta Pusat, 10 April 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto, sebagai bentuk pelecehan terhadap para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama rezim Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Jessenia Destarini menyebut usulan tersebut sangat bermasalah karena sama saja dengan memutihkan sejarah kelam dan menghapus jejak kejahatan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan sebuah pelecehan terhadap martabat para korban dan melukai perasaan mereka,” ujar Jessenia saat dihubungi, Sabtu, 12 April 2025. “Lebih dari dua dekade pasca reformasi, korban masih harus terus menuntut keadilan dan tak kunjung mendapatkannya, namun individu yang paling bertanggung jawab atas kejahatan tersebut justru diwacanakan untuk diberi gelar pahlawan.”

Menurut Kontras, masa pemerintahan Soeharto ditandai dengan pelanggaran HAM berat, represi terhadap kebebasan sipil, perampasan lahan, eksploitasi sumber daya alam, militerisasi kehidupan warga, serta maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Semua itu, kata Jessenia, seharusnya menjadi alasan kuat untuk menolak usulan tersebut.

Ia menekankan, pemberian gelar itu juga bertentangan dengan semangat Reformasi 1998 yang menuntut perubahan menuju pemerintahan yang demokratis dan menghargai hak asasi manusia. “Reformasi bukan hanya pergantian presiden, tetapi juga momentum perubahan struktural demi menjamin perlindungan HAM dan pengakuan atas kejahatan yang dilakukan Orde Baru,” katanya.

Kontras juga menilai pemberian gelar tersebut sebagai bentuk impunitas yang berbahaya. “Pemerintah seakan memaklumi bahwa Soeharto bertanggung jawab atas berbagai kejahatan HAM dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini membangun pola pikir pemakluman terhadap kejahatan negara,” ujar Jessenia.

Ia menyerukan agar pemerintah menghentikan wacana tersebut dan justru memperkuat komitmen penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu serta menghormati perjuangan para korban.

Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih mengatakan dari sepuluh nama yang masuk, empat nama merupakan usulan baru, sedangkan enam nama lainnya telah diajukan dari tahun-tahun sebelumnya.

“Untuk tahun 2025, sampai dengan saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh. Empat pengusulan baru, dan enam adalah pengusulan kembali di tahun-tahun sebelumnya,” kata Mira, dikutip dari keterangan tertulis pada Selasa, 18 Maret 2025.

Beberapa tokoh yang kembali diusulkan antara lain Gus Dur oleh Provinsi Jawa Timur, Soeharto oleh Jawa Tengah, Bisri Sansuri oleh Jawa Timur, Idrus bin Salim Al-Jufri oleh Sulawesi Tengah, Teuku Abdul Hamid Azwar oleh Aceh, dan Abbas Abdul Jamil oleh Jawa Barat.

Sementara itu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini yakni Anak Agung Gede Anom Mudita oleh Provinsi Bali, Deman Tende oleh Sulawesi Barat, Midian Sirait oleh Sumatera Utara, dan Yusuf Hasim oleh Jawa Timur.

 

 

Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Dinda Shabrina

Lulusan Program Studi Jurnalistik Universitas Esa Unggul Jakarta pada 2019. Mengawali karier jurnalistik di Tempo sejak pertengahan 2024.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus